Indonesia Ekspor Perdana Salak Pondoh ke Selandia Baru

Senin, 23 Oktober 2017 - 23:02 WIB
Indonesia Ekspor Perdana...
Indonesia Ekspor Perdana Salak Pondoh ke Selandia Baru
A A A
SLEMAN - Salak pondoh akhirnya dapat diterima di Selandia Baru sebagai buah ekspor. Kepastian ini setelah salak pondoh dari Sleman, Yogyakarta, baik dari kualitas maupun kesehatan dinyatakan lolos standarisasi negara tersebut.

Sebagai tindak lanjut, Indonesia melaunching ekspor salak pondoh perdana ke Selandia Baru di rumah kemas, Asosiasi Petani Salak Sleman Prima Sembada, Sleman, Yogyakartam Senin (23/10/2017). Untuk tahap awal, baru mengirimkan buah salak ke Selandia Baru Rp100 kg.

Dalam kesempatan tersebut, juga dilakukan penandatanganan kesepakatan protokol ekspor buah salak dari Indonesia ke Selandia Baru oleh Kepala Badan Karantina Pertanian Banun Harpini dan Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia Trevon Matheson.

Ketua Asosiasi Salak Sleman Maryono mengatakan, untuk launching ini baru mengirimkan 100 kg sebagai contoh. Di mana salak itu diambilkan dari tiga wilayah penghasil salak di Sleman, yaitu Tempel, Turi, dan Pakem. Namun, setelah itu akan diikuti pengirim berikutnya.

Apalagi, potensi kualitas salak ekspor antara 3-5 ton per pekan. Di Sleman ada 1.400 petani Salak yang tergabung dalam asosiasi petani salak Sleman.

"Untuk ke Selandia Baru ini baru pertama kali. Tetapi sebelumnya sudah mengirimkan salak ke beberapa negara Asia, seperti China, Singapura, Thailand, Malaysia, dan Australia. Bahkan ke China rata-rata 1-2 ton tiap pekan. Selain itu, juga mencoba menembus pasar Eropa. Sementara masih mengirimkan rata-rata 200 kg per pekan. "Untuk ke Eropa kami masih menunggu perkembangan pasar," papar Maryono.

Menurutnya, meski untuk prospek pemasaran salak pondoh ke luar negeri bagus, tetapi petani belum berani secara mandiri untuk penjualannya. Sehingga untuk pengirimannya masih melalui eksportir.

Kendala lainnya, yakni lamanya perjalanan sampai di negara tujuan, seperti ke China melalui kapal membutuhkan waktu 20 hari. Padahal buah salak hanya tahan maksimal 30 hari. "Karena itu kami menyambut baik dengan pengiriman langsung salak melalui bandara Adisutjipto ke Selandia Baru ini. Selain menghemat waktu tentunya juga biaya dan akan berdampak pada kesejahteraan petani,: ungkapnya.

Maryono menjelaskan, dengan pengirimana langsung ini tentunya juga akan memutus mata rantai harga salak itu sendiri. Dimana untuk harga salak di tingkat lokal atau pengepul rata-rata Rp4.000 per kg, sedangkan untuk ekspor rata-rata Rp7.000 per kg.

Kepala Badan Karantina Pertaniaan Hanus Harpini mengatakan, keberhasilan salak pondok menembus pasar Selandian Baru merupakan prestasi tersendiri bagi produk hortikuktura Indonesia. Sebab Selandia Baru terkenal sangat selektif dan menguntamakan standar kualitas dan kesehatan dalam menerima produk hortikultura.

"Khusus untuk salak ditandai dengan dikeluarkannya Import Health Standard (IHS): Fresh Salacca for Human Consumption pada tanggal 9 Juni 2017. Dalam arti buah salak bebas hama dan penyakit atau organisme pengganggu tumbuhan (OPT) serta memenuhi standard keamanan pangan Selandia Baru," papar Hanun dalam sambutannya.

Selain Salak, buah Indonesia yang sudah menembus pasar hortikultura Selandia Baru, yakni manggis. Bahkan masuk sejak dua tahun lalu dan ke depan direncanakan buah mangga. Untuk mangga saat ini sedang melakukan kajian terhadap kesehatan dan diharapkan tahun ini IHS mangga bisa ditandatangani.

"Ke depan, untuk meningkatkan percepatan layanan ekspor, kami juga akan menerapkan Electronic Certification (e-Cert) dalam penerbitan Phytosanitary Certificate. Saat ini, proses penerapan e-Cert dengan pemerintah Selandia Baru dalam proses finalisasi," ungkapnya.

Duta Besar Selandia Baru Untuk Indonesia Trevon Matheson mengatakan, selain sudah lolos standar ekspor di Selandia Baru, hal lain yang membuat negaranya tertarik dengan salak, karena salak bentuknya unik. Keunikan itu yang juga menjadi pertimbangan dalam menerima pasar hortikultura di Selandia Baru.

"Salak Sleman ini, tumbuh di kaki gunung Merapi, sehingga memiliki keunikan tersendiri, baik dari rasa maupun kesehatan. Sebab salak yang tumbuh di tanah vulkanik itu, sehingga tidak perlu ada pemupukan kimia, karena pupuknya organik, sehingga sehat dan itu yang kami sukai," kata Trevor.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6707 seconds (0.1#10.140)