Utang Indonesia Dekati Rp6.000 Triliun, Pengamat Sebut Sudah Masuk Lampu Merah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kondisi utang Indonesia menurut pengamat sudah lampu merah, yang diyakini sudah sangat membebani anggaran. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) bahwa posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal I-2021 sebesar USD415,6 miliar atau setara Rp5.943,1 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dollar AS). Artinya, utang Indonesia sudah mendekati Rp6.000 triliun.
Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudistira menerangkan, terdapat beberapa cara untuk melihat risiko utang. Pertama, kemampuan bayar utang pemerintah dilihat dari perbandingan antara beban bunga utang dibagi dengan penerimaan pajak.
"Berdasarkan data APBN 2021 , rasio antara beban bunga utang sudah mencapai 25% dari target penerimaan pajak. Ini menandakan porsi bunga utang sudah terlampau membebani anggaran," kata Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Senin (7/6/2021).
Apalagi di tengah rasio pajak yang terus menurun diperkirakan hanya 8-8,1% pada 2021. Dimana menurutnya, kondisi ini tentu sudah lampu merah harusnya. Kedua, kemampuan bayar utang luar negeri bisa dilihat dari indikator Debt Service Ratio atau DSR.
"Rasio ini untuk mengukur porsi utang luar negeri terhadap sumber-sumber penerimaan valas. Tercatat dari data BI, DSR per data Mei 2021 meningkat menjadi 23,5% lebih tinggi dibandingkan posisi 2014 yakni 18,3%," katanya.
Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir terjadi ketidaseimbangan antara kemampuan penerbitan utang luar negeri baru dengan penerimaan dari sisi ekspor, dan devisa lainnya. Ketiga, kekhawatiran risiko penerbitan utang sejalan dengan adanya taper tantrum dalam waktu dekat.
Taper tantrum membuat investor melepaskan kepemilikan surat utang negara berkembang dan memilih aset yang aman. "Kondisi 2013 bisa terjadi dan membuat pemerintah semakin sulit menerbitkan surat utang ke pasar," imbuhnya.
Keempat, ekses penerbitan surat utang dapat menyebabkan crowding out effect. Investasi swasta ke sektor riil dapat terganggu karena imbal hasil yang ditawarkan surat utang pemerintah lebih menarik dibandingkan berinvestasi secara riil.
Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudistira menerangkan, terdapat beberapa cara untuk melihat risiko utang. Pertama, kemampuan bayar utang pemerintah dilihat dari perbandingan antara beban bunga utang dibagi dengan penerimaan pajak.
"Berdasarkan data APBN 2021 , rasio antara beban bunga utang sudah mencapai 25% dari target penerimaan pajak. Ini menandakan porsi bunga utang sudah terlampau membebani anggaran," kata Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Senin (7/6/2021).
Apalagi di tengah rasio pajak yang terus menurun diperkirakan hanya 8-8,1% pada 2021. Dimana menurutnya, kondisi ini tentu sudah lampu merah harusnya. Kedua, kemampuan bayar utang luar negeri bisa dilihat dari indikator Debt Service Ratio atau DSR.
"Rasio ini untuk mengukur porsi utang luar negeri terhadap sumber-sumber penerimaan valas. Tercatat dari data BI, DSR per data Mei 2021 meningkat menjadi 23,5% lebih tinggi dibandingkan posisi 2014 yakni 18,3%," katanya.
Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir terjadi ketidaseimbangan antara kemampuan penerbitan utang luar negeri baru dengan penerimaan dari sisi ekspor, dan devisa lainnya. Ketiga, kekhawatiran risiko penerbitan utang sejalan dengan adanya taper tantrum dalam waktu dekat.
Taper tantrum membuat investor melepaskan kepemilikan surat utang negara berkembang dan memilih aset yang aman. "Kondisi 2013 bisa terjadi dan membuat pemerintah semakin sulit menerbitkan surat utang ke pasar," imbuhnya.
Keempat, ekses penerbitan surat utang dapat menyebabkan crowding out effect. Investasi swasta ke sektor riil dapat terganggu karena imbal hasil yang ditawarkan surat utang pemerintah lebih menarik dibandingkan berinvestasi secara riil.
(akr)