Kenaikan Peringkat Ekonomi Buktikan Kondisi Indonesia Makin Baik
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Pandjaitan mengatakan kenaikan peringkat surat utang Indonesia yang diberikan badan pemeringkat Jepang yakni Japan Credit Rating Agency Ltd (JCR) dari BBB minus menjadi BBB membuktikan perekonomian Indonesia semakin baik. Peringkat Indonesia naik dari BBB- menjadi BBB.
"Kemarin Lembaga pemberi peringkat, JCR menaikkan Sovereign Credit Rating (Peringkat Surat Utang) Republik Indonesia dari BBB minus menjadi BBB. Artinya angka untuk interest uang sekarang lebih rendah. Ini menunjukkan perekonomian kita makin berkembang baik dan keadaan ini harus dipelihara," katanya dalam rilis di Jakarta, Sabtu (10/2/2018).
Lembaga JCR mengatakan sejak pemerintahan Joko Widodo pada 2014 lalu, telah terjadi reformasi struktural di Indonesia, yang demi menciptakan keberlanjutan pertumbuhan dan tidak bergantung pada sektor sumber daya alam. JCR mencatat adanya perbaikan iklim investasi di Indonesia, ditandai dengan peningkatan investasi swasta dari dalam negeri maupun asing. Pembangunan infrastruktur juga sangat massif karena komitmen tinggi dari pemerintah.
"Belum pernah ada Presiden di Indonesia yang dalam setahun empat kali datang ke Papua hingga pelosoknya untuk memastikan pembangunan berjalan di sana. Sehingga waktu beliau diberi kartu kuning oleh mahasiswa, saya tidak mengerti apa alasannya. Sewaktu saya jadi Menko Polhukam pun saya undang para Duta Besar, Jaksa Agung Australia untuk melihat langsung. Lihat langsung keadaan di Papua. Nah, jadi sebelum bertindak, kalian harus tahu dulu, apa yang kalian bicarakan atau lihat secara langsung," imbuh dia.
Mantan Kepala Staf Kepresidenan ini menuturkan, pada dasarnya dana yang dimiliki pemerintah saat ini hanya cukup untuk membiayai kurang dari 30% pembangunan di Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah saat ini mencari berbagai cara untuk dapat tetap melakukan pembangunan dengan menggunakan dana pemerintah seminimal mungkin.
"Kami sudah membuat pendanaan-pendanaan lain di luar APBN, misalnya Blended Finance, yaitu dengan melibatkan penggunaan pembiayaan pembangunan dari sumber publik atau filantropi untuk mendukung pembangunan. Saya presentasikan hal ini di Davos pada acara World Economic Forum dan mereka mengacungkan jempol karena indonesia dinilai kreatif dalam mencari sumber pendanaan," jelasnya.
Lebih jauh Menko Luhut menjelaskan, masih ada yang bisa dijadikan sumber potensi ekonomi Indonesia, yaitu luasnya laut dan panjang garis pantai yang dimiliki Indonesia. Panjang garis pantai yang mencapai 99.093 kilometer dan potensi ekonominya yang bisa mencapai USD1,2 triliun per tahun belum dimanfaatkan secara maksimal.
"Banyak yang bisa digarap, mulai dari sektor perikanan tangkap dan perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan dan bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, perhubungan laut dan industri jasa maritim. Setelah sekian lama diabaikan, kebijakan poros maritim dunia diharapkan mampu menjadi momentum kebangkitan ekonomi maritim Indonesia di masa depan," terangnya.
Masih menurut Luhut, hal ini juga bisa menjadi modal yang cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi maupun industri di dalam negeri agar Indonesia tidak lagi impor garam industri pada tahun 2020. "Nanti kita pakai teknologi yang lebih baik sehingga produksinya bisa lebih bagus, dengan kadar garam mencapai 98%," tandas dia.
"Kemarin Lembaga pemberi peringkat, JCR menaikkan Sovereign Credit Rating (Peringkat Surat Utang) Republik Indonesia dari BBB minus menjadi BBB. Artinya angka untuk interest uang sekarang lebih rendah. Ini menunjukkan perekonomian kita makin berkembang baik dan keadaan ini harus dipelihara," katanya dalam rilis di Jakarta, Sabtu (10/2/2018).
Lembaga JCR mengatakan sejak pemerintahan Joko Widodo pada 2014 lalu, telah terjadi reformasi struktural di Indonesia, yang demi menciptakan keberlanjutan pertumbuhan dan tidak bergantung pada sektor sumber daya alam. JCR mencatat adanya perbaikan iklim investasi di Indonesia, ditandai dengan peningkatan investasi swasta dari dalam negeri maupun asing. Pembangunan infrastruktur juga sangat massif karena komitmen tinggi dari pemerintah.
"Belum pernah ada Presiden di Indonesia yang dalam setahun empat kali datang ke Papua hingga pelosoknya untuk memastikan pembangunan berjalan di sana. Sehingga waktu beliau diberi kartu kuning oleh mahasiswa, saya tidak mengerti apa alasannya. Sewaktu saya jadi Menko Polhukam pun saya undang para Duta Besar, Jaksa Agung Australia untuk melihat langsung. Lihat langsung keadaan di Papua. Nah, jadi sebelum bertindak, kalian harus tahu dulu, apa yang kalian bicarakan atau lihat secara langsung," imbuh dia.
Mantan Kepala Staf Kepresidenan ini menuturkan, pada dasarnya dana yang dimiliki pemerintah saat ini hanya cukup untuk membiayai kurang dari 30% pembangunan di Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah saat ini mencari berbagai cara untuk dapat tetap melakukan pembangunan dengan menggunakan dana pemerintah seminimal mungkin.
"Kami sudah membuat pendanaan-pendanaan lain di luar APBN, misalnya Blended Finance, yaitu dengan melibatkan penggunaan pembiayaan pembangunan dari sumber publik atau filantropi untuk mendukung pembangunan. Saya presentasikan hal ini di Davos pada acara World Economic Forum dan mereka mengacungkan jempol karena indonesia dinilai kreatif dalam mencari sumber pendanaan," jelasnya.
Lebih jauh Menko Luhut menjelaskan, masih ada yang bisa dijadikan sumber potensi ekonomi Indonesia, yaitu luasnya laut dan panjang garis pantai yang dimiliki Indonesia. Panjang garis pantai yang mencapai 99.093 kilometer dan potensi ekonominya yang bisa mencapai USD1,2 triliun per tahun belum dimanfaatkan secara maksimal.
"Banyak yang bisa digarap, mulai dari sektor perikanan tangkap dan perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan dan bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, perhubungan laut dan industri jasa maritim. Setelah sekian lama diabaikan, kebijakan poros maritim dunia diharapkan mampu menjadi momentum kebangkitan ekonomi maritim Indonesia di masa depan," terangnya.
Masih menurut Luhut, hal ini juga bisa menjadi modal yang cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi maupun industri di dalam negeri agar Indonesia tidak lagi impor garam industri pada tahun 2020. "Nanti kita pakai teknologi yang lebih baik sehingga produksinya bisa lebih bagus, dengan kadar garam mencapai 98%," tandas dia.
(ven)