Sri Mulyani Yakinkan APBN Aman, Kredibel dan Sehat di 4 Tahun Jokowi
A
A
A
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa selama pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla tahun 2014-2018 kinerja neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dalam kondisi aman, kredibel dan sehat. Beberapa indikator yang disampaikan antara lain, defisit APBN yang terus menurun, defisit keseimbangan primer berhasil diturunkan mendekati Rp 0.
Ditambah penerimaan perpajakan meningkat drastis dan pertumbuhan pembiayaan utang juga semakin menurun. “Dalam masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, kondisi APBN aman, kredibel dan sehat,” tegas Menkeu Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (23/10/2018).
“Defisit APBN setiap tahun menurun. Dari tahun 2014 komoditas drop sehingga perekonomian mendapat tekanan. Waktu itu defisit APBN 2,3% dari GDP dan sekarang menuju 2,1% di tahun 2018. Bahkan outlook-nya untuk 2018 mungkin bisa mendekati 2%. 2019, untuk pertama kali kita akan mendesain di bawah 2% yaitu 1,8%,” paparnya.
Dari sisi defisit keseimbangan primer, Menkeu juga menjelaskan bahwa penurunan defisit APBN tersebut diikuti dengan penurunan defisit keseimbangan primer. Hal ini menunjukkan kemampuan membayar bunga utang dari sumber pendapatan negara (pajak dan penerimaan bukan pajak) meningkat.
“Sekarang ini keseimbangan primer sudah mendekati Rp 0. Itu artinya sudah mendekati balance. Ini adalah bukti yang sangat jelas bahwa kebijakan fiskal itu prudent. APBN yang sehat adalah karena penerimaan perpajakan kita meningkat,” tegasnya.
Pendapatan dari penerimaan pajak yang meningkat juga turut berkontribusi sebesar 81% terhadap kemandirian APBN, dimana utang hanya bersifat pelengkap atau suplemen.
"Kalau dilihat dari kontribusi 74% dari total pendapatan negara dikontribusikan dari sektor perpajakan. Tahun 2018, sudah meningkat menjadi 81%. Kita melihat APBN kita makin mengandalkan dari sektor perpajakan. Utang hanya suplemen. Bukan yang utama, penerimaan perpajakan kita yang menjadi backbone,” tambahnya.
Penerimaan perpajakan tersebut juga mengindikasikan komitmen Pemerintah untuk mendukung kemandirian APBN dan mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan utang yang juga terus menurun. Misalnya, tahun 2018 pembiayaan utang tumbuh negatif 9,7% dibandingkan tahun 2014 yang tumbuh positif 14,6%.
Kondisi tersebut diikuti pula dengan penurunan penerbitan SBN (netto) yang tumbuh negatif 12,2% di tahun 2018. Lebih rendah dari pertumbuhan penerbitan SBN (netto) tahun 2014 sebesar positif 17,8%.
Lebih lanjut, Menkeu menegaskan bahwa pembiayaan utang yang dilakukan selama Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dikelola secara prudent untuk sektor produktif seperti di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan dalam rangka mendukung pembangunan.
Ditambah penerimaan perpajakan meningkat drastis dan pertumbuhan pembiayaan utang juga semakin menurun. “Dalam masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, kondisi APBN aman, kredibel dan sehat,” tegas Menkeu Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (23/10/2018).
“Defisit APBN setiap tahun menurun. Dari tahun 2014 komoditas drop sehingga perekonomian mendapat tekanan. Waktu itu defisit APBN 2,3% dari GDP dan sekarang menuju 2,1% di tahun 2018. Bahkan outlook-nya untuk 2018 mungkin bisa mendekati 2%. 2019, untuk pertama kali kita akan mendesain di bawah 2% yaitu 1,8%,” paparnya.
Dari sisi defisit keseimbangan primer, Menkeu juga menjelaskan bahwa penurunan defisit APBN tersebut diikuti dengan penurunan defisit keseimbangan primer. Hal ini menunjukkan kemampuan membayar bunga utang dari sumber pendapatan negara (pajak dan penerimaan bukan pajak) meningkat.
“Sekarang ini keseimbangan primer sudah mendekati Rp 0. Itu artinya sudah mendekati balance. Ini adalah bukti yang sangat jelas bahwa kebijakan fiskal itu prudent. APBN yang sehat adalah karena penerimaan perpajakan kita meningkat,” tegasnya.
Pendapatan dari penerimaan pajak yang meningkat juga turut berkontribusi sebesar 81% terhadap kemandirian APBN, dimana utang hanya bersifat pelengkap atau suplemen.
"Kalau dilihat dari kontribusi 74% dari total pendapatan negara dikontribusikan dari sektor perpajakan. Tahun 2018, sudah meningkat menjadi 81%. Kita melihat APBN kita makin mengandalkan dari sektor perpajakan. Utang hanya suplemen. Bukan yang utama, penerimaan perpajakan kita yang menjadi backbone,” tambahnya.
Penerimaan perpajakan tersebut juga mengindikasikan komitmen Pemerintah untuk mendukung kemandirian APBN dan mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan utang yang juga terus menurun. Misalnya, tahun 2018 pembiayaan utang tumbuh negatif 9,7% dibandingkan tahun 2014 yang tumbuh positif 14,6%.
Kondisi tersebut diikuti pula dengan penurunan penerbitan SBN (netto) yang tumbuh negatif 12,2% di tahun 2018. Lebih rendah dari pertumbuhan penerbitan SBN (netto) tahun 2014 sebesar positif 17,8%.
Lebih lanjut, Menkeu menegaskan bahwa pembiayaan utang yang dilakukan selama Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dikelola secara prudent untuk sektor produktif seperti di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan dalam rangka mendukung pembangunan.
(akr)