Indef: Pemerintah Gali Lubang Tutup Lubang untuk Bayar Utang
A
A
A
JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa pemerintah hingga saat ini masih gali lubang tutup lubang untuk membayar utang negara yang terus membengkak. Apalagi, jumlah utang negara terus meningkat secara agresif tiap tahunnya.
Peneliti Indef Riza Annisa Pujarama menjelaskan, utang negara terdiri dari utang pemerintah dan utang swasta. Utang yang dilakukan pemerintah sendiri adalah untuk mebiayai defisit di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
"Utang pemerintah terus meningkat sejak 2015, agresif sekali peningkatannya yaitu sebesar Rp556 triliun. Ini diklaim untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang menjadi pokok tujuan pemerintah di periode Jokowi ini," katanya di Kantor Indef, Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Pemerintah mengklaim, meningkatnya utang pemerintah adalah dampak dari belanja negara yang terus meningkat. Sayangnya, kata Riza, jika dilihat secara struktural tak ada perubahan yang signifikan dari belanja pemerintah, khususnya untuk belanja modal.
Menurutnya, yang meningkat pesat justru belanja pegawai dan belanja barang. "Belanja modalnya tidak banyak berubah yaitu di kisaran 16%. Yang meningkat belanja pegawai dan belanja barang, dan kewajiban pembayaran utang yang semakin tinggi," imbuh dia.
Riza menyebutkan, lebih dari 50% belanja pemerintah saat ini ditopang oleh utang dari Surat Negara (SBN). Berdasarkan kepemilikan, SBN di Indonesia lebih banyak dimiliki oleh asing yang rentan terhadap guncangan.
"SBN ini berdasarkan kepemilikannya lebih banyak dimiliki asing. Ini yang harus diwaspadai apalagi kurs terdepresiasi. Ini yang menyebabkan capital outflow," tuturnya.
Meski kondisi utang pemerintah masih di level yang cukup aman yaitu sekitar 29% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari ambang batas 60% terhadap PDB, namun yang perlu dikhawatirkan adalah defisit anggaran akan menyentuh batas maksimal, serta rasio keseimbangan primer yang negatif.
"Rasio keseimbangan primer negatif sejak 2013. Itu artinya kita membayar utang dengan membuat utang baru. Jadi gali lubang tutup lubang. Ini kurang bagus," tuturnya.
Rasio utang terhadap belanja pemerintah dan penerimaan pajak pun demikian. Utang saat ini menurutnya lebih besar dari belanja pemerintah dan penerimaan pajak. "Hampir dua kali lipat. Ini menggambarkan kita masih sangat tergantung dengan utang. Ini berdampak pada kesinambungan stabilitas fiskal kita ke depannya," tandasnya.
Peneliti Indef Riza Annisa Pujarama menjelaskan, utang negara terdiri dari utang pemerintah dan utang swasta. Utang yang dilakukan pemerintah sendiri adalah untuk mebiayai defisit di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
"Utang pemerintah terus meningkat sejak 2015, agresif sekali peningkatannya yaitu sebesar Rp556 triliun. Ini diklaim untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang menjadi pokok tujuan pemerintah di periode Jokowi ini," katanya di Kantor Indef, Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Pemerintah mengklaim, meningkatnya utang pemerintah adalah dampak dari belanja negara yang terus meningkat. Sayangnya, kata Riza, jika dilihat secara struktural tak ada perubahan yang signifikan dari belanja pemerintah, khususnya untuk belanja modal.
Menurutnya, yang meningkat pesat justru belanja pegawai dan belanja barang. "Belanja modalnya tidak banyak berubah yaitu di kisaran 16%. Yang meningkat belanja pegawai dan belanja barang, dan kewajiban pembayaran utang yang semakin tinggi," imbuh dia.
Riza menyebutkan, lebih dari 50% belanja pemerintah saat ini ditopang oleh utang dari Surat Negara (SBN). Berdasarkan kepemilikan, SBN di Indonesia lebih banyak dimiliki oleh asing yang rentan terhadap guncangan.
"SBN ini berdasarkan kepemilikannya lebih banyak dimiliki asing. Ini yang harus diwaspadai apalagi kurs terdepresiasi. Ini yang menyebabkan capital outflow," tuturnya.
Meski kondisi utang pemerintah masih di level yang cukup aman yaitu sekitar 29% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari ambang batas 60% terhadap PDB, namun yang perlu dikhawatirkan adalah defisit anggaran akan menyentuh batas maksimal, serta rasio keseimbangan primer yang negatif.
"Rasio keseimbangan primer negatif sejak 2013. Itu artinya kita membayar utang dengan membuat utang baru. Jadi gali lubang tutup lubang. Ini kurang bagus," tuturnya.
Rasio utang terhadap belanja pemerintah dan penerimaan pajak pun demikian. Utang saat ini menurutnya lebih besar dari belanja pemerintah dan penerimaan pajak. "Hampir dua kali lipat. Ini menggambarkan kita masih sangat tergantung dengan utang. Ini berdampak pada kesinambungan stabilitas fiskal kita ke depannya," tandasnya.
(fjo)