Timbulkan Kesenjangan, Struktur Gaji Pejabat Perlu Dikoreksi
A
A
A
JAKARTA - Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) Farouk Abdullah Alwyni mengkritisi kebijakan pemerintah yang menganakemaskan birokrat dengan kenaikan gaji, tunjangan, dan bonus.
Dia menilai, hal itu bisa jadi berimbas pada semakin parahnya kesenjangan sosial karena masyarakat biasa pada umumnya tidak mengalami peningkatan pendapatan yang memadai setiap tahun. Besarnya gaji pejabat negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, juga direksi dan komisaris BUMN, serta lembaga negara lainnya menurutnya berpotensi memantik konflik dan kecemburuan sosial.
Berdasarkan studi Bank Dunia, lanjut dia, selama satu dekade hingga 2015, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati 20% masyarakat dan meninggalkan 80% lainnya. Mayoritas rakyat, kata dia, tidak merasakan pertumbuhan ekonomi tersebut. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati kelompok kecil akibat struktur sosial di Indonesia yang sejak zaman kolonial hingga pascareformasi menurutnya tidak berubah signifikan.
Farouk mengingatkan soal polemik yang timbul dari penggajian anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang mencapai Rp100 juta per bulan. Dia juga menyinggung gaji pejabat negara seperti dirut BPJS Kesehatan, gubernur Bank Indonesia, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan yang menurutnya sudah di atas Rp200 juta per bulan.
"Struktur penggajian institusi negara sebenarnya juga memperburuk kondisi ketimpangan sosial," tegas dia melalui siaran pers, Selasa (26/6/2018).
Farouk mengatakan, besarnya penghasilan seharusnya dilihat apakah memang sudah sebanding dengan produktivitas kinerjanya, atau sejauh mana dampak manfaatnya untuk masyarakat banyak. Selain itu imbuh dia, harus pula dipertimbangkan sejauh mana pendapat per kapita masyarakat secara menyeluruh di bandingkan penghasilan para elite tersebut.
"Ke depannya, perlu ada evaluasi terhadap struktur penggajian dalam kaitannya dengan persoalan ketimpangan sosial ini. Mungkin penentuan gaji institusi publik perlu menggunakan dasar perbandingan pendapatan per kapita penduduk, ataupun mungkin dari penghasilan terendah anggota masyarakat yang ada," tuturnya.
Cara perhitungan ini, kata dia, adalah untuk memberikan rasa keadilan sebagaimana amanat konstitusi dan falsafah Pancasila. "Pejabat negara yang bergaji besar tapi tidak ada manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sama artinya melanggar setidaknya empat pasal dalam Pancasila," tandasnya.
Lebih jauh lagi, dia menilai dalam kondisi beban utang negara yang besar, kondisi ekonomi secara umum yang masih berat, pemerintah bisa mengambil langkah solidaritas meski tidak populer, yakni memangkas gaji segenap pejabat negara, direksi dan komisaris BUMN untuk efisiensi anggaran.
"Di Malaysia, Mahathir Mohammad berani memotong gaji para menterinya demi menunjukkan rasa keadilan bagi rakyatnya," kata dia.
Pada akhirnya, Farouk mengingatkan, mendapatkan tanggung jawab di pemerintahan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif juga di BUMN dan segenap institusi negara adalah untuk menjalankan fungsi negara dalam mengupayakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
"Artinya, pendapatan naik kalau penghasilan rakyat secara menyeluruh juga bertambah. Jika tidak, ujung-ujungnya, kita akan tetap menjadi negara dunia ketiga yang mengekalkan struktur kolonial dan feodal," tandasnya.
Dia menilai, hal itu bisa jadi berimbas pada semakin parahnya kesenjangan sosial karena masyarakat biasa pada umumnya tidak mengalami peningkatan pendapatan yang memadai setiap tahun. Besarnya gaji pejabat negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, juga direksi dan komisaris BUMN, serta lembaga negara lainnya menurutnya berpotensi memantik konflik dan kecemburuan sosial.
Berdasarkan studi Bank Dunia, lanjut dia, selama satu dekade hingga 2015, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati 20% masyarakat dan meninggalkan 80% lainnya. Mayoritas rakyat, kata dia, tidak merasakan pertumbuhan ekonomi tersebut. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati kelompok kecil akibat struktur sosial di Indonesia yang sejak zaman kolonial hingga pascareformasi menurutnya tidak berubah signifikan.
Farouk mengingatkan soal polemik yang timbul dari penggajian anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang mencapai Rp100 juta per bulan. Dia juga menyinggung gaji pejabat negara seperti dirut BPJS Kesehatan, gubernur Bank Indonesia, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan yang menurutnya sudah di atas Rp200 juta per bulan.
"Struktur penggajian institusi negara sebenarnya juga memperburuk kondisi ketimpangan sosial," tegas dia melalui siaran pers, Selasa (26/6/2018).
Farouk mengatakan, besarnya penghasilan seharusnya dilihat apakah memang sudah sebanding dengan produktivitas kinerjanya, atau sejauh mana dampak manfaatnya untuk masyarakat banyak. Selain itu imbuh dia, harus pula dipertimbangkan sejauh mana pendapat per kapita masyarakat secara menyeluruh di bandingkan penghasilan para elite tersebut.
"Ke depannya, perlu ada evaluasi terhadap struktur penggajian dalam kaitannya dengan persoalan ketimpangan sosial ini. Mungkin penentuan gaji institusi publik perlu menggunakan dasar perbandingan pendapatan per kapita penduduk, ataupun mungkin dari penghasilan terendah anggota masyarakat yang ada," tuturnya.
Cara perhitungan ini, kata dia, adalah untuk memberikan rasa keadilan sebagaimana amanat konstitusi dan falsafah Pancasila. "Pejabat negara yang bergaji besar tapi tidak ada manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sama artinya melanggar setidaknya empat pasal dalam Pancasila," tandasnya.
Lebih jauh lagi, dia menilai dalam kondisi beban utang negara yang besar, kondisi ekonomi secara umum yang masih berat, pemerintah bisa mengambil langkah solidaritas meski tidak populer, yakni memangkas gaji segenap pejabat negara, direksi dan komisaris BUMN untuk efisiensi anggaran.
"Di Malaysia, Mahathir Mohammad berani memotong gaji para menterinya demi menunjukkan rasa keadilan bagi rakyatnya," kata dia.
Pada akhirnya, Farouk mengingatkan, mendapatkan tanggung jawab di pemerintahan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif juga di BUMN dan segenap institusi negara adalah untuk menjalankan fungsi negara dalam mengupayakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
"Artinya, pendapatan naik kalau penghasilan rakyat secara menyeluruh juga bertambah. Jika tidak, ujung-ujungnya, kita akan tetap menjadi negara dunia ketiga yang mengekalkan struktur kolonial dan feodal," tandasnya.
(fjo)