BKPM: Nilai Tukar Rupiah Tentukan Pertumbuhan Investasi 2019

Selasa, 25 September 2018 - 12:02 WIB
BKPM: Nilai Tukar Rupiah Tentukan Pertumbuhan Investasi 2019
BKPM: Nilai Tukar Rupiah Tentukan Pertumbuhan Investasi 2019
A A A
JAKARTA - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan bahwa investasi bisa tumbuh tinggi di 2019 asalkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) tidak sampai menyentuh level Rp15.000 per USD. Hal ini menanggapi pernyataan pemerintah yang menargetkan investasi di tahun depan harus tumbuh di level 7%.

Pelaksana Tugas Deputi bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM Wisnu Wijaya Soedibjo mengungkapkan, untuk mencapai target tersebut maka secara makro perekonomian dunia harus baik. Kemudian, nilai tukar rupiah harus berada di bawah Rp15.000 per USD, serta kebijakan yang dicanangkan pemerintah pusat dan daerah harus lebih terintegrasi.

"Jadi nilai tukar yang harus kurang lebihnya mestinya harus di bawah Rp15.000," katanya di Gedung BKPM, Jakarta, Selasa (25/9/2018).

Untuk sebagian sektor, sambung dia, nilai tukar mata uang Garuda yang melemah memang dianggap menguntungkan. Namun, di sebagian lainnya justru merasa dirugikan dengan kondisi rupiah yang terus melemah.

Misalnya, meskipun ekspor diuntungkan rupiah yang melemah namun sebagian dari mereka masih mengandalkan bahan baku impor. Dengan demikian, pelemahan rupiah juga akan berdampak terhadap mereka.

"Kalau kursnya meningkat terus lama-lama biarpun yang eksportir akan kena dampaknya juga. Karena kan eksportir juga sebagian entah itu 10% atau 5% atau bahkan 90% bahan bakunya impor tetap akan kena juga imbasnya. Jadi memang (rupiah) tidak boleh naik terlalu," imbuh dia.

Disebutkannya, beberapa sektor usaha yang merugi akibat pelemahan kurs adalah industri farmasi dan industri elektronik. Pasalnya, 80% hingga 90% bahan baku yang mereka gunakan berasal dari impor.

"Yang dirugikan ya industri yang banyak menggunakan bahan baku impor. Yang banyak bahan baku impor itu kan industri farmasi. Rata-rata dia 80% sampai 90% bahan bakunya masih impor. Kemudian saya kira kalau industri makanan dan minuman lebih banyak lokal dan banyak ekspor. Jadi saya kira industri farmasi, kimia, kemudian induatri elektronika mungkin akan terkena dampak," tandasnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5777 seconds (0.1#10.140)