Negosiasi Bea Masuk dengan AS, RI Terancam Rogoh Kocek USD1,8 M
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang saat ini tengah mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor asal Indonesia untuk menentukan produk apa saja yang masih layak menerima generalized system of preferences (GSP) membuat pemerintah Indonesia bakal melakukan negosiasi. Pasalnya apabila GSP dihilangkan, maka bea masuk produk Indonesia ke AS bisa lebih mahal.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi mengatakan jika permasalahan tersebut tengah dibahas. Jika berpotensi dicabut, maka Indonesia dinilai harus merogoh kocek sebesar USD1,7-USD1,8 miliar atau setara Rp25,2 triliun untuk bea masuk per tahun.
"Kalaupun (perlakuan khusus terhadap 124 barang) ditarik semua, kita cuma dari USD 20 miliar trade kita dengan AS itu paling kita kena (bea masuk) USD 1,7-1,8 miliar. tidak terlalu besar menurut akibatnya yang langsung dari GSP itu," ujarnya di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta.
Meski demikian, dirinya menekankan bahwa yang terpenting adalah bagaimana pemerintah nantinya mempersiapkan diri dalam menghadapi kebijakan tersebut. Jika tidak, maka para pelaku usaha akan sangat terdampak dari kebijakan itu.
"Karena perusahaan-perusahaan ini kan lebih banyak adalah yang liable intensif. Ini lah yang kita harapkan, tapi pemerintah AS pun menurut saya yang paling penting adalah bahwa mereka juga asal jelas," jelas dia.
Saat disinggung apakah Indonesia merugi, Sofjan membantahnya. Menurutnya, Indonesia masih bisa ekspor hanya saja dikenakan bea masuk yang cukup besar. "Bukan rugi lah, itu kita tetap bisa ekspor. Cuman kita harus tetap bayar pajak," tandasnya.
GSP merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberikan manfaat pemotongan bea masuk impor untuk negara penerima manfaat GSP. Sesuai ketentuan WTO, kebijakan GSP merupakan kebijakan perdagangan sepihak atau unilateral yang umumnya dimiliki negara maju untuk membantu negara berkembang.
Pemerintah Indonesia sendiri akan mengirimkan tim ke Amerika Serikat (AS) untuk membahas mengenai kebijakan GSP untuk Indonesia. Hal itu untuk negosiasi dengan pemerintah AS yang saat ini tengah mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor asal Indonesia untuk menentukan produk apa saja yang masih layak menerima GSP.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi mengatakan jika permasalahan tersebut tengah dibahas. Jika berpotensi dicabut, maka Indonesia dinilai harus merogoh kocek sebesar USD1,7-USD1,8 miliar atau setara Rp25,2 triliun untuk bea masuk per tahun.
"Kalaupun (perlakuan khusus terhadap 124 barang) ditarik semua, kita cuma dari USD 20 miliar trade kita dengan AS itu paling kita kena (bea masuk) USD 1,7-1,8 miliar. tidak terlalu besar menurut akibatnya yang langsung dari GSP itu," ujarnya di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta.
Meski demikian, dirinya menekankan bahwa yang terpenting adalah bagaimana pemerintah nantinya mempersiapkan diri dalam menghadapi kebijakan tersebut. Jika tidak, maka para pelaku usaha akan sangat terdampak dari kebijakan itu.
"Karena perusahaan-perusahaan ini kan lebih banyak adalah yang liable intensif. Ini lah yang kita harapkan, tapi pemerintah AS pun menurut saya yang paling penting adalah bahwa mereka juga asal jelas," jelas dia.
Saat disinggung apakah Indonesia merugi, Sofjan membantahnya. Menurutnya, Indonesia masih bisa ekspor hanya saja dikenakan bea masuk yang cukup besar. "Bukan rugi lah, itu kita tetap bisa ekspor. Cuman kita harus tetap bayar pajak," tandasnya.
GSP merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberikan manfaat pemotongan bea masuk impor untuk negara penerima manfaat GSP. Sesuai ketentuan WTO, kebijakan GSP merupakan kebijakan perdagangan sepihak atau unilateral yang umumnya dimiliki negara maju untuk membantu negara berkembang.
Pemerintah Indonesia sendiri akan mengirimkan tim ke Amerika Serikat (AS) untuk membahas mengenai kebijakan GSP untuk Indonesia. Hal itu untuk negosiasi dengan pemerintah AS yang saat ini tengah mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor asal Indonesia untuk menentukan produk apa saja yang masih layak menerima GSP.
(akr)