Sri Mulyani Buka Suara soal Pajak Penulis yang Ketinggian
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani turut mengomentari keluhan penulis novel, Tere Liye yang mengaku bahwa pajak yang harus ditanggung profesi penulis sangatlah tinggi. Bahkan, pajak penulis jauh lebih tinggi dari profesi lainnya seperti dokter dan pengacara.
Dia mengaku telah memerintahkan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi untuk mendalami persoalan ini. Rencananya, Ditjen Pajak akan mengundang Tere Liye untuk mencari duduk permasalahannya.
"Dirjen Pajak sudah akan melihat persoalan, apakah persoalan pelayanan kita atau mengenai ratenya, apakah masalah yang lain. Jadi saya sudah meminta dipanggil, dilihat masalahnya dan Dirjen Pajak akan melaporkan yang saya minta," katanya di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (6/9/2017).
Mantan Menko bidang Perekonomian ini menuturkan, jika kasus ini merupakan persoalan pelayanan Ditjen Pajak maka dia meminta agar segera diperbaiki. "Kalau ini masalahnya adalah pelayanan kita, harusnya itu bisa diperbaiki segera. Dan tidak hanya untuk penulis Tere Liye saja, tapi kepada yang lain," imbuh dia.
Sementara jika hal ini menyangkut tarif, tambah dia, maka persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Sebab, butuh waktu untuk mengubah sebuah peraturan.
"Kalau ini menyangkut masalah tarif yang berhubungan dengan UU, ya kita harus jelaskan kalau ini enggak mungkin kita selesaikan dalam jangka pendek. Kalau ada masalah lain administrasi, nanti kita lihat," tandasnya.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugeasteadi sebelumnya menilai bahwa Tere Liye salah persepsi mengenai pajak yang dikenakan terhadap penulis tersebut. Tere Liye berpendapat bahwa pajak yang harus ditanggungnya bertingkat (layer) tergantung royalti yang diperolehnya dari penjualan buku.
Padahal, menurut Ken, pajak 15% yang harus ditanggung penulis bersifat final. Jadi, berapapun omzet dan royalti dari buku tersebut maka pajaknya tetap 15%. "Enggak, itu final (pajak penulis 15%). 15% dari royalti, bukan dari omzet bukunya," terangnya.
Dia mengaku telah memerintahkan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi untuk mendalami persoalan ini. Rencananya, Ditjen Pajak akan mengundang Tere Liye untuk mencari duduk permasalahannya.
"Dirjen Pajak sudah akan melihat persoalan, apakah persoalan pelayanan kita atau mengenai ratenya, apakah masalah yang lain. Jadi saya sudah meminta dipanggil, dilihat masalahnya dan Dirjen Pajak akan melaporkan yang saya minta," katanya di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (6/9/2017).
Mantan Menko bidang Perekonomian ini menuturkan, jika kasus ini merupakan persoalan pelayanan Ditjen Pajak maka dia meminta agar segera diperbaiki. "Kalau ini masalahnya adalah pelayanan kita, harusnya itu bisa diperbaiki segera. Dan tidak hanya untuk penulis Tere Liye saja, tapi kepada yang lain," imbuh dia.
Sementara jika hal ini menyangkut tarif, tambah dia, maka persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Sebab, butuh waktu untuk mengubah sebuah peraturan.
"Kalau ini menyangkut masalah tarif yang berhubungan dengan UU, ya kita harus jelaskan kalau ini enggak mungkin kita selesaikan dalam jangka pendek. Kalau ada masalah lain administrasi, nanti kita lihat," tandasnya.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugeasteadi sebelumnya menilai bahwa Tere Liye salah persepsi mengenai pajak yang dikenakan terhadap penulis tersebut. Tere Liye berpendapat bahwa pajak yang harus ditanggungnya bertingkat (layer) tergantung royalti yang diperolehnya dari penjualan buku.
Padahal, menurut Ken, pajak 15% yang harus ditanggung penulis bersifat final. Jadi, berapapun omzet dan royalti dari buku tersebut maka pajaknya tetap 15%. "Enggak, itu final (pajak penulis 15%). 15% dari royalti, bukan dari omzet bukunya," terangnya.
(ven)