Kejar Pajak Over The Top, Pemerintah Bisa Contek India dan Inggris
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu segera membuat aturan yang sifatnya sementara untuk dapat memajaki layanan over the top (OTT) yang beroperasi di Indonesia. Pasalnya menurut Pengamat Pajak dari Danny Darussalam Tax Center, Darussalam hingga saat ini belum ada aturan pajak bagi perusahaan yang beroperasi di layanan OTT.
(Baca Juga: Kesetaraan Bisnis, Pemerintah Diminta Pajaki OTT Asing
Lebih lanjut Ia menerangkan, sistem perpajakan berdasarkan konsensus internasional yang saat ini berlaku memang tidak dapat memajaki perusahaan OTT, yang menggunakan skema international tax planning. Oleh sebab itu, negara-negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) saat ini tengah merumuskan konsensus perpajakan internasional untuk perusahaan OTT.
"Saat ini OECD baru merumuskan konsensus pemajakan internasional untuk perusahaan OTT yang baru akan selesai di tahun 2020," katanya saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Namun terang dia, beberapa negara sudah tidak sabar menunggu konsensus tersebut dan akhirnya membuat aturan sendiri mengenai skema perpajakan untuk OTT. Hal ini telah dilakukan oleh India dan Inggris, karena mereka tidak ingin penerimaan pajaknya tergerus.
"Inggris dengan google tax nya atau India dengan EQl nya. Aturan ini lepas dari PPh dan Tax Treaty yang ada. Karena kalau menunggu konsensus yang baru terbit di 2020 maka akan menggerus penerimaan pajak mereka," imbuh dia.
Ia menambahkan, untuk Indonesia pilihannya yakni menunggu konsensus internasional di 2020 atau membuat kebijakan yang sifatnya sementara seperti yang dilakukan oleh Inggris dan India. Dia menilai, Indonesia ada baiknya turut membuat aturan yang dapat memajaki OTT di Tanah Air.
"Menurut saya dapat dipertimbangkan untuk melakukan langkah seperti Inggris dan India. Tapi sifatnya sementara sambil nunggu konsensus internasional tahun 2020," tandasnya.
Seperti diketahui layanan OTT juga menuai kontroversi bagi perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Alasannya, para operator merugi karena jasa SMS atau telepon semakin jarang digunakan, lantaran pelanggan lebih sering berkomunikasi via jaringan data seperti Whatsapp dan lainnya.
Umumnya perusahaan-perusahaan layanan OTT asing tersebut tidak memiliki bentuk kerja sama resmi dengan para penyelenggara telekomunikasi. Sementara Kominfo menyebutkan pada 2016 lalu, Google dan Facebook menguasai 80% pendapatan iklan digital di Indonesia. Sedangkan porsi pendapatan iklan digital yang dinikmati oleh media digital lain hanya 20%.
Dari sekitar USD800 juta total belanja iklan digital, Google dan Facebook menikmati USD640 juta atau setara Rp8,45 triliun tanpa terkena pajak. Layanan OTT sendiri merupakan layanan aplikasi dan/atau konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi melalui jaringan internet.
(Baca Juga: Kesetaraan Bisnis, Pemerintah Diminta Pajaki OTT Asing
Lebih lanjut Ia menerangkan, sistem perpajakan berdasarkan konsensus internasional yang saat ini berlaku memang tidak dapat memajaki perusahaan OTT, yang menggunakan skema international tax planning. Oleh sebab itu, negara-negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) saat ini tengah merumuskan konsensus perpajakan internasional untuk perusahaan OTT.
"Saat ini OECD baru merumuskan konsensus pemajakan internasional untuk perusahaan OTT yang baru akan selesai di tahun 2020," katanya saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Namun terang dia, beberapa negara sudah tidak sabar menunggu konsensus tersebut dan akhirnya membuat aturan sendiri mengenai skema perpajakan untuk OTT. Hal ini telah dilakukan oleh India dan Inggris, karena mereka tidak ingin penerimaan pajaknya tergerus.
"Inggris dengan google tax nya atau India dengan EQl nya. Aturan ini lepas dari PPh dan Tax Treaty yang ada. Karena kalau menunggu konsensus yang baru terbit di 2020 maka akan menggerus penerimaan pajak mereka," imbuh dia.
Ia menambahkan, untuk Indonesia pilihannya yakni menunggu konsensus internasional di 2020 atau membuat kebijakan yang sifatnya sementara seperti yang dilakukan oleh Inggris dan India. Dia menilai, Indonesia ada baiknya turut membuat aturan yang dapat memajaki OTT di Tanah Air.
"Menurut saya dapat dipertimbangkan untuk melakukan langkah seperti Inggris dan India. Tapi sifatnya sementara sambil nunggu konsensus internasional tahun 2020," tandasnya.
Seperti diketahui layanan OTT juga menuai kontroversi bagi perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Alasannya, para operator merugi karena jasa SMS atau telepon semakin jarang digunakan, lantaran pelanggan lebih sering berkomunikasi via jaringan data seperti Whatsapp dan lainnya.
Umumnya perusahaan-perusahaan layanan OTT asing tersebut tidak memiliki bentuk kerja sama resmi dengan para penyelenggara telekomunikasi. Sementara Kominfo menyebutkan pada 2016 lalu, Google dan Facebook menguasai 80% pendapatan iklan digital di Indonesia. Sedangkan porsi pendapatan iklan digital yang dinikmati oleh media digital lain hanya 20%.
Dari sekitar USD800 juta total belanja iklan digital, Google dan Facebook menikmati USD640 juta atau setara Rp8,45 triliun tanpa terkena pajak. Layanan OTT sendiri merupakan layanan aplikasi dan/atau konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi melalui jaringan internet.
(akr)