Beban Utang RI Tak Bisa Dibandingkan dengan Jepang
A
A
A
JAKARTA - Utang Indonesia dinilai tidak bisa dibandingkan dengan yang dimiliki Jepang. Selama ini, pemerintah kerap menyatakan bahwa utang Indonesia yang mencapai 28% dari Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman, karena beban utang Jepang mencapai 200% dari PDB.
(Baca Juga: Utang Pemerintah Tembus Rp3.429 Triliun Dibilang Masih Aman
Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira mengungkapkan, jumlah utang Jepang yang 200% dari PDB masih aman karena hampir 70% kepemilikan utangnya dimiliki oleh masyarakat Jepang. Jadi, saat kondisi ekonomi Jepang memburuk, maka uang masih tetap beredar di Negeri Sakura -julukan Jepang- tersebut.
"Saya pingin keluar dari perdebatan utang terhadap PDB. Indonesia dibanding Jepang itu nggak nyambung, dibanding AS nggak nyambung. Jepang 200% nggak masalah, karena 70% pemilikan utang itu dimiliki oleh Jepang. Ketika kondisi memburuk, uang masih beredar di Jepang," katanya dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Jumat (25/8/2017).
Sementara Indonesia, kata Bhima, 39% utang dikuasai oleh asing. Jika kondisi ekonomi Indonesia goyan, maka semua akan hijrah bersama dan menyebaban aliran dana yang keluar (capital outflow) sangat besar.
"Indonesia 39% dikuasai asing. Risiko keuangannya harus dimitigasi. Ketika asing hijrah bersama, capital outflow itu yang menyebabkan ekonomi kita terguncang. Ini yang harus dibedakan," imbuh dia.
Tak hanya itu, pemerintah selalu menyatakan bahwa utang tak masalah asalkan dimanfaatkan untuk kegiatan yang produktif. Menurut Bhima, utang Indonesia salah satunya adalah untuk ambisi proyek infrastruktur. Bahkan, subsidi pun dipotong untuk membiayai infrastruktur.
Sayangnya, proyek infrastruktur yang dibangun di Indonesia dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, hal tersebut justru kontraproduktif dengan tujuan pemerintah untuk menarik utang.
"Infrastruktur masalahnya jelas, karena dibangun berdasarkan prisnip semuanya mau dikuasai perusahaan negara. 87% dikuasai oleh perusahaan skala besar. Kalau dikuasai BUMN, utang itu hanya akan dirasakan manfaatnya oleh BUMN. Bukan ke masyarakat. Rekomendasinya adalah segera diperbaiki. Jangan infrastruktur dikuasai BUMN, berikan ksempatan swasta untuk proyek infrastruktur," tandasnya.
Sebelumnya pemerintah juga diyakini harus berhati-hati dalam mengelola utang mengingat risikonya yang terlalu besar. Salah satu risiko itu adalah kepemilikan asing dalam SBN yang mencapai 39,5%. Selain itu, penerbitan SBN domestik juga berpotensi membuat likuiditas semakin ketat. Apalagi, perbankan berencana menggenjot penyaluran kredit pada paruh kedua tahun ini sehingga berpotensi memicu perang suku bunga deposito.
(Baca Juga: Utang Pemerintah Tembus Rp3.429 Triliun Dibilang Masih Aman
Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira mengungkapkan, jumlah utang Jepang yang 200% dari PDB masih aman karena hampir 70% kepemilikan utangnya dimiliki oleh masyarakat Jepang. Jadi, saat kondisi ekonomi Jepang memburuk, maka uang masih tetap beredar di Negeri Sakura -julukan Jepang- tersebut.
"Saya pingin keluar dari perdebatan utang terhadap PDB. Indonesia dibanding Jepang itu nggak nyambung, dibanding AS nggak nyambung. Jepang 200% nggak masalah, karena 70% pemilikan utang itu dimiliki oleh Jepang. Ketika kondisi memburuk, uang masih beredar di Jepang," katanya dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Jumat (25/8/2017).
Sementara Indonesia, kata Bhima, 39% utang dikuasai oleh asing. Jika kondisi ekonomi Indonesia goyan, maka semua akan hijrah bersama dan menyebaban aliran dana yang keluar (capital outflow) sangat besar.
"Indonesia 39% dikuasai asing. Risiko keuangannya harus dimitigasi. Ketika asing hijrah bersama, capital outflow itu yang menyebabkan ekonomi kita terguncang. Ini yang harus dibedakan," imbuh dia.
Tak hanya itu, pemerintah selalu menyatakan bahwa utang tak masalah asalkan dimanfaatkan untuk kegiatan yang produktif. Menurut Bhima, utang Indonesia salah satunya adalah untuk ambisi proyek infrastruktur. Bahkan, subsidi pun dipotong untuk membiayai infrastruktur.
Sayangnya, proyek infrastruktur yang dibangun di Indonesia dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, hal tersebut justru kontraproduktif dengan tujuan pemerintah untuk menarik utang.
"Infrastruktur masalahnya jelas, karena dibangun berdasarkan prisnip semuanya mau dikuasai perusahaan negara. 87% dikuasai oleh perusahaan skala besar. Kalau dikuasai BUMN, utang itu hanya akan dirasakan manfaatnya oleh BUMN. Bukan ke masyarakat. Rekomendasinya adalah segera diperbaiki. Jangan infrastruktur dikuasai BUMN, berikan ksempatan swasta untuk proyek infrastruktur," tandasnya.
Sebelumnya pemerintah juga diyakini harus berhati-hati dalam mengelola utang mengingat risikonya yang terlalu besar. Salah satu risiko itu adalah kepemilikan asing dalam SBN yang mencapai 39,5%. Selain itu, penerbitan SBN domestik juga berpotensi membuat likuiditas semakin ketat. Apalagi, perbankan berencana menggenjot penyaluran kredit pada paruh kedua tahun ini sehingga berpotensi memicu perang suku bunga deposito.
(akr)