Konsumen Properti Harus Paham Soal Hak dan Kewajiban
A
A
A
INDUSTRI properti tidak terlepas dari sengketa antara pengembang dan konsumen, yang berujung pada masalah hukum.
Maka dari itu, sebagai konsumen, Anda dituntut cerdas memahami hak dan kewajibannya apa saja. Persoalan-persoalan yang muncul dalam industri properti karena proses jual-beli yang terjadi harus melewati proses hukum yang kompleks.
Banyak dari proses tersebut akhirnya membuat pengembang tidak bisa melakukan serah terima barang sesuai perjanjian sehingga terancam pailit. Menurut Sudaryatmo, Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), salah satu hak dasar konsumen adalah hak untuk memperoleh informasi.
Ada beragam sumber informasi bagi konsumen ketika akan membeli produk properti, seperti iklan, promosi, dan pameran properti. Informasi standar dalam iklan atau promosi pada umumnya, lanjut dia, menyangkut lokasi, harga, tipe rumah, status tanah, fasilitas lingkungan, dan skema pembayaran.
“Di luar informasi di atas, hal yang jarang diperhatikan calon konsumen adalah aspek legal atau perizinan yang sudah dimiliki pengembang dari produk properti yang ditawarkan,” ujarnya, seperti dikutip dari situs ylki.or.id.
Dari regulasi yang ada, Sudaryatmo menyebutkan, pengaturan tentang iklan atau promosi produk properti masih sangat minim. Padahal, di sejumlah negara, dengan alasan untuk perlindungan konsumen, iklan atau promosi produk properti, diatur dan diawasi secara ketat.
“Sebagai contoh di negara tetangga Malaysia, iklan produk properti selain harus mencantumkan nomor licency pengembang dan nomor permit iklan dan jualan. Juga harus mencantumkan jangka waktu berlakunya permit tersebut, nomor rujukan dari Majlis Perbandaran (Departemen Perumahan), tanggal siap huni, dua tahun sejak tanggal perjanjian, status hak milik tanah, serta bebanan tanah, jika ada,” sebutnya.
Dia menuturkan, dari sebagian iklan atau promosi produk properti yang ada di Indonesia, informasi dasar tentang legalitas atau perizinan yang sudah dikuasai pengembang justru tidak ada. Padahal ini penting bagi konsumen.
Sebenarnya apa saja dokumen legal atau perizinan yang sudah dimiliki pengembang ketika memasarkan produk properti yang wajib diketahui calon konsumen? Setidaknya, jelas Sudaryatmo, ada empat informasi tentang dokumen hukum atau perizinan pengembang.
Pertama, nomor sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional. Ini untuk memastikan bahwa pengembang secara fisik dan legal sudah menguasai lokasi tanah yang akan dibangun perumahan. Lalu, Surat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dari Pemerintah Kota/Kabupaten setempat.
Dokumen ini untuk memastikan bahwa lokasi akan dibangunnya perumahan peruntukannya sudah sesuai dengan rencana umum tata ruang. Ketiga, izin mendirikan bangunan (IMB) dari pemerintah kota/kabupaten setempat. Dan terakhir, nomor keanggotaan pengembang dalam asosiasi perusahaan properti (REI).
“Dalam hal ada sengketa dengan pengembang, konsumen dapat meminta bantuan organisasi pengembang untuk melakukan mediasi,” katanya. Dalam hal pembayaran, terang dia, tindakan konsumen membayar lunas produk properti yang masih berupa gambar atau maket adalah sangat berisiko.
Secara umum, model skema pembayaran produk properti berhubungan dengan kondisi produk properti yang menjadi objek transaksi. Pertama, tunai keras dalam bentuk konsumen membayar lunas harga jual unit produk properti dengan cara dicicil dalam jangka waktu enam sampai 12 bulan. Skema ini cocok untuk produk properti dalam kondisi ready stock .
Kedua, melakukan pembayaran uang muka (down payment ) sebesar 20 persen dari harga jual, sisanya dicicil, baik oleh konsumen langsung maupun fasilitas pinjaman dari bank (kredit pemilikan rumah/apartemen) untuk kondisi produk properti yang masih indent.
Sudaryatmo mengatakan, untuk melindungi kepentingan konsumen dalam transaksi produk properti secara indent, sejumlah negara juga menerapkan skema pembayaran dalam bentuk adanya rekening penampung (ascrow account ). Dana yang sudah dibayarkan konsumen akan diterima pengembang, apabila unit produk properti yang dijanjikan sudah diserahterimakan.
“Dengan demikian, pembayaran yang dilakukan konsumen ketika unit belum jadi dibukukan sebagai piutang dan baru menjadi revenue ketika sudah terjadi serah terima unit produk properti,” katanya.
Managing Director Smart Property Consulting (SPC) Muhammad Joni menuturkan, dalam hubungan antara pengembang dan pembeli tidak terdapat utang tetapi kewajiban serah terima barang (unit properti). Karena itu, sengketa yang terjadi bukan diselesaikan dengan hukum kepailitan tetapi dengan undang-undang perlindungan konsumen.
“Jika pengembang gagal melakukan penyerahan unit atau lewat dari jangka waktu yang disepakati, maka yang ada adalah gagal serah dan bukan serta-merta jadi utang karena perjanjiannya masih hidup. Sementara, kalau pailit, itu terjadi kalau ada utang,” sebutnya.
Dia menambahkan, evaluasi konstruksi dalam relasi konsumen dan produsen ada dua, yaitu prestasi dan kontra prestasi. Prestasi artinya melakukan serah terima sesuai perjanjian. Dalam hukum Perlindungan Konsumen, barang yang gagal diserahkan sesuai perjanjian harus tetap diserahkan ke konsumen. Jika tetap gagal diserahkan, maka uang konsumen harus dikembalikan beserta dendanya.
“Jika tidak melakukan pembayaran juga, konsekuensinya adalah wanprestasi dan selanjutnya diputus kontraknya,” kata Joni. Menurut Joni, sengketa konsumen dan pengembang seharusnya lebih tepat diselesaikan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Oleh karena itu, dia menyarankan agar perbankan sebagai pemberi kredit kepada konsumen menambah klausul dalam perjanjian kredit bahwa jika terjadi sengketa, maka harus masuk ke forum BPSK, bukan lewat hukum kepailitan.
Maka dari itu, sebagai konsumen, Anda dituntut cerdas memahami hak dan kewajibannya apa saja. Persoalan-persoalan yang muncul dalam industri properti karena proses jual-beli yang terjadi harus melewati proses hukum yang kompleks.
Banyak dari proses tersebut akhirnya membuat pengembang tidak bisa melakukan serah terima barang sesuai perjanjian sehingga terancam pailit. Menurut Sudaryatmo, Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), salah satu hak dasar konsumen adalah hak untuk memperoleh informasi.
Ada beragam sumber informasi bagi konsumen ketika akan membeli produk properti, seperti iklan, promosi, dan pameran properti. Informasi standar dalam iklan atau promosi pada umumnya, lanjut dia, menyangkut lokasi, harga, tipe rumah, status tanah, fasilitas lingkungan, dan skema pembayaran.
“Di luar informasi di atas, hal yang jarang diperhatikan calon konsumen adalah aspek legal atau perizinan yang sudah dimiliki pengembang dari produk properti yang ditawarkan,” ujarnya, seperti dikutip dari situs ylki.or.id.
Dari regulasi yang ada, Sudaryatmo menyebutkan, pengaturan tentang iklan atau promosi produk properti masih sangat minim. Padahal, di sejumlah negara, dengan alasan untuk perlindungan konsumen, iklan atau promosi produk properti, diatur dan diawasi secara ketat.
“Sebagai contoh di negara tetangga Malaysia, iklan produk properti selain harus mencantumkan nomor licency pengembang dan nomor permit iklan dan jualan. Juga harus mencantumkan jangka waktu berlakunya permit tersebut, nomor rujukan dari Majlis Perbandaran (Departemen Perumahan), tanggal siap huni, dua tahun sejak tanggal perjanjian, status hak milik tanah, serta bebanan tanah, jika ada,” sebutnya.
Dia menuturkan, dari sebagian iklan atau promosi produk properti yang ada di Indonesia, informasi dasar tentang legalitas atau perizinan yang sudah dikuasai pengembang justru tidak ada. Padahal ini penting bagi konsumen.
Sebenarnya apa saja dokumen legal atau perizinan yang sudah dimiliki pengembang ketika memasarkan produk properti yang wajib diketahui calon konsumen? Setidaknya, jelas Sudaryatmo, ada empat informasi tentang dokumen hukum atau perizinan pengembang.
Pertama, nomor sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional. Ini untuk memastikan bahwa pengembang secara fisik dan legal sudah menguasai lokasi tanah yang akan dibangun perumahan. Lalu, Surat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dari Pemerintah Kota/Kabupaten setempat.
Dokumen ini untuk memastikan bahwa lokasi akan dibangunnya perumahan peruntukannya sudah sesuai dengan rencana umum tata ruang. Ketiga, izin mendirikan bangunan (IMB) dari pemerintah kota/kabupaten setempat. Dan terakhir, nomor keanggotaan pengembang dalam asosiasi perusahaan properti (REI).
“Dalam hal ada sengketa dengan pengembang, konsumen dapat meminta bantuan organisasi pengembang untuk melakukan mediasi,” katanya. Dalam hal pembayaran, terang dia, tindakan konsumen membayar lunas produk properti yang masih berupa gambar atau maket adalah sangat berisiko.
Secara umum, model skema pembayaran produk properti berhubungan dengan kondisi produk properti yang menjadi objek transaksi. Pertama, tunai keras dalam bentuk konsumen membayar lunas harga jual unit produk properti dengan cara dicicil dalam jangka waktu enam sampai 12 bulan. Skema ini cocok untuk produk properti dalam kondisi ready stock .
Kedua, melakukan pembayaran uang muka (down payment ) sebesar 20 persen dari harga jual, sisanya dicicil, baik oleh konsumen langsung maupun fasilitas pinjaman dari bank (kredit pemilikan rumah/apartemen) untuk kondisi produk properti yang masih indent.
Sudaryatmo mengatakan, untuk melindungi kepentingan konsumen dalam transaksi produk properti secara indent, sejumlah negara juga menerapkan skema pembayaran dalam bentuk adanya rekening penampung (ascrow account ). Dana yang sudah dibayarkan konsumen akan diterima pengembang, apabila unit produk properti yang dijanjikan sudah diserahterimakan.
“Dengan demikian, pembayaran yang dilakukan konsumen ketika unit belum jadi dibukukan sebagai piutang dan baru menjadi revenue ketika sudah terjadi serah terima unit produk properti,” katanya.
Managing Director Smart Property Consulting (SPC) Muhammad Joni menuturkan, dalam hubungan antara pengembang dan pembeli tidak terdapat utang tetapi kewajiban serah terima barang (unit properti). Karena itu, sengketa yang terjadi bukan diselesaikan dengan hukum kepailitan tetapi dengan undang-undang perlindungan konsumen.
“Jika pengembang gagal melakukan penyerahan unit atau lewat dari jangka waktu yang disepakati, maka yang ada adalah gagal serah dan bukan serta-merta jadi utang karena perjanjiannya masih hidup. Sementara, kalau pailit, itu terjadi kalau ada utang,” sebutnya.
Dia menambahkan, evaluasi konstruksi dalam relasi konsumen dan produsen ada dua, yaitu prestasi dan kontra prestasi. Prestasi artinya melakukan serah terima sesuai perjanjian. Dalam hukum Perlindungan Konsumen, barang yang gagal diserahkan sesuai perjanjian harus tetap diserahkan ke konsumen. Jika tetap gagal diserahkan, maka uang konsumen harus dikembalikan beserta dendanya.
“Jika tidak melakukan pembayaran juga, konsekuensinya adalah wanprestasi dan selanjutnya diputus kontraknya,” kata Joni. Menurut Joni, sengketa konsumen dan pengembang seharusnya lebih tepat diselesaikan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Oleh karena itu, dia menyarankan agar perbankan sebagai pemberi kredit kepada konsumen menambah klausul dalam perjanjian kredit bahwa jika terjadi sengketa, maka harus masuk ke forum BPSK, bukan lewat hukum kepailitan.
(don)