Pemerintah Harus Gunakan Uang Pajak untuk Kemakmuran Rakyat

Sabtu, 21 Oktober 2017 - 08:22 WIB
Pemerintah Harus Gunakan...
Pemerintah Harus Gunakan Uang Pajak untuk Kemakmuran Rakyat
A A A
JAKARTA - Genap sudah tiga tahun Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla bersama kabinet kerja mengemban amanat pemerintahan. Berbagai perubahan di segala sektor dilakukan untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Tidak terkecuali di sektor perpajakan yang menjadi salah satu kunci utama bagian dari penerimaan negara. Karena dengan penerimaan perpajakan, mampu turut berkontribusi terhadap APBN dan penentu keberhasilan pencapaian target-target pembangunan, termasuk sebagai instrumen kebijakan untuk mengatasi ketimpangan.

Di tiga tahun Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres JK, terdapat beberapa pencapaian yang layak mendapatkan apresiasi, seperti kesuksesan program amnesti pajak dan terbitnya Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Amnesti Pajak adalah jembatan menuju reformasi perpajakan yang komprehensif dan keterbukaan informasi menjadi penanda dimulainya era baru perpajakan yang transparan. Aturan ini merupakan syarat Indonesia untuk bisa melakukan Automatic Exchange of Information (AEoI) dengan negara lain di 2018.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengatakan, bahwa dengan adanya Perppu ini, legislasi sudah otomatis berjalan. "Nantinya OECD yang menilai dan Indonesia sudah punya aturan primer dan sekunder sebagai syarat implementasi AEoI," katanya belum lama ini.

Ia pun berjanji, pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan melakukan pendekatan dengan DPR supaya Perppu 1 Tahun 2017 diketok menjadi UU. Alasannya, payung hukum tersebut sangat penting demi kepentingan Indonesia.

Namun, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) masih menggarisbawahi beberapa catatan yang harus diperhatikan dan agenda yang wajib dituntaskan. Misalnya untuk corak arsitektur kebijakan fiskal yang lebih jelas dan memberi kepastian arah, optimalisasi kebijakan pajak sebagai instrumen untuk redistribusi dan mengurangi ketimpangan, praktik pemungutan pajak yang fair dan konsisten, program reformasi perpajakan, simplifikasi administrasi perpajakan, dan penguatan budaya pajak.

"Secara umum, pemerintah perlu memperjelas corak dan warna kebijakan. Kami memandang perlunya manajemen yang lebih efektif dalam merumuskan kerangka kebijakan, memandu formulasi dan arah kebijakan fiskal agar terarah, fokus kepada agenda-agenda besar yang penting dan mendesak, mengurangi kegaduhan, menciptakan kepastian, dan menjamin rasa nyaman para pemangku kepentingan," ujar Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo kepada SINDOnews, Jakarta, Sabtu (21/10/2017).

Hal ini, ujar Prastowo, sangat penting sekali kontrol agar tercipta tertib dan disiplin dalam praktik pemungutan pajak, termasuk perlunya melibatkan publik dalam diskursus kebijakan dan perluasan kanalisasi aspirasi.

Dia melanjutkan, pemerintah perlu mawas diri dan melakukan evaluasi, bertolak dari pencapaian target penerimaan pajak dalam APBN 2015 dan 2016 yang kurang menggembirakan. "Karena tercatat pencapaian target pajak 2015 sebesar 82% dan tahun 2016 sebesar 81%. Sedangkan pencapaian target bea dan cukai cukup bagus, tahun 2015 sebesar 92,3% dan tahun 2016 sebesar 97,15%," ungkapnya.

Rendahnya pencapaian dipengaruhi oleh kenaikan target penerimaan yang ambisius di saat perekonomian sedang mengalami stagnasi, selain faktor kepatuhan yang masih rendah dan kapasitas otoritas pemungut pajak yang perlu ditingkatkan. Dalam jangka pendek, memperbaiki fundamental lebih mendesak daripada memaksakan akselerasi, sehingga rasionalitas dan prioritas belanja patut mendapat perhatian.

"Maka moderasi target pajak pada APBNP 2017 layak diapresiasi sebagai titik balik rasionalitas kebijakan fiskal, karena lebih realistis dan peka terhadap kondisi dunia usaha," kata dia.

Dalam kebijakan pemungutan pajak yang adil dan tetap mempertimbangkan iklim investasi usaha, memang seyogianya dipertahankan sebagai corak kebijakan perpajakan pemerintah hingga 2019 mendatang, demi menciptakan keadilan, kepastian, dan menjaga performa dan kepercayaan publik.

Jika dilihat kembali, selama masa jabatan Presiden Jokowi-Wapres JK bersama kabinet kerja, memang implementasi dan pencapaian program amnesti pajak pada tahun 2016-2017 patut diapresiasi sebagai jalan keluar dari kebuntuan akibat beban target pajak yang tinggi dan kegamangan dunia usaha menghadapi ketidakpastian.

"Amnesti pajak setidaknya sukses meraup uang tebusan sebesar Rp134,8 triliun, deklarasi harta Rp4.865,7 triliun, reptriasi sebesar Rp147,1 triliun, dan peserta sebanyak 965.983 wajib pajak," lanjut Prastowo.

Amnesti pajak sudah barang pasti menjadi modal sosial dan jembatan menuju sistem perpajakan baru yang berkeadilan, transparan, akuntabel, dan berkepastian hukum melalui program reformasi perpajakan.

Selain itu, langkah reformasi perpajakan memang harus dilanjutkan secara berkesinambungan, yang mana akan menjadi proyek jangka menengah-panjang yang membutuhkan komitmen kuat, kesadaran yang tinggi, dukungan politik yang penuh, konsistensi, dan peta jalan yang jelas dan terukur.

"Menurut saya juga periode pemerintahan Jokowi-JK ini adalah saat yang tepat untuk menuntaskan agenda reformasi perpajakan guna meletakkan fundamental dan pondasi prinsip dan sistem perpajakan yang kuat," imbuhnya.

Revisi UU Perpajakan yang dibuat membentuk suatu sistem di masyarakat agar lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, menumbuhkan kebijakan perpajakan yang kompetitif dan responsif, penerbitan perpres khusus untuk perbaikan administrasi yang berbasis teknologi informasi yang menjamin kemudahan dan kesederhanaan, penyederhanaan prosedur perpajakan dan sengketa pajak, penuntasan transformasi kelembagaan, pengembangan sumber daya manusia yang profesional dan berintegritas, dan peningkatan kesadaran dan kepatuhan pajak.

Tidak hanya itu, Prastowo memberikan penjabaran lain mengenai pencapaian yang harus diapresiasi yakni penerbitan Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (UU No. 9 Tahun 2017).

"Seperti yang sudah saya singgung di awal bahwa ini merupakan bagian untuk memastikan kewenangan otoritas pajak untuk mendapatkan data dan informasi keuangan baik domestik maupun antarnegara," katanya.

Era baru perpajakan yang transparan ini akan meningkatkan efektivitas pemungutan pajak, namun di sisi lain perlu penguatan akuntabilitas agar menjamin keamanan data dan kenyamanan masyarakat wajib pajak. Maka sinergi otoritas fiskal dan otoritas moneter mutlak diperlukan.

Kemudian, untuk strategi pasca amnesti, Prastowo juga menggarisbawahi langkah pemerintah untuk mendapatkan trust dari masyarakat. Saat ini, Pemerintah baru saja menerbitkan PP Nomor 36 Tahun 2017 sebagai bagian dari tindak lanjut pasca-amnesti pajak.

"Ini perlu dipastikan bahwa kebijakan perpajakan pasca-amnesti dilandasi prinsip kehati-hatian, mengkalkulasi dampak dan risiko politik, dan tetap menjaga kepercayaan publik melalui tindakan yang terukur dan jelas," kata dia.

Guna memenuhi rasa keadilan publik terutama wajib pajak yang ikut program amnesti pajak, sebaiknya penegakan hukum pertama-tama ditujukan bagi wajib pajak atau siapapun yang tidak ikut amnesti, terdapat data akurat tentang harta yang tidak dilaporkan, dan nilainya signifikan, termasuk peserta amnesti yang mengikuti program namun secara sengaja tidak jujur. Perlu diberikan kelonggaran bagi para peserta amnesti, termasuk untuk menunjukkan komitmen untuk jujur dan patuh.

Last but not least, lanjut Prastowo, perananan Ditjen Bea dan Cukai yang tidak boleh dilupakan dalam membantu penerimaan negara. Saat ini, Bea Cukai sedang dalam penguatan reformasi kepabeanan dan cukai agar institusi lebih berintegritas, kompeten, dan mampu menjalankan tugas dengan lebih baik, terutama pelayanan ekspor impor.

"Penindakan terhadap importir borongan merupakan langkah tepat dan patut didukung, dengan terus melanjutkan debirokratisasi dan penyederhanaan perizinan, khususnya pengurangan lartas secara signifikan," katanya.

Dalam hal ini, presiden diharapkan memberikan dukungan penuh agar kementerian dan lembaga, termasuk aparat penegak hukum memberikan dukungan konkret guna memastikan agenda penting ini berjalan dan tuntas.

Kemenkeu dan Ditjen Bea dan Cukai juga perlu terus didorong dan didukung agar berani melakukan ekstensifikasi barang kena cukai untuk melindungi masyarakat dari eksternalitas negatif dan menambah pundi-pundi penerimaan negara.

"Kemudian juga yang harus diperhatikan, simplifikasi tarif cukai atas hasil tembakau perlu dituntaskan agar menjamin pengendalian dan mempermudah pengawasan," ungkapnya.

Terakhir, lanjutnya, meminjam ucapan Alvin Rabushka--ilmuwan politik Amerika Serikat--bahwa kebijakan politik yang baik akan serta merta berbalik menjadi malapetaka ketika kebijakan perpajakan yang ditempuh bersifat eksesif, tidak moderat, dan meniadakan kontrol dan partisipasi masyarakat.

"Dengan demikian relasi timbal balik antara Pemerintah dan warga negara perlu dijamin eksistensi dan kesinambungannya dengan memastikan bahwa pemungutan pajak dilakukan dengan cara-cara yang adil, fair, akuntabel, dan transparan, dan penggunaan uang pajak ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," pungkasnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1157 seconds (0.1#10.140)