Tantangan Utama Akses Keuangan melalui Teknologi Digital
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan terdapat enam tantangan utama yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan akses keuangan melalui pemanfaatan teknologi digital. Pertama, inkluasi keuangan melibatkan dua sisi yakni sisi komersial dan sisi sosial, sehingga harus ditempatkan di posisi yang seimbang agar sustainable.
Kedua, pemahaman masyarakat terhadap produk layanan jasa keuangan harus ditingkatkan. Ketiga, infrastruktur pendukung seperti jaringan telekomunikasi dan telepon seluler tersedia dengan harga yang terjangkau.
"Keempat, cyberSecurity yang memadai untuk melindungi data nasabah dan simpanan/investasinya. Lalu kelima, aspek perlindungan konsumen harus diperhatikan untuk menjaga Trust, melalui penerapan tata kelola yang baik," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Lebih lanjut Ia menerangkan tantangan keenam yakni Indonesia harus memiliki mekanisme dan infrastruktur untuk pengumpulan data pada tingkat nasional dan daerah untuk dapat melakuan tracking apakah hasil akhir dari strategi inklusi keuangan ini sesuai dengan yang diharapkan.
Sambung Wimboh menuturkan, inklusi keuangan ini bukan hanya merupakan agenda nasional tetapi juga internasional. "Kita melihat bagaimana Queen Maxima Utusan Khusus PBB untuk Inklusi Keuangan memberikan perhatiannya besar pada upaya peningkatan inklusi Keuangan di banyak negara termasuk Indonesia," jelasnya saat sambutan Seminar Kebijakan Pemerataan Ekonomi dengan tema 'Mendorong Terciptanya Inklusi Keuangan melalui Pemanfaatan Sistem Digital'.
Menurut dia, meningkatkan inklusi Keuangan dengan menghadirkan jaringan fisik lembaga keuangan formal di daerah terpincil dan atau memiliki kepadatan penduduk yang rendah akan sulit untuk dipenuhi, karena menjadi terlalu mahal biaya transaksinya. Oleh karena itu, salah satu terobosan dalam upaya memperluas inklusi keuangan adalah dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Dengan bantuan teknologi akan memungkinkan lembaga jasa keuangan untuk dapat memberikan layanan keuangan kepada masyarakat yang lebih luas, menjangkau masyarakat kurang mampu di daerah terpencil dengan biaya yang jauh lebih rendah.
Di sektor perbankan, dirinya melihat banyak bank yang terus mengintensifkan pemanfaatan teknologi informasinya seperti digital banking dan branchless banking. "Branchless banking Lakupandai telah berkembang begitu cepat," kata dia.
Akhir tahun 2017 lalu tercatat sudah hampir 741 ribu agen, tumbuh 168% dibandingkan tahun 2016, dengan nasabah mencapai hamper 13,7 juta nasabah atau naik 269%. Selain itu, layanan perbankan digital seperti mobile banking dan internet banking juga terus berkembang pesat. Di sisi lain, perkembangan fintech seperti peer to peer lending saat ini semakin marak.
Menurut Wimboh, perkembangan fintech ini membuka askes keuangan bagi masyarakat. Tercatat, sampai dengan akhir tahun 2017 lalu, jumlah pemberi pinjaman melalui skema peer-to-peer lending ini telah meningkat 602,7% dibandingkan akhir tahun 2016 menjadi 100.940 orang.
Sementara pembiayaan yang disalurkan juga telah mencapai Rp2,56 triliun atau naik 8 kali lipat, dengan tingkat kredit bermasalah (NPL) yang cukup kecil, tidak sampai 1%. Adapun di sektor pasar modal, banyak perusahaan efek telah melakukan investasi di bidang teknologi informasi yang memudahkan nasabahnya untuk berinvestasi dan bertransaksi di pasar modal.
Wimboh menuturkan, pesatnya perkembangan digitalisasi keuangan adalah suatu keyakinan. "Namun, pertanyaannya adalah bukan bagaimana kita menghentikannya, tetapi bagaimana kita memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat luas terutama dalam pemerataan ekonomi masyarakat melalui perluasan inklusi keuangan," urai dia.
Kedua, pemahaman masyarakat terhadap produk layanan jasa keuangan harus ditingkatkan. Ketiga, infrastruktur pendukung seperti jaringan telekomunikasi dan telepon seluler tersedia dengan harga yang terjangkau.
"Keempat, cyberSecurity yang memadai untuk melindungi data nasabah dan simpanan/investasinya. Lalu kelima, aspek perlindungan konsumen harus diperhatikan untuk menjaga Trust, melalui penerapan tata kelola yang baik," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Lebih lanjut Ia menerangkan tantangan keenam yakni Indonesia harus memiliki mekanisme dan infrastruktur untuk pengumpulan data pada tingkat nasional dan daerah untuk dapat melakuan tracking apakah hasil akhir dari strategi inklusi keuangan ini sesuai dengan yang diharapkan.
Sambung Wimboh menuturkan, inklusi keuangan ini bukan hanya merupakan agenda nasional tetapi juga internasional. "Kita melihat bagaimana Queen Maxima Utusan Khusus PBB untuk Inklusi Keuangan memberikan perhatiannya besar pada upaya peningkatan inklusi Keuangan di banyak negara termasuk Indonesia," jelasnya saat sambutan Seminar Kebijakan Pemerataan Ekonomi dengan tema 'Mendorong Terciptanya Inklusi Keuangan melalui Pemanfaatan Sistem Digital'.
Menurut dia, meningkatkan inklusi Keuangan dengan menghadirkan jaringan fisik lembaga keuangan formal di daerah terpincil dan atau memiliki kepadatan penduduk yang rendah akan sulit untuk dipenuhi, karena menjadi terlalu mahal biaya transaksinya. Oleh karena itu, salah satu terobosan dalam upaya memperluas inklusi keuangan adalah dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Dengan bantuan teknologi akan memungkinkan lembaga jasa keuangan untuk dapat memberikan layanan keuangan kepada masyarakat yang lebih luas, menjangkau masyarakat kurang mampu di daerah terpencil dengan biaya yang jauh lebih rendah.
Di sektor perbankan, dirinya melihat banyak bank yang terus mengintensifkan pemanfaatan teknologi informasinya seperti digital banking dan branchless banking. "Branchless banking Lakupandai telah berkembang begitu cepat," kata dia.
Akhir tahun 2017 lalu tercatat sudah hampir 741 ribu agen, tumbuh 168% dibandingkan tahun 2016, dengan nasabah mencapai hamper 13,7 juta nasabah atau naik 269%. Selain itu, layanan perbankan digital seperti mobile banking dan internet banking juga terus berkembang pesat. Di sisi lain, perkembangan fintech seperti peer to peer lending saat ini semakin marak.
Menurut Wimboh, perkembangan fintech ini membuka askes keuangan bagi masyarakat. Tercatat, sampai dengan akhir tahun 2017 lalu, jumlah pemberi pinjaman melalui skema peer-to-peer lending ini telah meningkat 602,7% dibandingkan akhir tahun 2016 menjadi 100.940 orang.
Sementara pembiayaan yang disalurkan juga telah mencapai Rp2,56 triliun atau naik 8 kali lipat, dengan tingkat kredit bermasalah (NPL) yang cukup kecil, tidak sampai 1%. Adapun di sektor pasar modal, banyak perusahaan efek telah melakukan investasi di bidang teknologi informasi yang memudahkan nasabahnya untuk berinvestasi dan bertransaksi di pasar modal.
Wimboh menuturkan, pesatnya perkembangan digitalisasi keuangan adalah suatu keyakinan. "Namun, pertanyaannya adalah bukan bagaimana kita menghentikannya, tetapi bagaimana kita memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat luas terutama dalam pemerataan ekonomi masyarakat melalui perluasan inklusi keuangan," urai dia.
(akr)