Harga Minyak Menguat Terkait Rencana Sanksi AS Terhadap Iran
A
A
A
SINGAPURA - Harga minyak pada perdagangan Jumat menguat terkait sanksi Amerika Serikat terhadap Iran, yang merupakan salah satu produsen minyak utama dunia dan anggota OPEC. Rencana sanksi ini akan mengancam pasar minyak yang sudah ketat akibat pemangkasan oleh OPEC.
Melansir Reuters, Jumat (11/5/2018), Iran memproduksi 4% dari pasokan minyak dunia, setelah negara itu diperbolehkan kembali mengekspor minyak pada awal 2016. Hal ini menyusul kesepakatan nuklir Iran pada akhir 2015, dimana Uni Eropa dan AS diizinkan menginspeksi program nuklir Iran.
Dengan sanksi yang bakal dijatuhkan, membuat harga minyak akan semakin kuat. Apalagi eksportir utama Arab Saudi dan produsen minyak utama dunia, Rusia sudah setuju memperpanjang waktu untuk memangkas produksi demi menopang harga.
Harga minyak Brent International naik menjadi USD77,47 per barel pada pukul 00.57 GMT. Posisi ini mendekati level USD78 per barel, level tertinggi sejak November 2014.
Begitu pula harga minyak berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) naik menjadi USD71,42 per barel, tidk jauh dari level tertinggi November 2014 sebesar USD71,89 per barel.
Para analis memperkirakan sanksi AS terhadap Iran akan membuat harga minyak menggigit, menjadi sekitar USD80-USD100 per barel di akhir tahun 2018 ini. Namun, ada kabar OPEC akan melawan gangguan Iran dengan meningkatkan produksi.
"Pasar sekarang fokus pada OPEC dan kemampuan produsen lain untuk bereaksi terhadap gangguan pasokan minyak, bila Iran harus menurunkan ekspor minyaknya," tulis ANZ Bank di Singapura. Investor melihat Kuwait dan Irak sebagai produsen minyak yang prima, akan meningkatkan produksi secara cepat dalam menanggapi setiap penurunan ekspor Iran.
Di luar OPEC, melonjaknya produksi minyak mentah Amerika Serikat juga dapat membantu mengisi kesenjangan pasokan Iran. Pekan lalu, produksi minyak AS mencapai rekor dengan naik menjadi 10,7 juta barel per hari. Jumlah ini berarti naik 27% sejak medio 2016. Dengan demikian produksi AS sudah mendekati negara produsen minyak nomor satu dunia, Rusia yang memompa sekitar 11 juta barel per hari.
Melansir Reuters, Jumat (11/5/2018), Iran memproduksi 4% dari pasokan minyak dunia, setelah negara itu diperbolehkan kembali mengekspor minyak pada awal 2016. Hal ini menyusul kesepakatan nuklir Iran pada akhir 2015, dimana Uni Eropa dan AS diizinkan menginspeksi program nuklir Iran.
Dengan sanksi yang bakal dijatuhkan, membuat harga minyak akan semakin kuat. Apalagi eksportir utama Arab Saudi dan produsen minyak utama dunia, Rusia sudah setuju memperpanjang waktu untuk memangkas produksi demi menopang harga.
Harga minyak Brent International naik menjadi USD77,47 per barel pada pukul 00.57 GMT. Posisi ini mendekati level USD78 per barel, level tertinggi sejak November 2014.
Begitu pula harga minyak berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) naik menjadi USD71,42 per barel, tidk jauh dari level tertinggi November 2014 sebesar USD71,89 per barel.
Para analis memperkirakan sanksi AS terhadap Iran akan membuat harga minyak menggigit, menjadi sekitar USD80-USD100 per barel di akhir tahun 2018 ini. Namun, ada kabar OPEC akan melawan gangguan Iran dengan meningkatkan produksi.
"Pasar sekarang fokus pada OPEC dan kemampuan produsen lain untuk bereaksi terhadap gangguan pasokan minyak, bila Iran harus menurunkan ekspor minyaknya," tulis ANZ Bank di Singapura. Investor melihat Kuwait dan Irak sebagai produsen minyak yang prima, akan meningkatkan produksi secara cepat dalam menanggapi setiap penurunan ekspor Iran.
Di luar OPEC, melonjaknya produksi minyak mentah Amerika Serikat juga dapat membantu mengisi kesenjangan pasokan Iran. Pekan lalu, produksi minyak AS mencapai rekor dengan naik menjadi 10,7 juta barel per hari. Jumlah ini berarti naik 27% sejak medio 2016. Dengan demikian produksi AS sudah mendekati negara produsen minyak nomor satu dunia, Rusia yang memompa sekitar 11 juta barel per hari.
(ven)