Kapasitas Industri Jasa Nasional Masih Kecil di ASEAN
A
A
A
JAKARTA - Hasil riset dari Indonesia Services Dialog (ISD), menunjukkan kapasitas industri jasa nasional masih terbilang kecil. Hal ini disebabkan mayoritas sektor jasa mengalami kelebihan permintaan (excess demand) sehingga perlu diambil sejumlah langkah strategis.
Executive Director ISD, Devi Ariyani mengatakan, terdapat saat ini ada 12 sektor jasa dan 160 sub sektor jasa yang tersebar di 24 kementerian. Saat ini sektor jasa masih kurang diekspos karena bentuknya yang tidak berwujud fisik.
Dalam kontribusinya terhadap PDB posisi Indonesia di ASEAN kalah dibanding Malaysia, Thailand dan Filipina. Misalnya pemerintah Malaysia yang melakukan reformasi regulasi dan benar benar perhatikan sektor jasa. Sedangkan Thailand fokus pada pariwisata dengan mengedepankan sektor kuliner serta mendukung pengusaha kuliner lokal untuk melakukan ekspansi ke luar negeri.
“Kita harus tingkatkan ekspor dari industri jasa. Harus fokus di sektor kompetitif seperti kontruksi, turisme, komunikasi, bisnis jasa, jasa transportasi dan jasa finansial. Ini yang perlu didorong saat ini,” ujar Devi dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (13/9).
Dia menambahkan, sektor jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat selama dua dekade terakhir. Kontribusi sektor jasa terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional meningkat dari 45% (2000) menjadi 54% (2017). “Sektor jasa memiliki kontribusi yang relatif besar terhadap penyerapan tenaga kerja Indonesia. Pada tahun 2000, penyerapan tenaga kerja sektor jasa dan terkait jasa sebesar 35 juta (39%), sedangkan pada tahun 2017 sebesar 60 juta (55%),” papar Devi.
Bahkan selama delapan tahun terakhir, sektor jasa rata-rata tumbuh 7,11% per tahun, dengan kontribusi pada tahun 2017 mencapai 54% dari PDB. “Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh sektor jasa terhadap perekonomian nasional semakin besar,” ujarnya.
Menurutnya kontributor terbesar sektor jasa adalah sub sektor perdagangan besar dan eceran yang mencapai 26%, berikutnya adalah sub-sektor konstruksi yang mencapai 19,94%. Pada kuartal II-2018, pertumbuhan sub-sektor tertinggi berasal dari sub-sektor jasa lainnya dan jasa perusahaan yang berturut-turut tumbuh sebesar 9,22% dan 8,89%.
“Kedua sub sektor tersebut tumbuh relatif pesat. Sebagai perbandingan selama delapan tahun terakhir rata-rata kedua sektor tersebut tumbuh 8,54% dan 9,29% per tahunnya” tambahnya.
Masukan untuk pemerintah ini, ujarnya, merupakan hasil yang didapat dalam kajian yang diadakan ISD bersama Deputi bidang Moneter dan Neraca Pembayaran, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Melalui serangkaian focus group discussion (FGD) mengenai pelaku usaha di sembilan sektor jasa prioritas yang dihadiri kementerian dan lembaga terkait, dihasilkan dialog konstruktif, serta didapat peta permasalahan yang melingkupi sektor jasa di Indonesia.
“Pertumbuhan sektor jasa pada dasarnya dapat lebih dioptimalkan apabila Pemerintah menjalankan sejumlah kebijakan. Pertama, memperbaiki mutu sumber daya manusia. Kedua, meninjau ulang pengenaan PPN 10% untuk sektor jasa. Ketiga, mendorong investasi baru pada sektor jasa dengan melakukan reformasi regulasi yang terlalu restriktif, seperti regulasi terkait daftar negatif investasi (DNI),” katanya.
Devi menjelaskan, rekomendasi pertama adalah menyangkut kualitas sumber daya manusia yang menjadi salah satu kunci strategis dalam pengembangan industri jasa. Untuk itu perlu peningkatan mutu sekolah vokasi, penambahan kapasitas pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja sektor jasa.
Kedua yakni terkait dengan pengenaan PPN 10% yang akan mengurangi daya saing Indonesia dibanding negara-negara lain. Saat ini sudah banyak negara mengenakan PPN 0% terutama untuk jasa financial center, jasa konsultan, jasa akuntansi, jasa call center, dan jasa-jasa lainnya yang dapat menambah penyerapan tenaga kerja. “Penghapusan PPN ini akan membantu pelaku bisnis dalam memberikan harga yang kompetitif pada produk jasa yang diekspor,” jelas Devi.
Ketiga, dengan semakin meningkatnya permintaan akan jasa di Indonesia, maka sisi penawaran perlu ditingkatkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong adanya investasi baru di sektor jasa. Namun Daftar Negatif Investasi (DNI) masih jadi penghambat masuknya investasi baru di Indonesia.
“Saat ini ada 515 bidang usaha di Indonesia yang tertutup mutlak dan terbuka dengan persyaratan. Angka tersebut sangat besar apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain seperti Thailand, Singapura dan Malaysia yang berturut-turut hanya sebanyak 4, 11 dan 45 bidang usaha,” ujarnya.
Devi menambahkan, guna mendorong perkembangan sektor jasa, ISD mengembangkan roadmap agar dapat menjadi panduan ke depannya. ISD juga melakukan kajian atas kondisi supply-demand sektor jasa di Indonesia serta menganalisa potensi sektor jasa melalui keterkaitan dengan sektor lainnya (backward and forward linkage) dengan mengolah data-data sekunder yang didapat dari BPS. Dengan demikian didapat gambaran yang lebih lengkap terkait kondisi sektor jasa di Indonesia.
Executive Director ISD, Devi Ariyani mengatakan, terdapat saat ini ada 12 sektor jasa dan 160 sub sektor jasa yang tersebar di 24 kementerian. Saat ini sektor jasa masih kurang diekspos karena bentuknya yang tidak berwujud fisik.
Dalam kontribusinya terhadap PDB posisi Indonesia di ASEAN kalah dibanding Malaysia, Thailand dan Filipina. Misalnya pemerintah Malaysia yang melakukan reformasi regulasi dan benar benar perhatikan sektor jasa. Sedangkan Thailand fokus pada pariwisata dengan mengedepankan sektor kuliner serta mendukung pengusaha kuliner lokal untuk melakukan ekspansi ke luar negeri.
“Kita harus tingkatkan ekspor dari industri jasa. Harus fokus di sektor kompetitif seperti kontruksi, turisme, komunikasi, bisnis jasa, jasa transportasi dan jasa finansial. Ini yang perlu didorong saat ini,” ujar Devi dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (13/9).
Dia menambahkan, sektor jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat selama dua dekade terakhir. Kontribusi sektor jasa terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional meningkat dari 45% (2000) menjadi 54% (2017). “Sektor jasa memiliki kontribusi yang relatif besar terhadap penyerapan tenaga kerja Indonesia. Pada tahun 2000, penyerapan tenaga kerja sektor jasa dan terkait jasa sebesar 35 juta (39%), sedangkan pada tahun 2017 sebesar 60 juta (55%),” papar Devi.
Bahkan selama delapan tahun terakhir, sektor jasa rata-rata tumbuh 7,11% per tahun, dengan kontribusi pada tahun 2017 mencapai 54% dari PDB. “Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh sektor jasa terhadap perekonomian nasional semakin besar,” ujarnya.
Menurutnya kontributor terbesar sektor jasa adalah sub sektor perdagangan besar dan eceran yang mencapai 26%, berikutnya adalah sub-sektor konstruksi yang mencapai 19,94%. Pada kuartal II-2018, pertumbuhan sub-sektor tertinggi berasal dari sub-sektor jasa lainnya dan jasa perusahaan yang berturut-turut tumbuh sebesar 9,22% dan 8,89%.
“Kedua sub sektor tersebut tumbuh relatif pesat. Sebagai perbandingan selama delapan tahun terakhir rata-rata kedua sektor tersebut tumbuh 8,54% dan 9,29% per tahunnya” tambahnya.
Masukan untuk pemerintah ini, ujarnya, merupakan hasil yang didapat dalam kajian yang diadakan ISD bersama Deputi bidang Moneter dan Neraca Pembayaran, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Melalui serangkaian focus group discussion (FGD) mengenai pelaku usaha di sembilan sektor jasa prioritas yang dihadiri kementerian dan lembaga terkait, dihasilkan dialog konstruktif, serta didapat peta permasalahan yang melingkupi sektor jasa di Indonesia.
“Pertumbuhan sektor jasa pada dasarnya dapat lebih dioptimalkan apabila Pemerintah menjalankan sejumlah kebijakan. Pertama, memperbaiki mutu sumber daya manusia. Kedua, meninjau ulang pengenaan PPN 10% untuk sektor jasa. Ketiga, mendorong investasi baru pada sektor jasa dengan melakukan reformasi regulasi yang terlalu restriktif, seperti regulasi terkait daftar negatif investasi (DNI),” katanya.
Devi menjelaskan, rekomendasi pertama adalah menyangkut kualitas sumber daya manusia yang menjadi salah satu kunci strategis dalam pengembangan industri jasa. Untuk itu perlu peningkatan mutu sekolah vokasi, penambahan kapasitas pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja sektor jasa.
Kedua yakni terkait dengan pengenaan PPN 10% yang akan mengurangi daya saing Indonesia dibanding negara-negara lain. Saat ini sudah banyak negara mengenakan PPN 0% terutama untuk jasa financial center, jasa konsultan, jasa akuntansi, jasa call center, dan jasa-jasa lainnya yang dapat menambah penyerapan tenaga kerja. “Penghapusan PPN ini akan membantu pelaku bisnis dalam memberikan harga yang kompetitif pada produk jasa yang diekspor,” jelas Devi.
Ketiga, dengan semakin meningkatnya permintaan akan jasa di Indonesia, maka sisi penawaran perlu ditingkatkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong adanya investasi baru di sektor jasa. Namun Daftar Negatif Investasi (DNI) masih jadi penghambat masuknya investasi baru di Indonesia.
“Saat ini ada 515 bidang usaha di Indonesia yang tertutup mutlak dan terbuka dengan persyaratan. Angka tersebut sangat besar apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain seperti Thailand, Singapura dan Malaysia yang berturut-turut hanya sebanyak 4, 11 dan 45 bidang usaha,” ujarnya.
Devi menambahkan, guna mendorong perkembangan sektor jasa, ISD mengembangkan roadmap agar dapat menjadi panduan ke depannya. ISD juga melakukan kajian atas kondisi supply-demand sektor jasa di Indonesia serta menganalisa potensi sektor jasa melalui keterkaitan dengan sektor lainnya (backward and forward linkage) dengan mengolah data-data sekunder yang didapat dari BPS. Dengan demikian didapat gambaran yang lebih lengkap terkait kondisi sektor jasa di Indonesia.
(akr)