Sri Mulyani Ajari Para Pengkritik Pemerintah soal Utang dan Belanja Negara

Sabtu, 24 Maret 2018 - 11:17 WIB
Sri Mulyani Ajari Para Pengkritik Pemerintah soal Utang dan Belanja Negara
Sri Mulyani Ajari Para Pengkritik Pemerintah soal Utang dan Belanja Negara
A A A
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati nampak gerah dengan pemberitaan yang muncul belakangan ini, ikhwal utang pemerintah yang semakin tinggi, hingga mencapai Rp4.000 triliun. Banyak kritik bermunculan mulai dari elit politik hingga para ekonom, yang menyatakan pemerintah terlalu sering mengobral utang hingga semakin menumpuk.

Sri Mulyani mengatakan, mereka yang membandingkan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau bahkan dengan belanja infrastruktur kurang memahami dua hal. Pertama, belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian/Lembaga pemerintah pusat, namun juga dilakukan oleh pemerintah daerah.

"Dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp766,2 triliun pada 2018, sebagian yaitu sebesar 25% diharuskan merupakan belanja modal, meski belum semua pemerintah daerah mematuhinya," katanya dalam keterangan resmi yang diterima SINDOnews di Jakarta, Sabtu (24/3/2018).

Kedua, sambung menteri yang pernah dijuluki Menkeu terbaik se-Asia ini, dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal. Karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang.

"Oleh karena itu, pernyataan bahwa ‘tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya’ adalah kesimpulan yang salah," tegas dia.

Menurutnya, ekonom yang baik sangat mengetahui bahwa kualitas institusi yang baik, efisien, dan bersih adalah jenis “soft infrastructure” yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita.

Selain melihat neraca, lanjut dia, dalam melihat utang perlu juga melihat keseluruhan APBN dan keseluruhan perekonomian. Bila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), defisit APBN dan posisi utang pemerintah terus dikendalikan jauh di bawah ketentuan Undang-undang Keuangan Negara.

Defisit APBN tahun 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi 3% PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga mencapai Rp167 triliun. Langkah tersebut telah menyebabkan sedikit perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Demikian juga tahun 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2,92% PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2,5%. Tahun 2018 ini target defisit pemerintah kembali menurun menjadi 2,19% PDB.

"Pada kurun 2005-2010, saat masa saya menjabat Menteri Keuangan sebelum ini, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47% ke 26%. Suatu pencapaian yang sangat baik, dan APBN Indonesia menjadi semakin sehat, meski jumlah nominal utang tetap mengalami kenaikan," ungkapnya.

Demikian juga dengan kekhawatiran mengenai posisi keseimbangan primer. Masih menurut Sri Mulyani, pemerintah dalam berbagai penjelasan dan siaran pers, telah menyatakan akan menurunkan defisit keseimbangan primer agar APBN menjadi instrumen yang sehat dan sustainable. Buktinya, pada tahun 2015 keseimbangan primer mencapai defisit Rp142,5 triliun, menurun pada tahun 2016 menjadi Rp125,6 triliun, dan kembali menurun pada tahun 2017 sebesar Rp121,5 triliun.

"Untuk tahun 2018, pemerintah menargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp87,3 triliun. Tahun 2019 dan ke depan, kita akan terus menurunkan defisit keseimbangan primer untuk mencapai nol atau bahkan mencapai surplus," tandasnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4624 seconds (0.1#10.140)