Kriminalisasi Geo Dipa Gagal, Potensi Penerimaan Negara Terselamatkan
A
A
A
JAKARTA - Koordinator Forum Peduli BUMN, Romadhon Jasn mengapresiasi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menganulir upaya kriminalisasi terhadap PT Geo Dipa Energi. Putusan ini membuat perusahaan BUMN panas bumi ini siap untuk melanjutkan proses pembangunan PLTP Dieng dan Patuha.
Dengan demikian, potensi kehilangan pendapatan negara sebesar Rp2,5 triliun dari rencana pengembangan dua PLTP bisa terselamatkan. Selama ini, atas upaya kriminalisasi PT Geo Dipa, kedua pembangunan PLTP tersebut terhambat, diakibatkan oleh pemeriksaan perkara pidana ini.
"Kami mengapresiasi aparat hukum yang ikut berpartisipasi menyelamatkan keuangan negara, dalam hal ini BUMN. Tentunya kami berharap dengan penyelesaian kasus ini bisa membuat pengembangan energi panas bumi makin menggeliat," ujar Romadhon di Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Romadhon mengharapkan, agar semua BUMN bisa bergandengan tangan dengan aparat hukum agar bersama-sama menyelamatkan keuangan negara dari potensi kerugian yang terjadi akibat permasalahan hukum.
Direktur Utama Geo Dipa Energi, Riki Ibrahim mengakui kasus tersebut sempat menghambat proyek kelistrikan 35.000 MW. Apalagi, Geo Dipa tengah menggenjot pengembangan dua PLTP yaitu Dieng Unit 2 dan 3 serta Patuha Unit 2 dan 3.
"Saat ini, Geo Dipa mengembangkan empat lapangan panas bumi yaitu lapangan eksisting Dieng dan Patuha yang masing-masing memiliki potensi 400 MW, dan dua lapangan yang baru saja ditugaskan langsung Menteri ESDM Ignasius Jonan, yaitu WKP Arjuno Welirang dengan eastimasi potensi 200 MW dan WKP Candi Umbul Telomoyo potensi sebesar 100 MW," kata Riki.
Kuasa Hukum Geo Dipa Energi, Heru Mardijarto dalam berbagai persidangan menegaskan bahwa asal mula sengketa Geo Dipa - Bumigas terjadi pada 2005. Ketika itu, GDE dan Bumigas bekerja sama dengan kewajiban Bumigas membuat lima unit PLTPB, yaitu PLTPB Dieng 2, Dieng 3, Patuha 1, 2 dan Patuha 3.
Dalam kontraknya disebutkan juga, Bumigas yang menanggung seluruh pembiayaannya, kemudian menyerahkan pembangkit yang sudah selesai dan siap beroperasi secara komersial kepada Geo Dipa Energi (GDE), dan mengoperasikan bersama melalui perusahaan operating and maintenance (O&M) patungan Bumigas dan GDE.
Namun, pada pelaksanaannya yang berlaku efektif pada 1 Februari sampai dengan Desember 2005, Bumigas belum juga melaksanakan kegiatan fisik pembangunan proyek. Geo Dipa lantas memberi peringatan kepada Bumigas, namun tak dihiraukan, bahkan sampai peringatan ke-5 di Juni 2006.
Akhirnya, pada 7 Mei 2007, Geo Dipa mengirim notice of default kepada Bumigas. Isinya antara lain, bila Bumigas tidak memenuhi kewajibannya dalam 30 hari, maka tanpa pemberitahuan GDE mengajukan penyelesaian kontrak melalui Arbitrase Nasional.
Kemudian pada 17 Juli 2008, Arbitrase melalui putusan No 27/XI/ARB-BANI/2007, menyatakan Bumigas melakukan cidera janji, dan menyatakan memutus kontrak keduanya di hari itu juga. Setelah itulah Bumigas melakukan upaya berbagai cara membawa persoalan ini ke ranah hukum.
Dengan demikian, potensi kehilangan pendapatan negara sebesar Rp2,5 triliun dari rencana pengembangan dua PLTP bisa terselamatkan. Selama ini, atas upaya kriminalisasi PT Geo Dipa, kedua pembangunan PLTP tersebut terhambat, diakibatkan oleh pemeriksaan perkara pidana ini.
"Kami mengapresiasi aparat hukum yang ikut berpartisipasi menyelamatkan keuangan negara, dalam hal ini BUMN. Tentunya kami berharap dengan penyelesaian kasus ini bisa membuat pengembangan energi panas bumi makin menggeliat," ujar Romadhon di Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Romadhon mengharapkan, agar semua BUMN bisa bergandengan tangan dengan aparat hukum agar bersama-sama menyelamatkan keuangan negara dari potensi kerugian yang terjadi akibat permasalahan hukum.
Direktur Utama Geo Dipa Energi, Riki Ibrahim mengakui kasus tersebut sempat menghambat proyek kelistrikan 35.000 MW. Apalagi, Geo Dipa tengah menggenjot pengembangan dua PLTP yaitu Dieng Unit 2 dan 3 serta Patuha Unit 2 dan 3.
"Saat ini, Geo Dipa mengembangkan empat lapangan panas bumi yaitu lapangan eksisting Dieng dan Patuha yang masing-masing memiliki potensi 400 MW, dan dua lapangan yang baru saja ditugaskan langsung Menteri ESDM Ignasius Jonan, yaitu WKP Arjuno Welirang dengan eastimasi potensi 200 MW dan WKP Candi Umbul Telomoyo potensi sebesar 100 MW," kata Riki.
Kuasa Hukum Geo Dipa Energi, Heru Mardijarto dalam berbagai persidangan menegaskan bahwa asal mula sengketa Geo Dipa - Bumigas terjadi pada 2005. Ketika itu, GDE dan Bumigas bekerja sama dengan kewajiban Bumigas membuat lima unit PLTPB, yaitu PLTPB Dieng 2, Dieng 3, Patuha 1, 2 dan Patuha 3.
Dalam kontraknya disebutkan juga, Bumigas yang menanggung seluruh pembiayaannya, kemudian menyerahkan pembangkit yang sudah selesai dan siap beroperasi secara komersial kepada Geo Dipa Energi (GDE), dan mengoperasikan bersama melalui perusahaan operating and maintenance (O&M) patungan Bumigas dan GDE.
Namun, pada pelaksanaannya yang berlaku efektif pada 1 Februari sampai dengan Desember 2005, Bumigas belum juga melaksanakan kegiatan fisik pembangunan proyek. Geo Dipa lantas memberi peringatan kepada Bumigas, namun tak dihiraukan, bahkan sampai peringatan ke-5 di Juni 2006.
Akhirnya, pada 7 Mei 2007, Geo Dipa mengirim notice of default kepada Bumigas. Isinya antara lain, bila Bumigas tidak memenuhi kewajibannya dalam 30 hari, maka tanpa pemberitahuan GDE mengajukan penyelesaian kontrak melalui Arbitrase Nasional.
Kemudian pada 17 Juli 2008, Arbitrase melalui putusan No 27/XI/ARB-BANI/2007, menyatakan Bumigas melakukan cidera janji, dan menyatakan memutus kontrak keduanya di hari itu juga. Setelah itulah Bumigas melakukan upaya berbagai cara membawa persoalan ini ke ranah hukum.
(ven)