LPEM UI: Ada Inefisiensi dalam Pelaksanaan Gerbang Pembayaran Nasional

Sabtu, 12 Mei 2018 - 03:31 WIB
LPEM UI: Ada Inefisiensi dalam Pelaksanaan Gerbang Pembayaran Nasional
LPEM UI: Ada Inefisiensi dalam Pelaksanaan Gerbang Pembayaran Nasional
A A A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dan perbankan nasional meluncurkan kartu debit berlogo Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) pada 3 Mei 2018 lalu. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017, GPN akan berlaku efektif sebulan setelah peluncuran.

Dengan GPN, masyarakat dapat menggunakan kartu ATM atau debit dengan logo GPN di seluruh ATM dan terminal pembayaran dalam negeri dengan biaya lebih rendah.

Sebelum diterapkan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) meluncurkan kajian agar sistem GPN ini perlu dibenahi supaya tidak menghambat industri pembayaran.

Deputi Program Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Publik, FEB UI, Chaikal Nuryakin mengatakan, pihaknya pada dasarnya manyambut baik penyelenggaraan GPN. Ini menandakan suatu kemajuan pada upaya pemerintah untuk lebih bergiat memindahkan sistem transaksi tunai menjadi nontunai.

Namun, ada beberapa hal yang menurut kajian LPEM FEB UI masih perlu diperbaiki dalam penyelenggaraannya, agar kebijakan ini tidak lantas menghambat kinerja industri pembayaran di Indonesia, sekaligus memberikan keuntungan maksimal bagi nasabah.

Dalam kajiannya, GPN bisa menurunkan biaya merchant discount rate (MDR) yang dibayarkan merchant secara agregat sebesar Rp830 miliar atau 47% per tahun, dari sekitar Rp1,75 triliun menjadi Rp920 miliar.

Di sisi lain, penurunan MDR akan mengurangi fee based income dari bank issuer (bank penerbit kartu) dan acquirer (bank atau lembaga lain yang melakukan kerja sama dengan pedagang) masing-masing sebesar 77% dan 20%.

"Akibatnya, dorongan bagi bank issuer untuk berinovasi pada produk kartu debit dan bank acquirer untuk mengakusisi lebih banyak merchant terancam menurun," katanya dalam keterangan yang diterima SINDOnews, Jumat (11/5/2018).

Chaikal menjelaskan, skema tarif off-us yang homogen untuk semua produk dan jasa juga dapat menghambat ekspansi EDC pada merchant-merchant kecil/UMKM dan berpotensi meningkatkan jumlah merchant yang menerima transaksi pembayaran nontunai.

"Tapi penurunan MDR belum tentu memicu penurunan harga barang bagi konsumen sehingga nilai dan volume transaksi nontunai kemungkinan tidak banyak berubah," sebutnya.

Dari aspek kartu, LPEM FEB UI memperkirakan, akan ada 100 juta kartu berlogo GPN yang beredar di masyarakat dengan biaya administrasi yang lebih murah sekitar Rp1.000 per kartu per bulan. Meski demikian, masih ada sebagian nasabah yang akan tetap mempertahankan kartu debit berlogo internasional karena kebutuhan perjalanan ke luar negeri.

Pasalnya, kartu berlogo GPN tidak dapat digunakan untuk transaksi luar negeri dan transaksi daring. Sehingga total kartu debit beredar akan naik dari 140 juta menjadi 162,5 juta kartu.

Secara agregat, akan terjadi inefisiensi biaya administrasi sebesar Rp163 miliar per bulan atau Rp1,96 triliun per tahun karena ada sekitar 22,5 juta kartu berlogo GPN yang tidak digunakan atau dormant.

Adapun biaya produksi kartu-kartu dormant tersebut mencapai Rp585 miliar dalam empat tahun ke depan. Menurut Chaikal, penerbitan kartu berlogo GPN yang ditargetkan pada nasabah yang sudah memiliki kartu debit membatasi peran GPN dalam perluasan gerakan nontunai, karena hanya mendorong reiterasi dan bukan ekspansi.

Sementara itu, peneliti LPEM FEB UI lainnya, Dono Iskandar mengatakan, banyaknya kartu yang beredar belum dapat dilihat sebagai solusi efektif. "Adanya kewajiban kepemilikan minimal satu kartu GPN untuk setiap nasabah akan berdampak pada terbitnya 22,5 juta kartu debit GPN dormant karena tidak dianggap kompatibel, terutama untuk kebutuhan transaksi di luar negeri dan transaksi daring," paparnya.

Aspek lain yang tidak kalah penting adalah pemrosesan transaksi. Desain GPN yang dibangun di atas empat lembaga switching domestik yang berbeda, dinilai menghambat optimalisasi sistem pembayaran karena mendesak kebutuhan interoperabilitas dan interkoneksi.

Padahal, switching merupakan industri dengan fixed cost yang besar sehingga memerlukan skala ekonomi yang optimal untuk dapat beroperasi dengan efisien.

Pemrosesan melalui lembaga switching domestik juga dikhawatirkan meningkatkan potensi terjadinya fraud, hacking, dan disrupsi terhadap infrastrukttur GPN, mengingat kebanyakan lembaga switching tersebut sebelumnya hanya merupakan penyelenggara jasa switching untuk jaringan ATM.

Isu keamanan bertransaksi bagi nasabah saat ini masih menjadi salah satu kekhawatiran utama dan sekaligus pekerjaan rumah bagi ragam layanan keuangan di Indonesia.

Atas dasar itu, LPEM FEB UI merekomendasikan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan optimalisasi sistem pembayaran di bawah GPN. Pertama, konsolidasi penyelenggara switching domestik menjadi satu entitas yang dimiliki bersama oleh bank-bank issuer dan acquirer untuk memastikan adanya skala ekonomi yang optimal.

Kedua, penerapan kebijakan opt out kepemilikan kartu berlogo GPN bagi nasabah yang tidak memerlukan untuk menghilangkan inefisiensi dari biaya penerbitan dan administrasi kartu GPN dormant. Kebijakan ini diperkirakan dapat menurunkan biaya administrasi sebesar Rp40 miliar per bulan atau Rp480 miliar per tahun.

Ketiga, terkait instrumentasi, LPEM juga merekomendasikan agar penerapan GPN tidak hanya berbasis kartu tapi juga berbasis peladen (server) sesuai perkembangan teknologi.

Karena itu, anggota tim penyusun kajian ini lainnya, Ashintya Damayanti menilai perlu adanya peninjauan ulang terhadap kewajiban pemrosesan seluruh transaksi domestik melalui GPN.

"Penerapan GPN akan membawa berbagai dampak positif bagi sistem pembayaran di Indonesia namun belum optimal dari segi efisiensi, perlindungan konsumen, dan kompetisi, serta tidak sejalan dengan praktik internasional," tutup Ashintya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4494 seconds (0.1#10.140)