Aturan Holding BUMN Tambang Dinilai Cacat Hukum

Selasa, 02 Januari 2018 - 17:53 WIB
Aturan Holding BUMN Tambang Dinilai Cacat Hukum
Aturan Holding BUMN Tambang Dinilai Cacat Hukum
A A A
JAKARTA - Rencana holdingisasi beberapa perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan saja dinilai tidak mempunyai grand design dan membahayakan kepentingan nasional, namun juga dinilai cacat hukum serta berpotensi merugikan negara. Lantaran itu Koalisi Masyarakat Sipil bakal segera menggugat holding sektor pertambangan yang telah dibentuk sejak 28 November 2017 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 47 Tahun 2017.

Salah seorang inisiator penggugat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil yakni Ahmad Redi menjelaskan bahwa PP No 47 tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) BUMN dan UU Keuangan Negara, sehingga tidak sesuai dengan tujuan Undang-Undang Dasar (UUD 45) pasal 33 ayat 2 dan 3.

“PP 47 ini bertentangan dengan peraturan yang ada. Dia mengalihkan saham tanpa melalui persetujuan DPR yang seharusnya berperan sebagai fungsi pengawas BUMN. Karena itu kita akan gugat ke Mahkama Agung (MA) pada minggu pertama Januari 2018 ini. Draf materinya sudah kita susun,” ujar Ahmad yang juga sebagai Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (2/1/2018).

Sebagaimana diketahui kebijakan holding tambang tersebut mengalihkan saham seri B yang terdiri atas PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65%, PT Bukit Asam (PT BA) Tbk sebesar 65,02%, PT Timah Tbk sebesar 65%, serta 9,36% saham PT Freeport Indonesia yang dimiliki pemerintah kepada PT Inalum (Persero).

Artinya dengan penguasaan saham mayoritas yang dimiliki pemerintah pada Antam, PT BA, PT Timah dan dialihkan atau diberikan kepada PT Inalum sebagai bentuk penyertaan modal, maka ketiga dari perusahaan tersebut menjadi anak perusahaan PT Inalum.

Konsekuensinya jelas Ahmad Redi, ketiga perusahaan yakin PTBA, Antam dan Timah yang tadinya merupakan perusahaan BUMN (berdiri sendiri karena sahamnya secara langsung dimiliki oleh pemerintah) dan memiliki tugas pengabdian sosial/public Service Obligation (PSO), sekarang bukan lagi BUMN dan tidak lagi memiliki kewajiban PSO sejak sahamnya dialihkan ke Inalum.

“Perlu dipahami, anak BUMN bukan lagi BUMN, sehingga dia tidak lagi memiliki kewajiban PSO. Tentu ini sangat merugikan publik,” sesal dia.

Tidak hanya itu, karena dia bukan lagi perusahaan BUMN maka ketiga perusahaan tersebut terhindar dari pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK) dan Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"KPK nggak bisa masuk, BPK juga nggak bisa masuk, tentu ini sangat rentan terjadi penyimpangan. Kita akan segera gugat, legal standing kita jelas secara hukum,” Imbuh dia.

Untuk diketahui, beberapa tokoh dan lembaga yang telah bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk menggugat PP No 47 di antaranya terdapat Pengamat Kebijakan Publik yakni Agus Pambagio, Ketua Departemen Riset Teknologi dan Energi Sumber Daya Mineral KAHMI yaitu Lukman Malanuang, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) dan beberapa lembaga lainnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4243 seconds (0.1#10.140)