Rencana Holding Migas Dinilai Mengganggu Iklim Investasi

Kamis, 04 Januari 2018 - 16:50 WIB
Rencana Holding Migas Dinilai Mengganggu Iklim Investasi
Rencana Holding Migas Dinilai Mengganggu Iklim Investasi
A A A
JAKARTA - Rencana pembentukan holding migas (minyak dan gas bumi) yang diusung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menurut Pakar Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tri Widodo tidak memiliki alasan fundamental bagi kepentigas migas nasional. Hal itu menurutnya justru membuat masalah baru serta mempengaruhi iklim investasi.

Diketahui bahwa mayoritas atau sekitar 80% infrastruktur gas nasional dibangun oleh PGN, sehingga dia melihat motif pembentukan holding migas ini sendiri tidak lain hanya sebatas intrik bisnis untuk menguasai atau memanfaatkan infrastruktur yang dibangun oleh PGN. Lalu dari sudut pandang pemerintah, sangat logis melihat dari aspek ketidakefisiensian apabila ada pembangunan infrastruktur pada serapan gas di wilayah yang juga terdapat infrastruktur PGN.

Karenanya muncul gagasan menjadikan PGN sebagai anak perusahaan Pertamina, sehingga tanpa bersusah payah membangun infrastruktur, akan memperluas jangkauan pasar dengan memanfaatkan pipa transmisi maupun pipa distribusi milik PGN. Hal ini menurutnya menjadikan rencana pembentukan holding migas tidak disertai grand design yang fundamental untuk ketahanan energi nasional.

“Untuk kepentingan apa holding? kan PGN dan Pertamina dua-duanya milik pemerintah, jadi nggak perlu holding. Saya melihat motif holding migas ini lebih kepada internal, tidak ada tujuan besar, jadi untuk apa? Ini membuktikan kegagalan pemerintah membuat BUMN bersinergi. Kalau memang Rini memiliki kemampuan managerial tuk membuat BUMN bersinergi, holding tidak dibutuhkan sama sekali. Holding itu malah membuat banyak masalah baru,” kata dia dalam keterangan resmi, Rabu (3/1/2018).

Lebih lanjut dia memaparkan; pada proses realisasi pembentukannya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016, telah mengangkangi fungsi pengawasan DPR dan melanggar Undang-undang (UU) BUMN yang mana harusnya setiap pegalihan saham pemerintah mesti melalui persetujuan DPR.

“Harusnya selesaikan dulu revisi UU BUMN. Dengan penerbitan PP 72 ini jadinya seperti potong kompas tuk menghindari DPR. Jadi melanggar UU BUMN. Belum lagi sekarang tengah bergulir revisi UU Migas yang katanya ada BUK, nah ini tidak sejalan dan lebih runyam lagi maslahnya jika holding ini dipaksakan,” kata dia.

Dia menambahkan lalu kemudian dengan perbedaan budaya pada masing-masing perusahaan, diragukan penggabungan perusahaan pelat merah ini dapat bekerja secara efektif setelah diholdingkan. "Budaya kerjanya beda dan pola bisnisnya juga berbeda antara PGN dengan Pertamina. Misalkan holding semen aja yang produknya sejenis ternyata gagal meningkatkan produksi, apalagi PGN dan Pertamina yang tidak sama," tuturnya.

Namun yang pasti tegas Tri Widodo, wacana pemerintah telah merugikan bagi PGN, mengingat perusahaan terbuka sehingga sahamnya menjadi tertekan. Secara historical, sepanjang tahun 2017 Saham PT Perusahaan Gas Negara menjadi pemuncak daftar saham-saham pemberat Indeks harga saham gabungan (IHSG).

Harga saham BUMN penguasa hilir gas bumi itu telah anjlok 41,5% sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan per 6 Desember 2017. Ia menempati urutan pertama dalam daftar saham Laggard (pemberat) IHSG secara year to date dengan kontribusi tekanan sebesar 24,8 poin.

"PGN itu perusahaan publik sehingga dengan wacana holding telah menjatuhkan harga sahamnya dan membuat investor tidak percaya. Jadi wacana holding membuat iklim investasi tidak kondusif, pembangunan infrastruktur tersendat dan gas tidak terserap," pungkasnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4143 seconds (0.1#10.140)