Amran Ajak Perguruan Tinggi Terlibat Majukan Pertanian
A
A
A
MALANG - Perguruan tinggi diharapkan terlibat aktif dalam pengembangan teknologi, dan inovasi di bidang pertanian. Harapan ini ditegaskan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman saat memberikan kuliah umum di Fakultas Pertanian (FP) Universitas Brawijaya Malang, Jumat (25/5/2018).
Menurutnya, untuk mengembalikan kejayaan pertanian Indonesia dan mencapai target Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045, dibutuhkan peran besar perguruan tinggi. "Di dalam kampus inilah, pusat dikembangkannya teknologi, dan inovasi untuk bisa merubah pertanian kita menjadi lebih maju," tuturnya.
Melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi pertanian yang dihasilkan perguruan tinggi, diyakininya pertanian Indonesia akan mampu bersaing dengan negara lain. "Akademisi, pemerintah, dan pengusaha harus sinergi untuk pengembangan pertanian agar petaninya makmur," lanjut Amran.
Saat ini, menurutnya, posisi pertanian di Indonesia terus mengalami kemajuan. Bahkan, berdasarkan Food Sustainability Index (FSI) Desember 2016 tentang pertanian berkelanjutan, Indonesia ada di urutan 16 dunia dengan poin 53,87.
Posisi Indonesia hanya satu tingkat di bawah Argentina, yang memiliki poin 55,00. Yang membuat Amran sangat bangga, posisi Indonesia mampu berada di atas China yang ada di urutan 16 dengan poin 51,97, dan Amerika Serikat yang ada di urutan 19 dengan poin 50,73.
Pemanfaatan teknologi dan inovasi sudah mulai dirasakan hasilnya pada sektor pertanian padi. Penggunaan alat dan mesin pertanian, serta pemupukan dan pestisida organik, mampu meningkatkan pendapatan sektor pertaian menjadi Rp316 triliun per tahun.
Dia mencontohkan, penggunaan mesin penyiangan yang tiga kali lebih cepat dari penyiangan manual, mampu menghemat biaya penyiangan sebesar Rp7 triliun per tahun. Demikian juga dengan penggunaan mesin pemanen padi, mampu menghemat biaya panen sekitar 30% atau sekitar Rp8,8 triliun per tahun.
Selain meningkatkan pemanfaatan teknologi, saat ini juga ditingkatkan kecintaan dunia pertanian di kalangan anak muda. Salah satunya,melalui Gerakan Pemuda Tani Indonesia (Gempita). "Di kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, ada lahan tidur seluas 30 ribu hektare yang kini ditanami jagung oleh petani-petani muda peserta program Gempita," ujar Amran.
Terobosan lain yang dilakukan adalah dengan revisi Perpres No. 172/2014. Dimana pengadaan benih, pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian, dari sebelumnya harus dilakukan dengan tender, sekarang bisa dilakukan dengan penunjukkan langsung.
Adanya perubahan sistem pengadaan dari tender menjadi penunjukkan langsung tersebut, diklaim Amran, memiliki dampak besar, yakni segala pengadaan tersebut bisa tepat waktu, tepat dosis, tepat harga, tepat jenis, dan tepat bentuk atau ukurannya.
Intensivikasi lahan juga dilakukan. Termasuk pada lahan rawa yang luasannya mencapai jutaan hektare. "Lahan rawa yang sebelumnya tidak bisa optimal dimanfaatkan karena kelebihan air, sekarang bisa dimanfaatkan untuk produksi padi. Hal ini juga berkat adanya teknologi dan inovasi," ungkapnya.
Terobosan-terobosan yang dilakukan Kementan secara bertahap mulai dirasakan. Salah satunya untuk produk jagung. Pada 2015, Amran menyebutkan, Indonesia masih mengimpor jagung 3,5 juta ton. Tahun 2016 turun menjadi 1,8 juta ton, dan di tahun 2017, Indonesia sudah tidak mengimpor jagung untuk pakan ternak.
Bahkan, dia menyebutkan, pada 2018 ini, jagung produksi Gorontalo sudah mampu diekspor ke Filipina sebanyak 57.650 ton. Selain itu, sejak 2017 telah mampu mengekspor bawang merah ke enam negara sebanyak 7.750 ton.
Indonesia juga telah mampu mengekspor telur ayam tetas ke Myanmar, serta mengekspor daging ayam olahan ke Papua New Guiniea dan Jepang. "Ekspor menjadi solusi saat produksi di dalam negeri berlimpah," ungkapnya.
Tren investasi di bidang pertanian, baik untuk penanaman modal asing (PMA), maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN) terus mengalami peningkatan selama 2013-2017. Kenaikannya mencapai 56,7% atau rata-rata kenaikan setiap tahunnya mencapai 14,2%.
Disebutkannya, tahun 2013, nilai investasinya baru Rp29,30 triliun. Tahun 2014 naik menjadi Rp44,78 triliun. Nilai investasi di tahun 2015 mencapai Rp43,07 triliun. Kemudian di tahun 2016 nilainya Rp45,42 triliun, dan di tahun 2017 mencapai Rp45,90 triliun.
Nilai ekspor pertanian selama tahun 2013-2017 juga terus mengalami tren kenaikan. Tahun 2013, nilai ekspornya hanya Rp334,34 triliun. Pada 2014 naik menjadi Rp368,71 triliun. Tahun 2015 meningkat menjadi Rp375,49 triliun. Tahun 2016 mencapai Rp355,01 triliun, dan di tahun 2017 naik menjadi Rp441,89 triliun.
Sejumlah komoditas pertanian Indonesia, juga memiliki jumlah produksi tertinggi di dunia. Di antaranya kelapa sawit yang mencapai 37,8 juta ton; lada sebanyak 87,03 ribu ton; kelapa 17,72 juta ton; dan pala 34,4 ribu ton. Sementara kopi masih di urutan empat dunia dengan jumlah 668,7 ribu ton; dan kakao diurutan tiga dunia sebanyak 659,8 ribu ton.
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, Chendy Tafa Kresnanto menyebutkan, upaya mengembangkan teknologi pertanian untuk kemajuan pertanian terus dilakukan secara intensif. "Hasilnya sudah terbukti efektif. Salah satunya pada tanaman padi," ungkapnya.
Di Jawa Timur, dia menyebutkan, sudah ada peningkatan produksi padi dengan memanfaatkan teknologi, serta sistem pertanian organik yang berkelanjutan. Yakni untuk satu kali panen padi hasilnya bisa mencapai sebesar 10 ton per hektare, dari sebelumnya hanya antara 7-8 ton per hektare.
Jawa Timur menjadi salah satu lumbung pangan nasional dengan luasan lahan tanaman padi 1,1 juta hektare. Produktivitas padinya juga di atas produktivitas nasional. Yakni rata-rata mencapai 6,5 ton per hektare. Sementara produktivitas padi nasional baru mencapai rata-rata 5,1 ton per hektare.
Sebelumnya, produktivitas padi Jawa Timur masih rendah. Yakni rata-rata mencapai 4,9 ton per hektare. Akhirnya dengan pemanfaatan teknologi dan intensifikasi lahan bisa ditingkatkan menjadi rata-rata 5,2 ton per tahun. Dan terus meningkat menjadi 6,5 ton per tahun. "Kami akan terus pacu sehingga bisa mencapai 6,7 ton per tahun dalam dua tahun ke depan," tegasnya.
Penyerapan teknologi dan inovasi di tingkat petani, menurutnya, dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah faktor budaya masyarakat petani. "Kita carikan formulasinya dalam penyampaian ke petani agar bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi petani," imbuhnya.
Dekan FP UB Malang, Nuhfil Hanani mengaku, inovasi dan teknologi terus di kembangkan di FP UB. Tentunya semuanya bisa dimanfaatkan untuk mendukung program pemerintah dalam mengembangkan pertanian untuk mencapai swasembada pangan.
Selain itu, dia juga mengembangkan program wirausaha muda pertanian, yang bertujuan memacu kecintaan generasi muda terhadap dunia pertanian. "Mereka kita ajak mengembangkan pertanian yang berbasis kepada teknologi. Sehingga mampu memiliki daya saing dan kemajuan," ujar guru besar pertanian yang baru saja terpilih sebagai Rektor UB Malang.
Menurutnya, untuk mengembalikan kejayaan pertanian Indonesia dan mencapai target Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045, dibutuhkan peran besar perguruan tinggi. "Di dalam kampus inilah, pusat dikembangkannya teknologi, dan inovasi untuk bisa merubah pertanian kita menjadi lebih maju," tuturnya.
Melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi pertanian yang dihasilkan perguruan tinggi, diyakininya pertanian Indonesia akan mampu bersaing dengan negara lain. "Akademisi, pemerintah, dan pengusaha harus sinergi untuk pengembangan pertanian agar petaninya makmur," lanjut Amran.
Saat ini, menurutnya, posisi pertanian di Indonesia terus mengalami kemajuan. Bahkan, berdasarkan Food Sustainability Index (FSI) Desember 2016 tentang pertanian berkelanjutan, Indonesia ada di urutan 16 dunia dengan poin 53,87.
Posisi Indonesia hanya satu tingkat di bawah Argentina, yang memiliki poin 55,00. Yang membuat Amran sangat bangga, posisi Indonesia mampu berada di atas China yang ada di urutan 16 dengan poin 51,97, dan Amerika Serikat yang ada di urutan 19 dengan poin 50,73.
Pemanfaatan teknologi dan inovasi sudah mulai dirasakan hasilnya pada sektor pertanian padi. Penggunaan alat dan mesin pertanian, serta pemupukan dan pestisida organik, mampu meningkatkan pendapatan sektor pertaian menjadi Rp316 triliun per tahun.
Dia mencontohkan, penggunaan mesin penyiangan yang tiga kali lebih cepat dari penyiangan manual, mampu menghemat biaya penyiangan sebesar Rp7 triliun per tahun. Demikian juga dengan penggunaan mesin pemanen padi, mampu menghemat biaya panen sekitar 30% atau sekitar Rp8,8 triliun per tahun.
Selain meningkatkan pemanfaatan teknologi, saat ini juga ditingkatkan kecintaan dunia pertanian di kalangan anak muda. Salah satunya,melalui Gerakan Pemuda Tani Indonesia (Gempita). "Di kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, ada lahan tidur seluas 30 ribu hektare yang kini ditanami jagung oleh petani-petani muda peserta program Gempita," ujar Amran.
Terobosan lain yang dilakukan adalah dengan revisi Perpres No. 172/2014. Dimana pengadaan benih, pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian, dari sebelumnya harus dilakukan dengan tender, sekarang bisa dilakukan dengan penunjukkan langsung.
Adanya perubahan sistem pengadaan dari tender menjadi penunjukkan langsung tersebut, diklaim Amran, memiliki dampak besar, yakni segala pengadaan tersebut bisa tepat waktu, tepat dosis, tepat harga, tepat jenis, dan tepat bentuk atau ukurannya.
Intensivikasi lahan juga dilakukan. Termasuk pada lahan rawa yang luasannya mencapai jutaan hektare. "Lahan rawa yang sebelumnya tidak bisa optimal dimanfaatkan karena kelebihan air, sekarang bisa dimanfaatkan untuk produksi padi. Hal ini juga berkat adanya teknologi dan inovasi," ungkapnya.
Terobosan-terobosan yang dilakukan Kementan secara bertahap mulai dirasakan. Salah satunya untuk produk jagung. Pada 2015, Amran menyebutkan, Indonesia masih mengimpor jagung 3,5 juta ton. Tahun 2016 turun menjadi 1,8 juta ton, dan di tahun 2017, Indonesia sudah tidak mengimpor jagung untuk pakan ternak.
Bahkan, dia menyebutkan, pada 2018 ini, jagung produksi Gorontalo sudah mampu diekspor ke Filipina sebanyak 57.650 ton. Selain itu, sejak 2017 telah mampu mengekspor bawang merah ke enam negara sebanyak 7.750 ton.
Indonesia juga telah mampu mengekspor telur ayam tetas ke Myanmar, serta mengekspor daging ayam olahan ke Papua New Guiniea dan Jepang. "Ekspor menjadi solusi saat produksi di dalam negeri berlimpah," ungkapnya.
Tren investasi di bidang pertanian, baik untuk penanaman modal asing (PMA), maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN) terus mengalami peningkatan selama 2013-2017. Kenaikannya mencapai 56,7% atau rata-rata kenaikan setiap tahunnya mencapai 14,2%.
Disebutkannya, tahun 2013, nilai investasinya baru Rp29,30 triliun. Tahun 2014 naik menjadi Rp44,78 triliun. Nilai investasi di tahun 2015 mencapai Rp43,07 triliun. Kemudian di tahun 2016 nilainya Rp45,42 triliun, dan di tahun 2017 mencapai Rp45,90 triliun.
Nilai ekspor pertanian selama tahun 2013-2017 juga terus mengalami tren kenaikan. Tahun 2013, nilai ekspornya hanya Rp334,34 triliun. Pada 2014 naik menjadi Rp368,71 triliun. Tahun 2015 meningkat menjadi Rp375,49 triliun. Tahun 2016 mencapai Rp355,01 triliun, dan di tahun 2017 naik menjadi Rp441,89 triliun.
Sejumlah komoditas pertanian Indonesia, juga memiliki jumlah produksi tertinggi di dunia. Di antaranya kelapa sawit yang mencapai 37,8 juta ton; lada sebanyak 87,03 ribu ton; kelapa 17,72 juta ton; dan pala 34,4 ribu ton. Sementara kopi masih di urutan empat dunia dengan jumlah 668,7 ribu ton; dan kakao diurutan tiga dunia sebanyak 659,8 ribu ton.
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, Chendy Tafa Kresnanto menyebutkan, upaya mengembangkan teknologi pertanian untuk kemajuan pertanian terus dilakukan secara intensif. "Hasilnya sudah terbukti efektif. Salah satunya pada tanaman padi," ungkapnya.
Di Jawa Timur, dia menyebutkan, sudah ada peningkatan produksi padi dengan memanfaatkan teknologi, serta sistem pertanian organik yang berkelanjutan. Yakni untuk satu kali panen padi hasilnya bisa mencapai sebesar 10 ton per hektare, dari sebelumnya hanya antara 7-8 ton per hektare.
Jawa Timur menjadi salah satu lumbung pangan nasional dengan luasan lahan tanaman padi 1,1 juta hektare. Produktivitas padinya juga di atas produktivitas nasional. Yakni rata-rata mencapai 6,5 ton per hektare. Sementara produktivitas padi nasional baru mencapai rata-rata 5,1 ton per hektare.
Sebelumnya, produktivitas padi Jawa Timur masih rendah. Yakni rata-rata mencapai 4,9 ton per hektare. Akhirnya dengan pemanfaatan teknologi dan intensifikasi lahan bisa ditingkatkan menjadi rata-rata 5,2 ton per tahun. Dan terus meningkat menjadi 6,5 ton per tahun. "Kami akan terus pacu sehingga bisa mencapai 6,7 ton per tahun dalam dua tahun ke depan," tegasnya.
Penyerapan teknologi dan inovasi di tingkat petani, menurutnya, dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah faktor budaya masyarakat petani. "Kita carikan formulasinya dalam penyampaian ke petani agar bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi petani," imbuhnya.
Dekan FP UB Malang, Nuhfil Hanani mengaku, inovasi dan teknologi terus di kembangkan di FP UB. Tentunya semuanya bisa dimanfaatkan untuk mendukung program pemerintah dalam mengembangkan pertanian untuk mencapai swasembada pangan.
Selain itu, dia juga mengembangkan program wirausaha muda pertanian, yang bertujuan memacu kecintaan generasi muda terhadap dunia pertanian. "Mereka kita ajak mengembangkan pertanian yang berbasis kepada teknologi. Sehingga mampu memiliki daya saing dan kemajuan," ujar guru besar pertanian yang baru saja terpilih sebagai Rektor UB Malang.
(ven)