Bebani Negara, Kebocoran Solar Subsidi Tak Boleh Terjadi
A
A
A
JAKARTA - Maraknya penggunaan solar bersubsidi oleh kalangan industri disesalkan sejumlah pihak. Salah satunya pengamat ekonomi Universitas Sumatra Utara (USU) Wahyu Ario Pratama.
Menurut Wahyu, kebocoran seharusnya tidak boleh terjadi karena memiliki dampak yang sangat serius. "Beban subsidi bisa membengkak dan akan membebani keuangan negara," ujarnya dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (22/8/2018).
Dia menilai, kebocoran terjadi karena lemahnya pengawasan. Peraturan memang sudah ada, namun implementasinya yang lemah, terutama di tingkat daerah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 01 Tahun 2013 tentang Tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM), harusnya yang berwenang melakukan pengawasan adalah BPH Migas yang berkoordinasi dengan Pemda setempat.
Wahyu menekankan, peraturan tersebut dengan tegas sudah melarang kalangan industri menggunakan solar bersubsidi. Termasuk di dalamnya truk-truk pertambangan dan perkebunan. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, diindikasikan adanya truk tambang dan kelapa sawit yang memakai BBM yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat.
"Kebocoran terjadi, tentu karena ada kerja sama antara pihak penyalur dan pengusaha. Seharusnya BPH Migas bisa mendeteksi kebocoran tersebut. Jika terbukti ada SPBU yang melakukan pelanggaran, harus diberi sanksi tegas," ujar Wahyu.
Wahyu mengungkapkan potensi kebocoran saat ini tinggi, seiring dengan terus naiknya harga minyak dunia yang sekarang sudah mendekati angka USD80 per barel, yang sudah pasti diikuti dengan kenaikan harga solar bagi kalangan industri. Dalam kondisi demikian, tentu pengusaha akan mencari alternatif untuk menekan membengkaknya biaya produksi, antara lain melalui BBM.
Menurut Wahyu, kebocoran seharusnya tidak boleh terjadi karena memiliki dampak yang sangat serius. "Beban subsidi bisa membengkak dan akan membebani keuangan negara," ujarnya dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (22/8/2018).
Dia menilai, kebocoran terjadi karena lemahnya pengawasan. Peraturan memang sudah ada, namun implementasinya yang lemah, terutama di tingkat daerah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 01 Tahun 2013 tentang Tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM), harusnya yang berwenang melakukan pengawasan adalah BPH Migas yang berkoordinasi dengan Pemda setempat.
Wahyu menekankan, peraturan tersebut dengan tegas sudah melarang kalangan industri menggunakan solar bersubsidi. Termasuk di dalamnya truk-truk pertambangan dan perkebunan. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, diindikasikan adanya truk tambang dan kelapa sawit yang memakai BBM yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat.
"Kebocoran terjadi, tentu karena ada kerja sama antara pihak penyalur dan pengusaha. Seharusnya BPH Migas bisa mendeteksi kebocoran tersebut. Jika terbukti ada SPBU yang melakukan pelanggaran, harus diberi sanksi tegas," ujar Wahyu.
Wahyu mengungkapkan potensi kebocoran saat ini tinggi, seiring dengan terus naiknya harga minyak dunia yang sekarang sudah mendekati angka USD80 per barel, yang sudah pasti diikuti dengan kenaikan harga solar bagi kalangan industri. Dalam kondisi demikian, tentu pengusaha akan mencari alternatif untuk menekan membengkaknya biaya produksi, antara lain melalui BBM.
(ven)