Paradigma Ekonomi Perlu Diperbarui untuk Lenyapkan Genderuwo Ekonomi

Minggu, 18 November 2018 - 09:30 WIB
Paradigma Ekonomi Perlu Diperbarui untuk Lenyapkan Genderuwo Ekonomi
Paradigma Ekonomi Perlu Diperbarui untuk Lenyapkan Genderuwo Ekonomi
A A A
JAKARTA - Ilustrasi genderuwo di bidang politik yang viral setelah dicetuskan Presiden Joko Widodo kini meluas hingga ke bidang ekonomi. Genderuwo di bidang ekonomi ini dialamatkan pada mafia-mafia bisnis yang merongrong pemegang kekuasaan, tidak terlihat, namun membuat rugi negara.

Ekonom dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni mengatakan, timbulnya isu genderuwo ekonomi meski rezim terus berganti adalah karena adanya persoalan fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia. Jika tidak ada perubahan paradigma dalam sistem pembangunan, kata dia, maka para pemburu rente ini akan tetap tumbuh subur bak jamur di musim hujan.

"Sebetulnya, kalau birokrasinya dibikin efisien, transparan dan profesional, maka keterbukaan informasi yang terjadi akan bisa meminimalisasi kelompok kepentingan pribadi itu. Karena, masyarakat akan memiliki akses yang sama," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu (18/11/2018).

Celakanya, kata ekonom yang banyak menghabiskan karir keuangan Islamnya di Kantor Pusat Islamic Development Bank (IDB) di Jeddah, Arab Saudi tersebut, cengkraman kelompok-kelompok kepentingan pribadi (vested interest) ini terhadap akses ekonomi hanya melahirkan kesenjangan sosial yang semakin dalam.Farouk mengutip studi Credit Suisse tahun 2016 yang menyebutkan Indonesia adalah negara terburuk keempat dalam hal ketimpangan ekonomi. Lembaga internasional OXFAM juga memperingatkan, ketimpangan ekonomi di Indonesia sangat darurat. Dalam laporannya tahun 2016, OXFAM menyebutkan total harta empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar USD25 miliar setara dengan gabungan kekayaan sekitar 100 juta orang atau 40% dari total penghasilan masyarakat terbawah (the bottom 40 percent).

Menurut laporan yang sama, pada 2016, 1% orang terkaya ini memiliki 49% atau hampir setengah dari total kekayaan populasi di Tanah Air. "Jumlah uang yang diperoleh kelompok ini setiap tahun cukup untuk mengeluarkan lebih dari 20 juta warga dari jurang kemiskinan," tuturnya.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2018, angka kemiskinan Indonesia adalah 9,82% dari populasi atau sebanyak 25,95 juta orang. Angka itu menurun jika dibanding September 2017, yaitu 26,58 juta orang (10,12%). Untuk bulan Maret 2018, angka rata-rata garis kemiskinan adalah Rp401.220 per kapita per bulan, lebih tinggi dibanding semester I/2017 yang berjumlah Rp361.496 dan Rp370.910 pada semester II/2017.

Tapi, imbuh dia, jika menggunakan indikator Bank Dunia dalam menentukan batas kemiskinan, yaitu pendapatan sebesar USD2 per hari per orang, maka penduduk miskin Indonesia masih sangat tinggi, yakni diperkirakan mencapai 47% atau 120 juta jiwa dari total populasi.

Batasan garis kemiskinan yang diterapkan Indonesia menurutnya terlalu rendah, karena orang kota dengan penghasilan Rp500.000-an per bulan sudah dianggap tidak miskin. Padahal, penghasilan itu bahkan belum tentu cukup untuk kebutuhan dasar.

"Jadi siapapun presidennya nanti akan menghadapi masalah ketimpangan sosial dan kemiskinan ini. Masalah ini bisa diatasi jika ada keadilan ekonomi yang merata. Dengan keadilan ekonomi, maka negara akan lebih kuat tidak mudah terdampak isu ekonomi global," kata Farouk yang juga menjabat sebagai Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) ini.

Karena itu, kata calon anggota DPR Dapil DKI Jakarta 2 dari PKS ini, pemerintahan ke depan harus mampu melakukan reformasi birokrasi agar apa yang disebut sebagai genderuwo di ruang politik kekuasaan, ekonomi dan penegakan hukum tidak lagi menakutkan bagi bangsa Indonesia.

"Di sisi lain, jika tidak ada perubahan paradigma pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, maka Indonesia akan sulit keluar dari statusnya sebagai negara dunia ketiga," tandasnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5295 seconds (0.1#10.140)