INKA Tak Sanggup Biayai Penelitian KA Cepat Sendirian
A
A
A
SOLO - PT Industri Kereta Api (INKA) mengaku tidak sanggup menanggung biaya penelitian pengembangan kereta api (KA) cepat sendirian. Alasannya, biaya yang dibutuhkan mencapai Rp500-700 miliar untuk desain dasar (basic desain) hingga penelitian.
Direktur Teknologi dan Komersial PT INKA Agung Sedaju mengemukakan, biaya penelitian yang dilakukan PT INKA sebagai industri selama ini cukup besar. Dia mencontohkan untuk penelitian light rail transit (LRT), biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp15 miliar untuk engineering desain penelitiannya.
Sedangkan untuk pengembangan lokomotif merah yang sampai saat ini belum laku dijual, biayanya mencapai Rp18 miliar untuk riset dasar sampai keluar desainnya.
"Sehingga berhenti di sana enggak bisa jualan. Untuk LRT sudah bisa jualan," kata Agung Sedaju seusai FGD dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristek-Dikti) dan tujuh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, di Solo, Jawa Tengah, Selasa (28/8/2018).
Target PT INKA saat ini yang sangat dibutuhkan adalah penelitian kereta cepat. Sebelumnya, LRT sudah bisa melakukan pengembangan dengan biaya penelitian sendiri. Demikian pula dengan kereta rel listrik juga sudah bisa mengembangkan dengan biaya penelitian sendiri. Namun untuk menuju kereta cepat, membutuhkan biaya penelitian yang sangat besar.
"Untuk menanggung biaya penelitian itu, kami sudah tak sanggup karena butuh Rp500-700 miliar untuk biaya basic desain sampai penelitian," urainya.
Selama ini, pemerintah sebenarnya memiliki anggaran penelitian yang cukup besar di Kemenristek-Dikti. Namun penelitian yang dilakukan masih sporadis dan tersebar begitu luas.
Karena itu, PT INKA mengusulkan agar penelitian dari kedua lembaga tersebut dapat disatukan dengan target yang sama. Dalam FGD tersebut, pihaknya ingin mendapat masukan dari pemerintah apakah punya dana, dan bagaimana prosedurnya untuk melakukan penelitian.
"Seperti China, Jepang, Korea, semua ditanggung oleh pemerintah. Kami ingin melihat Indonesia juga bisa melakukan hal itu," tuturnya.
Dalam FGD juga dibahas bagaimana menyatukan seluruh perguruan tinggi di bawah Kemenristek-Dikti untuk ikut melakukan penelitian bersama. Bersama sekitar 300 insinyur yang dimiliki INKA, para peneliti di perguruan tinggi bisa sama-sama dapat membuat kajian tentang kereta cepat.
Tujuh PTN yang dilibatkan dalam FGD adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Gajah Mada (UGM), Universiyas Diponegoro (Undip), Institut Teknologi Surabaya (ITS), dan Univeritas Brawijaya. Basic ilmu yang dimiliki masing masing PTN diharapkan bisa diintegrasikan guna mendukung industri perkeratapian.
Dirjen Penguatan Inovasi Kemenristek-Dikti Jumain Appe mengemukakan, pemerintah akan membangun sistem perkeretapian sebagai transportasi massal. KA biasa yang telah ada saat ini dinilai membutuhkan waktu tempuh yang panjang. Dengan perkembangan saat ini, dibutuhkan KA yang lebih cepat, murah dan aman.
Rencana pemerintah membangun kereta cepat Jakarta-Surabaya diharapkan menjadi wahana untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi perkeretaapian.
"Dengan adanya program pemerintah dalam pengembangan perkeretaapian, khususnya kereta cepat, penelitian didorong untuk diarahkan ke sana melalui kemampuan perguruan tinggi dan lembaga litbang. Termasuk di antaranya memperkuat tingkat kandungan dalam negeri dari kereta cepat," tuturnya.
Dia menargetkan dalam 5-10 tahun ke depan kandungan lokal untuk produk kereta api dalam negeri diharapkan bisa mencapai 80% dari sekarang yang baru 30%. Dengan demikian, maka biaya kereta menjadi lebih terjangkau dan masyarakat bisa mengakses KA sebagai transportasi massal yang mudah, cepat dan murah.
Direktur Teknologi dan Komersial PT INKA Agung Sedaju mengemukakan, biaya penelitian yang dilakukan PT INKA sebagai industri selama ini cukup besar. Dia mencontohkan untuk penelitian light rail transit (LRT), biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp15 miliar untuk engineering desain penelitiannya.
Sedangkan untuk pengembangan lokomotif merah yang sampai saat ini belum laku dijual, biayanya mencapai Rp18 miliar untuk riset dasar sampai keluar desainnya.
"Sehingga berhenti di sana enggak bisa jualan. Untuk LRT sudah bisa jualan," kata Agung Sedaju seusai FGD dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristek-Dikti) dan tujuh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, di Solo, Jawa Tengah, Selasa (28/8/2018).
Target PT INKA saat ini yang sangat dibutuhkan adalah penelitian kereta cepat. Sebelumnya, LRT sudah bisa melakukan pengembangan dengan biaya penelitian sendiri. Demikian pula dengan kereta rel listrik juga sudah bisa mengembangkan dengan biaya penelitian sendiri. Namun untuk menuju kereta cepat, membutuhkan biaya penelitian yang sangat besar.
"Untuk menanggung biaya penelitian itu, kami sudah tak sanggup karena butuh Rp500-700 miliar untuk biaya basic desain sampai penelitian," urainya.
Selama ini, pemerintah sebenarnya memiliki anggaran penelitian yang cukup besar di Kemenristek-Dikti. Namun penelitian yang dilakukan masih sporadis dan tersebar begitu luas.
Karena itu, PT INKA mengusulkan agar penelitian dari kedua lembaga tersebut dapat disatukan dengan target yang sama. Dalam FGD tersebut, pihaknya ingin mendapat masukan dari pemerintah apakah punya dana, dan bagaimana prosedurnya untuk melakukan penelitian.
"Seperti China, Jepang, Korea, semua ditanggung oleh pemerintah. Kami ingin melihat Indonesia juga bisa melakukan hal itu," tuturnya.
Dalam FGD juga dibahas bagaimana menyatukan seluruh perguruan tinggi di bawah Kemenristek-Dikti untuk ikut melakukan penelitian bersama. Bersama sekitar 300 insinyur yang dimiliki INKA, para peneliti di perguruan tinggi bisa sama-sama dapat membuat kajian tentang kereta cepat.
Tujuh PTN yang dilibatkan dalam FGD adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Gajah Mada (UGM), Universiyas Diponegoro (Undip), Institut Teknologi Surabaya (ITS), dan Univeritas Brawijaya. Basic ilmu yang dimiliki masing masing PTN diharapkan bisa diintegrasikan guna mendukung industri perkeratapian.
Dirjen Penguatan Inovasi Kemenristek-Dikti Jumain Appe mengemukakan, pemerintah akan membangun sistem perkeretapian sebagai transportasi massal. KA biasa yang telah ada saat ini dinilai membutuhkan waktu tempuh yang panjang. Dengan perkembangan saat ini, dibutuhkan KA yang lebih cepat, murah dan aman.
Rencana pemerintah membangun kereta cepat Jakarta-Surabaya diharapkan menjadi wahana untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi perkeretaapian.
"Dengan adanya program pemerintah dalam pengembangan perkeretaapian, khususnya kereta cepat, penelitian didorong untuk diarahkan ke sana melalui kemampuan perguruan tinggi dan lembaga litbang. Termasuk di antaranya memperkuat tingkat kandungan dalam negeri dari kereta cepat," tuturnya.
Dia menargetkan dalam 5-10 tahun ke depan kandungan lokal untuk produk kereta api dalam negeri diharapkan bisa mencapai 80% dari sekarang yang baru 30%. Dengan demikian, maka biaya kereta menjadi lebih terjangkau dan masyarakat bisa mengakses KA sebagai transportasi massal yang mudah, cepat dan murah.
(fjo)