Ini Tantangan Industri Hospitaliti di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Teknologi digital dan internet telah mengubah kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia, termasuk juga dalam bidang bisnis. Hal yang juga merambah ke sektor perhotelan dan pariwisata (hospitality) di Indonesia.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan industri hospitaliti harus bisa merangkul teknologi yang kini menjadi keharusan dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para konsumen.
Menurut Hariyadi yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), kendati okupansi hotel seluruh Indonesia sepanjang 2016 masih lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, namun sektor hotel dan pariwisata sebenarnya tengah menghadapi tantangan yang cukup berat tahun ini.
Hariyadi menjelaskan tantangan industri hospitaliti saat ini ada tiga. Pertama, kondisi kelebihan pasokan kamar (oversupply) yang terjadi di kota-kota besar. Kedua, kekurangan tenaga kerja terlatih (brain drain). "Dan ketiga, semakin tergerusnya keuntungan dari pemilik atau operator hotel karena online travel agency meminta komisi yang lebih tinggi dari travel agency konvensional," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (14/11/2017).
Industri perhotelan sekarang menghadapi kelebihan pasokan kamar dan hal ini menyebabkan para pemain meminta pemerintah setempat menerapkan moratorium pemberian izin hotel baru, terutama di kota-kota besar di Indonesia, yang sudah sangat banyak jumlah hotelnya.
"Menurut saya moratorium karena untuk daerah yang sudah sangat padat, seperti Bali, Yogyakarta, dan Bandung. Saya belum paham kenapa investornya masih tertarik membangun hotel (di sana) kalau nantinya tidak untung. Kan kita bisnis maunya untung. Ngapain kalau tidak untung. Karena pada akhimya mereka akan kesulitan juga," ungkap Hariyadi.
Sementara itu, Ketua Umum Jakarta Hotel Association yang menaungi lebih dari 43 hotel bintang lima dan empat di Jakarta, Alexander Nayoan mengungkapkan, industri perhotelan mengalami kekurangan tenaga ahli dibidangnya dan sertifikasi profesi yang belum memadai untuk posisi top management di industri ini.
"Buat sertifikasi general manager misalnya, itu apa saja yang dibutuhkan. Idealnya seorang general manager harus memiliki sertifikasi dari semua posisi yang ada di bawahnya," ujarnya.
Ia mencontohkan, untuk posisi GM dibutuhkan sekitar 54 sertitikasi profesi. Sayangnya tidak semuanya bisa didapatkan. Yang tersedia mungkin sekitar 15 sertiflkasi, inipun mengambil dari banyak tempat. Alex mengatakan Lembaga Sertifikasi Profesi Pariwisata belum bisa menyediakan standarisasi profesi yang jelas untuk pekerja di industri hospitaliti.
Alex menegaskan, industri perhotelan sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk serius membenahi masalah sertifikasi, karena masa depan dari industri ini sangat tergantung dari sumber daya manusianya. Menurutnya, pelaku industri perhotelan telah mengeluhkan hal ini dari sekitar 6-7 tahun yang lalu, akan tetapi hingga saat ini belum ada solusi yang konkret dari regulator.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan industri hospitaliti harus bisa merangkul teknologi yang kini menjadi keharusan dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para konsumen.
Menurut Hariyadi yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), kendati okupansi hotel seluruh Indonesia sepanjang 2016 masih lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, namun sektor hotel dan pariwisata sebenarnya tengah menghadapi tantangan yang cukup berat tahun ini.
Hariyadi menjelaskan tantangan industri hospitaliti saat ini ada tiga. Pertama, kondisi kelebihan pasokan kamar (oversupply) yang terjadi di kota-kota besar. Kedua, kekurangan tenaga kerja terlatih (brain drain). "Dan ketiga, semakin tergerusnya keuntungan dari pemilik atau operator hotel karena online travel agency meminta komisi yang lebih tinggi dari travel agency konvensional," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (14/11/2017).
Industri perhotelan sekarang menghadapi kelebihan pasokan kamar dan hal ini menyebabkan para pemain meminta pemerintah setempat menerapkan moratorium pemberian izin hotel baru, terutama di kota-kota besar di Indonesia, yang sudah sangat banyak jumlah hotelnya.
"Menurut saya moratorium karena untuk daerah yang sudah sangat padat, seperti Bali, Yogyakarta, dan Bandung. Saya belum paham kenapa investornya masih tertarik membangun hotel (di sana) kalau nantinya tidak untung. Kan kita bisnis maunya untung. Ngapain kalau tidak untung. Karena pada akhimya mereka akan kesulitan juga," ungkap Hariyadi.
Sementara itu, Ketua Umum Jakarta Hotel Association yang menaungi lebih dari 43 hotel bintang lima dan empat di Jakarta, Alexander Nayoan mengungkapkan, industri perhotelan mengalami kekurangan tenaga ahli dibidangnya dan sertifikasi profesi yang belum memadai untuk posisi top management di industri ini.
"Buat sertifikasi general manager misalnya, itu apa saja yang dibutuhkan. Idealnya seorang general manager harus memiliki sertifikasi dari semua posisi yang ada di bawahnya," ujarnya.
Ia mencontohkan, untuk posisi GM dibutuhkan sekitar 54 sertitikasi profesi. Sayangnya tidak semuanya bisa didapatkan. Yang tersedia mungkin sekitar 15 sertiflkasi, inipun mengambil dari banyak tempat. Alex mengatakan Lembaga Sertifikasi Profesi Pariwisata belum bisa menyediakan standarisasi profesi yang jelas untuk pekerja di industri hospitaliti.
Alex menegaskan, industri perhotelan sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk serius membenahi masalah sertifikasi, karena masa depan dari industri ini sangat tergantung dari sumber daya manusianya. Menurutnya, pelaku industri perhotelan telah mengeluhkan hal ini dari sekitar 6-7 tahun yang lalu, akan tetapi hingga saat ini belum ada solusi yang konkret dari regulator.
(ven)