Total Transaksi Repo 2017 Capai Rp305,12 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Total transaksi repo selama 2017 naik sebesar Rp42,04 triliun dari Rp263,17 triliun pada 2016 menjadi Rp305,21 triliun pada 2017. Sementara, rata-rata harian nilai transaksi repo juga mengalami kenaikan dari Rp1,10 triliun menjadi Rp1,28 triliun.
Peningkatan transaksi tersebut turut mendorong kenaikan rata-rata harian nilai transaksi obligasi sebesar 5,89% dari Rp15,77 triliun pada 2016 menjadi Rp16,70 triliun pada 2017.
Turunnya persepsi risiko atas investasi di pasar obligasi mendorong arus modal nonresiden yang masuk ke pasar Surat Berharga Negara mengalami peningkatan dari Rp107,3 triliun pada 2016 menjadi Rp170,3 triliun pada 2017.
"Rata-rata yield obligasi pemerintah telah turun sebesar 140,97 bps (1,41%) dari 8,10% (2016) menjadi 6,69% (2017). Rata-rata yield obligasi korporasi rating A juga turun 165,15 bps (1,65%) dari 10,72% (2016) menjadi 9,07% (2017)," kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen saat Peresmian 'Market Standard' untuk Transaksi Repo atas Efek Bersifat Utang di Jakarta, Jumat (12/1/2018).
Dia menuturkan, perkembangan industri pasar modal, khususnya di sektor pasar surat utang sepanjang 2017 berada dalam peningkatan. Hal ini terlihat dari kenaikan Indonesia Composite Bond Index (ICBI) sebesar 34,53 basis poin (bps) selama periode 2017 dari 208,45 pada Desember 2016 ke 242,98 pada Desesember 2017.
"Iklim investasi di Indonesia terutama pasar obligasi makin kondusif pasca Standard and Poor's menaikkan peringkat investasi Indonesia menjadi BBB- (investment grade) pada Mei 2017 dan Fitch Rating juga meningkatkan kembali peringkat utang Indonesia pada Desember 2017 menjadi BBB dengan outlook stabil," jelasnya.
Dalam rangka pengembangan pasar repo sendiri, pada 2015 OJK juga telah menerbitkan peraturan tentang 'Pedoman Transaksi Repo Bagi Lembaga Jasa Keuangan'. Peraturan ini mengatur prinsip umum yang wajib dilakukan Lembaga Jasa Keuangan termasuk standarisasi kontrak dengan menggunakan Global Master Repurchase Agreement Indonesia (GMRA Indonesia).
"Upaya pengembangan Transaksi Repo, tentunya selain didasarkan pada regulasi yang jelas juga perlu disertai dengan suatu standar profesionalisme bagi pelaku pasar," imbuh dia.
Menurutnya, standar ini dibutuhkan untuk meberikan acuan praktis bagi pelaku dalam Transaksi Repo berdasarkan kesepakatan pelaku pasar yang disesuaikan dengan kebutuhan best practice baik dari sisi bisnis proses maupun aspek hukum yang terkait.
"OJK juga mendukung penerbitan Market Standard untuk Transaksi Repo atas Efek Bersifat Utang yang dilakukan Perhimpunan Pedagang Surat Utang (Himdasun) guna memberikan acuan dan pedoman dalam bertransaksi repo, memperdalam pasar keuangan, serta meningkatkan profesionalisme pelaku pasar," jelas Hoesen.
Market Standar ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang sama antar pelaku pasar atas Transaksi Repo surat utang. Sehingga, dapat meningkatkan profesionalisme, integritas dan kepercayaan antar pelaku pasar.
Selain itu, dengan Market Standar ini diharapkan akan menjadikan Transaksi Repo lebih likuid dan efisien serta mengurangi risiko sistemik di sektor jasa keuangan. Di saat bersamaan, telah diresmikan 'Market Standard' untuk Transaksi Repo atas Efek Bersifat Utang.
Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo menuturkan, pasar repo yang berkembang akan menjadikan Pasar Obligasi lebih aktif dan likuid, dalam mendukung pengembangan produk derivatif Efek bersifat utang sebagai sarana hedging, serta dapat menyediakan alternatif investasi bagi investor.
"Mengintegrasikan pasar obligasi dengan Pasar Repo di Indonesia akan mendorong pengembangan alternatif sumber pembiayaan dan mengurangi ketergantungan pada pinjaman bank," ungkapnya.
Hoesen juga berharap, peluncuran 'Market Standard' Transaksi Repo Atas Efek Bersifat Utang akan diikuti dengan adanya penerbitan 'Market Standard' Transaksi Repo Atas Efek Bersifat Ekuitas.
"Kami berharap sebagai tindak lanjut atas penerbitan Market Standar ini, semua pelaku akan menggunakan Market Standar tersebut sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan transaksi Repo atas Efek yang bersifat Utang di pasar keuangan Indonesia," tuturnya.
Peningkatan transaksi tersebut turut mendorong kenaikan rata-rata harian nilai transaksi obligasi sebesar 5,89% dari Rp15,77 triliun pada 2016 menjadi Rp16,70 triliun pada 2017.
Turunnya persepsi risiko atas investasi di pasar obligasi mendorong arus modal nonresiden yang masuk ke pasar Surat Berharga Negara mengalami peningkatan dari Rp107,3 triliun pada 2016 menjadi Rp170,3 triliun pada 2017.
"Rata-rata yield obligasi pemerintah telah turun sebesar 140,97 bps (1,41%) dari 8,10% (2016) menjadi 6,69% (2017). Rata-rata yield obligasi korporasi rating A juga turun 165,15 bps (1,65%) dari 10,72% (2016) menjadi 9,07% (2017)," kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen saat Peresmian 'Market Standard' untuk Transaksi Repo atas Efek Bersifat Utang di Jakarta, Jumat (12/1/2018).
Dia menuturkan, perkembangan industri pasar modal, khususnya di sektor pasar surat utang sepanjang 2017 berada dalam peningkatan. Hal ini terlihat dari kenaikan Indonesia Composite Bond Index (ICBI) sebesar 34,53 basis poin (bps) selama periode 2017 dari 208,45 pada Desember 2016 ke 242,98 pada Desesember 2017.
"Iklim investasi di Indonesia terutama pasar obligasi makin kondusif pasca Standard and Poor's menaikkan peringkat investasi Indonesia menjadi BBB- (investment grade) pada Mei 2017 dan Fitch Rating juga meningkatkan kembali peringkat utang Indonesia pada Desember 2017 menjadi BBB dengan outlook stabil," jelasnya.
Dalam rangka pengembangan pasar repo sendiri, pada 2015 OJK juga telah menerbitkan peraturan tentang 'Pedoman Transaksi Repo Bagi Lembaga Jasa Keuangan'. Peraturan ini mengatur prinsip umum yang wajib dilakukan Lembaga Jasa Keuangan termasuk standarisasi kontrak dengan menggunakan Global Master Repurchase Agreement Indonesia (GMRA Indonesia).
"Upaya pengembangan Transaksi Repo, tentunya selain didasarkan pada regulasi yang jelas juga perlu disertai dengan suatu standar profesionalisme bagi pelaku pasar," imbuh dia.
Menurutnya, standar ini dibutuhkan untuk meberikan acuan praktis bagi pelaku dalam Transaksi Repo berdasarkan kesepakatan pelaku pasar yang disesuaikan dengan kebutuhan best practice baik dari sisi bisnis proses maupun aspek hukum yang terkait.
"OJK juga mendukung penerbitan Market Standard untuk Transaksi Repo atas Efek Bersifat Utang yang dilakukan Perhimpunan Pedagang Surat Utang (Himdasun) guna memberikan acuan dan pedoman dalam bertransaksi repo, memperdalam pasar keuangan, serta meningkatkan profesionalisme pelaku pasar," jelas Hoesen.
Market Standar ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang sama antar pelaku pasar atas Transaksi Repo surat utang. Sehingga, dapat meningkatkan profesionalisme, integritas dan kepercayaan antar pelaku pasar.
Selain itu, dengan Market Standar ini diharapkan akan menjadikan Transaksi Repo lebih likuid dan efisien serta mengurangi risiko sistemik di sektor jasa keuangan. Di saat bersamaan, telah diresmikan 'Market Standard' untuk Transaksi Repo atas Efek Bersifat Utang.
Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo menuturkan, pasar repo yang berkembang akan menjadikan Pasar Obligasi lebih aktif dan likuid, dalam mendukung pengembangan produk derivatif Efek bersifat utang sebagai sarana hedging, serta dapat menyediakan alternatif investasi bagi investor.
"Mengintegrasikan pasar obligasi dengan Pasar Repo di Indonesia akan mendorong pengembangan alternatif sumber pembiayaan dan mengurangi ketergantungan pada pinjaman bank," ungkapnya.
Hoesen juga berharap, peluncuran 'Market Standard' Transaksi Repo Atas Efek Bersifat Utang akan diikuti dengan adanya penerbitan 'Market Standard' Transaksi Repo Atas Efek Bersifat Ekuitas.
"Kami berharap sebagai tindak lanjut atas penerbitan Market Standar ini, semua pelaku akan menggunakan Market Standar tersebut sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan transaksi Repo atas Efek yang bersifat Utang di pasar keuangan Indonesia," tuturnya.
(izz)