Bekerja Harus Jujur dan Adil kepada Semua
A
A
A
DIVERSIFIKASI bisnis dan pasar menjadi salah satu resep PT Pacto Ltd dalam menjaga keberlangsungan bisnisnya di industri hospitality hingga berusia setengah abad. Menyasar niche market, Pacto terus membukukan pertumbuhan positif.
Di industri perjalanan wisata Indonesia, Pacto termasuk salah satu pionir. Meskipun bisnis pariwisata saat ini tampak bersinar, tantangan dan persaingan di industri padat karya ini juga tidak mudah. President Director PT Pacto Ltd Ratna Hasmaida R Ning menyebut, kuncinya adalah kemampuan beradaptasi, berinovasi, dan menjaga kualitas.
Apa lagi kiat-kiatnya? berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan wanita yang akrab disapa Raty Ning, di Jakarta, baru-baru ini:
Bisa diceritakan sekilas bisnis dari grup Pacto?
Pacto memulai bisnis sejak 1967. Dulu pertama kali berdiri Pacto Ltd itu basis usahanya adalah tours and travel. Lalu, berkembang punya anak usaha di bidang penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konvensi, dan pameran atau MICE. Dalam perkembangannya, bisnis MICE ini akhirnya menjadi perusahaan tersendiri, yaitu Pacto Convex. Selanjutnya, kami juga punya Bali Prima Holiday yang lebih fokus ke segmen pasar high end. Jadi, secara umum, kami punya dua divisi utama, yaitu Destination Management Company (DMC) dan Travel Management Services (TMS).
Bagaimana kinerja bisnis perusahaan pada tahun ini?
Tahun ini pada usia ke-50, kami mencapai penjualan terbaik sepanjang sejarah Pacto. Penjualan di grup Pacto naik 40% dari tahun lalu, nilainya mendekati Rp1 triliun. Margin keuntungannya juga yang terbaik pada usia setengah abad ini. Kami bersyukur meski ada tekanan inflasi, kenaikan upah dan lainnya, dalam 11 tahun terakhir kami selalu bisa melampaui target yang ditetapkan setiap tahun. Tahun depan kami menargetkan penjualan bisa naik sekira 10%. Sejalan kenaikan sales, margin keuntungan juga harus naik.
Kontribusi terbesar disumbang oleh unit bisnis mana?
Pacto itu dulu basic-nya memang di inbound (menarik wisatawan dari pasar luar ke Indonesia), tapi sejalan waktu kami membuka unit-unit usaha lainnya. Sekarang kami punya bisnis di inbound, outbound incentives, umrah/haji, moneygram, ticketing, dan transportasi. Kalau dulu kontribusi dari inbound sampai 70%, sekarang bisa dibilang antara bisnis inbound dengan unit bisnis lainnya sudah imbang 50:50. Menurut saya, komposisi ini cukup sehat karena kalau kita hanya mengandalkan dari inbound, kalau suatu hari bisnis inbound sedang turun, kan celaka kita.
Pacto dan beberapa pemain inbound dulu banyak membidik pasar Eropa, tapi sepertinya sekarang pasar Asia Pasifik lebih menjanjikan. Pendapat Ibu?
Dulu kami membidik Eropa karena di sana kan negaranya maju dan masyarakatnya punya uang untuk traveling. Namun, sekarang ini memang Asia menjadi salah satu yang terpesat pertumbuhan ekonominya. Maka, tanpa meninggalkan pasar yang sudah matur, kami bidik pasar-pasar potensial di Asia Pasifik seperti India, Australia, termasuk juga Timur Tengah. Sebetulnya, kalau dari segi harga relatif masih sama. Bedanya, turis dari pasar Asia Pasifik periode tinggalnya lebih sedikit dibanding Eropa. Orang Eropa mungkin datang 10-14 hari, sedangkan India lima malam sudah cukup, dan ASEAN mungkin tiga malam cukup.
Kalau secara niche-nya, kami kan memang tidak bermain di segmen pasar yang low budget. Kami mainnya di menengah ke atas. Di Eropa, kelas menengah ke atas juga masih punya uang, masih traveling dan masih jangka panjang. Jadi, kami tetap menggarap Eropa, tapi manakala Eropa sedang turun, ya Alhamdulillah kami punya pasar India dan Asia Pasifik lainnya. Ini bagian dari strategi diversifikasi pasar dan adaptasi.
India kelihatannya sangat menjanjikan, apakah tahun depan akan lebih serius menggarap pasar India?
Untuk market India kami pionir. Saat pemain lain belum masuk, kami sudah masuk. Di India, kami memilih dan mencari segmen wisatawan yang berkualitas karena kami enggak mau kerja cuma capek ngurus orang banyak, tapi dapat margin kecil. Kalau dikaitkan target kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada 2019, harapannya kontribusi kami kepada 20 juta itu turis yang berkualitas. Kalau turis banyak datang, tapi enggak berkualitas (daya beli rendah), nilai tambah buat pedagang, hotel, dan masyarakat sekitar juga kecil.
Bagaimana cara memilah dan memilih turis berkualitas?
Setahun dua kali kami ikut trade show, ajang business to business untuk pasar Eropa. Kami ikut yang di Berlin dan London. Demikian juga untuk pasar Asia Pasifik. Di India, kami berinisiatif mengadakan road show dengan mengajak industri perhotelan untuk ramai-ramai memasarkan. Saat bertemu agen-agen di sana itulah kita bisa memilih. Artinya, dari paket-paketnya juga sudah didesain untuk membidik segmen turis berkualitas yang mau kita sasar.
Apa kiat Pacto bisa lestari hingga usia 50 tahun?
Ada banyak hal yang bisa memengaruhi bisnis inbound, seperti kondisi ekonomi global dan terorisme, sehingga kami kembangkan bisnis lain di luar inbound. Bagaimana pun, kita harus adaptasi terhadap perubahan, perkembangan pasar, termasuk juga menyesuaikan produk-produknya. Harus jeli melihat tren atau selera customer masa kini seperti apa. Lalu, kualitas produk dan jasa juga harus dijaga. Selain itu, karena ini bisnis jasa, maka sumber daya manusia (SDM) menjadi tumpuan dan harus dijaga kualitasnya.
Terkait kepemimpinan, menurut Ibu seperti apa peran pemimpin di perusahaan?
Pertama, intinya kita harus bisa menempatkan orang di posisi yang tepat. Terkadang saya melihat orang tidak bisa berprestasi di perusahaan itu bukan karena dia enggak pintar, tapi lebih karena diposisikan di tempat yang salah. Kedua, sebagai pemimpin harus berani bertanggung jawab sehingga anak buah merasa secure. Apalagi di industri hospitality ini yang utama jangan sampai kena komplain pelanggan. Kalaupun ada yang komplain, kita jangan ngumpet dan menyuruh anak buah yang menghadapi. Sebagai pimpinan, kita yang hadapi, kita telepon, atau kita temui pelanggan itu sehingga dia merasa diperhatikan.
Kalau soal gaya kepemimpinan?
Kami jajaran direksi di grup Pacto punya gaya yang sama, yaitu open door. Kami tegas kepada semua karyawan, tapi kami juga dekat dengan mereka. Jadi, kalau ada masalah atau mau menghadap pimpinan, enggak perlu pakai birokrasi, bisa langsung menghadap, diskusikan, dan selesaikan. Ini budaya di Pacto yang dari dulu enggak berubah. Apalagi di industri hospitality ini kan memang umumnya tidak kaku dan kasual. Adakalanya habis capek kerja kita ajak anak-anak (karyawan) pergi nonton bareng atau karaokean. Jadi, ada struktur kepemimpinan, tapi tidak berarti kita enggak bisa hangout bersama sebagai teman.
Pacto lahir dari perusahaan keluarga, apakah jajaran direksinya juga dari kalangan keluarga?
Meskipun lahir sebagai perusahaan keluarga, Pacto mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam memilih jajaran direksi, bahkan pucuk pimpinan dari setiap unit usahanya. Menurut saya, lebih mudah kalau kita tidak membatasi diri kita dikelola hanya oleh keluarga atau mayoritas pemegang saham. Justru menurut kami potensi di luar sana besar sekali.
Apa moto atau prinsip yang Ibu pegang teguh dalam berkarya?
Saya selalu percaya sampai saat ini bahwa kita kalau kerja itu mesti fair, baik terhadap karyawan, pelanggan, maupun semua stakeholders. Harus jujur dan adil kepada semua. Kalau orang zaman dulu kan apa yang keluar dari mulut itu mesti dipegang, nah saya merasa itu sampai sekarang harus tetap kita pegang, kalau kita mau berkah. Bisnis itu mesti berkah. Buat apa kaya, tapi anak buah kita peras, profitnya bagus tapi anak buah enggak bahagia, supplier dan pelanggan enggak happy. Jadi, kita berusaha agar semua bahagia.
Di industri perjalanan wisata Indonesia, Pacto termasuk salah satu pionir. Meskipun bisnis pariwisata saat ini tampak bersinar, tantangan dan persaingan di industri padat karya ini juga tidak mudah. President Director PT Pacto Ltd Ratna Hasmaida R Ning menyebut, kuncinya adalah kemampuan beradaptasi, berinovasi, dan menjaga kualitas.
Apa lagi kiat-kiatnya? berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan wanita yang akrab disapa Raty Ning, di Jakarta, baru-baru ini:
Bisa diceritakan sekilas bisnis dari grup Pacto?
Pacto memulai bisnis sejak 1967. Dulu pertama kali berdiri Pacto Ltd itu basis usahanya adalah tours and travel. Lalu, berkembang punya anak usaha di bidang penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konvensi, dan pameran atau MICE. Dalam perkembangannya, bisnis MICE ini akhirnya menjadi perusahaan tersendiri, yaitu Pacto Convex. Selanjutnya, kami juga punya Bali Prima Holiday yang lebih fokus ke segmen pasar high end. Jadi, secara umum, kami punya dua divisi utama, yaitu Destination Management Company (DMC) dan Travel Management Services (TMS).
Bagaimana kinerja bisnis perusahaan pada tahun ini?
Tahun ini pada usia ke-50, kami mencapai penjualan terbaik sepanjang sejarah Pacto. Penjualan di grup Pacto naik 40% dari tahun lalu, nilainya mendekati Rp1 triliun. Margin keuntungannya juga yang terbaik pada usia setengah abad ini. Kami bersyukur meski ada tekanan inflasi, kenaikan upah dan lainnya, dalam 11 tahun terakhir kami selalu bisa melampaui target yang ditetapkan setiap tahun. Tahun depan kami menargetkan penjualan bisa naik sekira 10%. Sejalan kenaikan sales, margin keuntungan juga harus naik.
Kontribusi terbesar disumbang oleh unit bisnis mana?
Pacto itu dulu basic-nya memang di inbound (menarik wisatawan dari pasar luar ke Indonesia), tapi sejalan waktu kami membuka unit-unit usaha lainnya. Sekarang kami punya bisnis di inbound, outbound incentives, umrah/haji, moneygram, ticketing, dan transportasi. Kalau dulu kontribusi dari inbound sampai 70%, sekarang bisa dibilang antara bisnis inbound dengan unit bisnis lainnya sudah imbang 50:50. Menurut saya, komposisi ini cukup sehat karena kalau kita hanya mengandalkan dari inbound, kalau suatu hari bisnis inbound sedang turun, kan celaka kita.
Pacto dan beberapa pemain inbound dulu banyak membidik pasar Eropa, tapi sepertinya sekarang pasar Asia Pasifik lebih menjanjikan. Pendapat Ibu?
Dulu kami membidik Eropa karena di sana kan negaranya maju dan masyarakatnya punya uang untuk traveling. Namun, sekarang ini memang Asia menjadi salah satu yang terpesat pertumbuhan ekonominya. Maka, tanpa meninggalkan pasar yang sudah matur, kami bidik pasar-pasar potensial di Asia Pasifik seperti India, Australia, termasuk juga Timur Tengah. Sebetulnya, kalau dari segi harga relatif masih sama. Bedanya, turis dari pasar Asia Pasifik periode tinggalnya lebih sedikit dibanding Eropa. Orang Eropa mungkin datang 10-14 hari, sedangkan India lima malam sudah cukup, dan ASEAN mungkin tiga malam cukup.
Kalau secara niche-nya, kami kan memang tidak bermain di segmen pasar yang low budget. Kami mainnya di menengah ke atas. Di Eropa, kelas menengah ke atas juga masih punya uang, masih traveling dan masih jangka panjang. Jadi, kami tetap menggarap Eropa, tapi manakala Eropa sedang turun, ya Alhamdulillah kami punya pasar India dan Asia Pasifik lainnya. Ini bagian dari strategi diversifikasi pasar dan adaptasi.
India kelihatannya sangat menjanjikan, apakah tahun depan akan lebih serius menggarap pasar India?
Untuk market India kami pionir. Saat pemain lain belum masuk, kami sudah masuk. Di India, kami memilih dan mencari segmen wisatawan yang berkualitas karena kami enggak mau kerja cuma capek ngurus orang banyak, tapi dapat margin kecil. Kalau dikaitkan target kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada 2019, harapannya kontribusi kami kepada 20 juta itu turis yang berkualitas. Kalau turis banyak datang, tapi enggak berkualitas (daya beli rendah), nilai tambah buat pedagang, hotel, dan masyarakat sekitar juga kecil.
Bagaimana cara memilah dan memilih turis berkualitas?
Setahun dua kali kami ikut trade show, ajang business to business untuk pasar Eropa. Kami ikut yang di Berlin dan London. Demikian juga untuk pasar Asia Pasifik. Di India, kami berinisiatif mengadakan road show dengan mengajak industri perhotelan untuk ramai-ramai memasarkan. Saat bertemu agen-agen di sana itulah kita bisa memilih. Artinya, dari paket-paketnya juga sudah didesain untuk membidik segmen turis berkualitas yang mau kita sasar.
Apa kiat Pacto bisa lestari hingga usia 50 tahun?
Ada banyak hal yang bisa memengaruhi bisnis inbound, seperti kondisi ekonomi global dan terorisme, sehingga kami kembangkan bisnis lain di luar inbound. Bagaimana pun, kita harus adaptasi terhadap perubahan, perkembangan pasar, termasuk juga menyesuaikan produk-produknya. Harus jeli melihat tren atau selera customer masa kini seperti apa. Lalu, kualitas produk dan jasa juga harus dijaga. Selain itu, karena ini bisnis jasa, maka sumber daya manusia (SDM) menjadi tumpuan dan harus dijaga kualitasnya.
Terkait kepemimpinan, menurut Ibu seperti apa peran pemimpin di perusahaan?
Pertama, intinya kita harus bisa menempatkan orang di posisi yang tepat. Terkadang saya melihat orang tidak bisa berprestasi di perusahaan itu bukan karena dia enggak pintar, tapi lebih karena diposisikan di tempat yang salah. Kedua, sebagai pemimpin harus berani bertanggung jawab sehingga anak buah merasa secure. Apalagi di industri hospitality ini yang utama jangan sampai kena komplain pelanggan. Kalaupun ada yang komplain, kita jangan ngumpet dan menyuruh anak buah yang menghadapi. Sebagai pimpinan, kita yang hadapi, kita telepon, atau kita temui pelanggan itu sehingga dia merasa diperhatikan.
Kalau soal gaya kepemimpinan?
Kami jajaran direksi di grup Pacto punya gaya yang sama, yaitu open door. Kami tegas kepada semua karyawan, tapi kami juga dekat dengan mereka. Jadi, kalau ada masalah atau mau menghadap pimpinan, enggak perlu pakai birokrasi, bisa langsung menghadap, diskusikan, dan selesaikan. Ini budaya di Pacto yang dari dulu enggak berubah. Apalagi di industri hospitality ini kan memang umumnya tidak kaku dan kasual. Adakalanya habis capek kerja kita ajak anak-anak (karyawan) pergi nonton bareng atau karaokean. Jadi, ada struktur kepemimpinan, tapi tidak berarti kita enggak bisa hangout bersama sebagai teman.
Pacto lahir dari perusahaan keluarga, apakah jajaran direksinya juga dari kalangan keluarga?
Meskipun lahir sebagai perusahaan keluarga, Pacto mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam memilih jajaran direksi, bahkan pucuk pimpinan dari setiap unit usahanya. Menurut saya, lebih mudah kalau kita tidak membatasi diri kita dikelola hanya oleh keluarga atau mayoritas pemegang saham. Justru menurut kami potensi di luar sana besar sekali.
Apa moto atau prinsip yang Ibu pegang teguh dalam berkarya?
Saya selalu percaya sampai saat ini bahwa kita kalau kerja itu mesti fair, baik terhadap karyawan, pelanggan, maupun semua stakeholders. Harus jujur dan adil kepada semua. Kalau orang zaman dulu kan apa yang keluar dari mulut itu mesti dipegang, nah saya merasa itu sampai sekarang harus tetap kita pegang, kalau kita mau berkah. Bisnis itu mesti berkah. Buat apa kaya, tapi anak buah kita peras, profitnya bagus tapi anak buah enggak bahagia, supplier dan pelanggan enggak happy. Jadi, kita berusaha agar semua bahagia.
(amm)