Produksi Menurun, Penerimaan Cukai Rokok Ikut Tertekan
A
A
A
JAKARTA - Center Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengungkapan sejak 2014, produksi rokok di Indonesia terus menurun. Hal ini tentu membuat penerimaan cukai hasil tembakau ikut menurun. Padahal, penerimaan cukai terbesar berasal dari hasil tembakau yang mendominasi sekitar 95% dari penerimaan negara dari cukai.
Tahun ini, penerimaan cukai rokok ditargetkan sebesar Rp147,5 triliun dan pada tahun 2018 penerimaan ditargetkan sebesar Rp148,2 triliun.
Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo mengungkapkan, pemerintah sejatinya memiliki dilema tersendiri terkait pengenaan cukai terhadap rokok. Di satu sisi, pemerintah harus mengendalikan konsumsi rokok. Di sisi lain, barang tersebut menjadi salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara.
"Fungsi cukai itu kan pengendalian konsumsi. Kalau untuk penerimaan cukai, kita menambah kapasitas produksi, ini akan mendorong rokok murah. Justru bertentangan dengan prinsip cukai sebagai pengendalian," ujarnya dalam sebuah diskusi di Tjikini Lima, Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Yustinus menilai, struktur tarif yang ditetapkan pemerintah untuk cukai rokok saat ini masih terlalu rumit. Hal ini tentu mengakibatkan semakin tingginya jumlah rokok ilegal di Indonesia.
Saat ini, tarif cukai kapasitas produksi rokok 2 miliar batang sebesar Rp530 per batang. Sementara untuk kapasitas produksi 3 miliar batang justru dikenakan tarif lebih besar yaitu Rp365 per batang. "Ini menyebabkan adanya kehilangan negara sebesar Rp495 miliar per pabrikan. Ada juga lapisan tarif per jenis, satu perusahaan mendapatkan perlakuan yang berbeda. Dampak dasar pengenaan tarif terhadap variabilitas harga," imbuh dia
Untuk itu, ia menyarankan agar struktur cukai rokok dibuat lebih sederhana. Salah satunya dengan menggabungkan rokok sigaret kretek mesin (SKM) dengan sigaret putih mesin (SPM).
"Strategi jangka menengahnya itu pengurangan lapisan tarif pada tokok jenis sigaret kretek tangan (SKT). Strategi jangka panjangnya adalah membagi dua jenis rokok, buatan mesin dan tangan. Diferensiasi ini untuk mendorong penyerapan tenaga kerja untuk mindungi industri rokok kecil, dibuatkan lapisan rokok khusus untuk UMKM," tandasnya.
Tahun ini, penerimaan cukai rokok ditargetkan sebesar Rp147,5 triliun dan pada tahun 2018 penerimaan ditargetkan sebesar Rp148,2 triliun.
Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo mengungkapkan, pemerintah sejatinya memiliki dilema tersendiri terkait pengenaan cukai terhadap rokok. Di satu sisi, pemerintah harus mengendalikan konsumsi rokok. Di sisi lain, barang tersebut menjadi salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara.
"Fungsi cukai itu kan pengendalian konsumsi. Kalau untuk penerimaan cukai, kita menambah kapasitas produksi, ini akan mendorong rokok murah. Justru bertentangan dengan prinsip cukai sebagai pengendalian," ujarnya dalam sebuah diskusi di Tjikini Lima, Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Yustinus menilai, struktur tarif yang ditetapkan pemerintah untuk cukai rokok saat ini masih terlalu rumit. Hal ini tentu mengakibatkan semakin tingginya jumlah rokok ilegal di Indonesia.
Saat ini, tarif cukai kapasitas produksi rokok 2 miliar batang sebesar Rp530 per batang. Sementara untuk kapasitas produksi 3 miliar batang justru dikenakan tarif lebih besar yaitu Rp365 per batang. "Ini menyebabkan adanya kehilangan negara sebesar Rp495 miliar per pabrikan. Ada juga lapisan tarif per jenis, satu perusahaan mendapatkan perlakuan yang berbeda. Dampak dasar pengenaan tarif terhadap variabilitas harga," imbuh dia
Untuk itu, ia menyarankan agar struktur cukai rokok dibuat lebih sederhana. Salah satunya dengan menggabungkan rokok sigaret kretek mesin (SKM) dengan sigaret putih mesin (SPM).
"Strategi jangka menengahnya itu pengurangan lapisan tarif pada tokok jenis sigaret kretek tangan (SKT). Strategi jangka panjangnya adalah membagi dua jenis rokok, buatan mesin dan tangan. Diferensiasi ini untuk mendorong penyerapan tenaga kerja untuk mindungi industri rokok kecil, dibuatkan lapisan rokok khusus untuk UMKM," tandasnya.
(ven)