Produksi Melimpah Tekan Harga Cabai-Bawang, Atur Pola Tanam Jadi Kunci
A
A
A
BOGOR - Fenomena melimpahnya produksi bawang merah dan cabai yang berimbas turunnya harga di petani beberapa bulan terakhir mendorong Kementerian Pertanian (Kementan) bergerak cepat. Bertempat di Hotel Lorin, Sentul Bogor, Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian mengumpulkan perwakilan seluruh Dinas Pertanian Provinsi se Indonesia untuk mengevaluasi pola tanam tahun 2018 sekaligus menata kembali target tanam aneka cabai dan bawang tahun 2019 di wilayah masing-masing.
"Satu sisi kita bersyukur pasokan bawang dan cabai melimpah. Namun di sisi lain kita juga harus terus mencari cara agar harga pada tingkat petani tetap menguntungkan. Kalau mau jujur, urusan cabai dan bawang merah dari sisi pasokan udah nyaris selesai. Kita tinggal jaga stabilitasnya," demikian disampaikan Direktur Jenderal Hortikultura, Suwandi di Bogor.
Sambung dia menerangkan, penataan pola tanam berbasis kebutuhan menurutnya menjadi kunci. Terang dia, masing-masing dinas harus concern dan tahu berapa sesungguhnya kebutuhan bawang dan cabai di daerahnya agar bisa dipetakan kebutuhan tanamnya.
“Trend stabilnya harga cabai dan bawang dua tahun terakhir, tak lepas dari keberhasilan kita semua dalam menjaga produksi, tumbuhnya sentra-sentra baru, didukung inflasi umum maupun bahan makanan yang rendah. Buktinya masyarakat makin mampu membeli kebutuhan, petani juga happy, middle man semakin berkurang, margin juga semakin baik,” ungkap Wandi senang.
Sementara itu, ungkapnya tingkat kemiskinan di pedesaan turun tajam ketika saat ini makin banyak petani pakai motor dan mobil bagus di daerah sentra cabe dan bawang. Dalam kesempatan yang sama, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Prihasto Setyanto memaparkan, metode pengaturan pola tanam berbasis kebutuhan.
"Semangat stabilisasi pasokan dan harga adalah bagaimana mengamankan semangat petani bawang dan cabai agar bisa terus menanam dan memperoleh keuntungan dari usaha tani yang digelutinya. Tentu ini harus diatur. Caranya dengan menyeimbangkan antara kebutuhan konsumsi dengan produksinya," ujar pria yang akrab dipanggil Anton tersebut.
Produksi yang berlebihan, ungkapnya justru akan memukul balik petani karena harga jatuh. Sehingga bakal membuat petani tidak semangat untuk menanam lagi. Dengan prinsip produksi berbasis kebutuhan (production based on need), maka luas tanam perlu dirancang sesuai dengan kebutuhan yang meliputi konsumsi langsung, hotel restoran katering, industri, benih, ekspor dan angka susutnya.
“Metode ini lebih realistis dibanding memaksakan tanam di sentra-sentra tertentu. Selain itu juga dapat memetakan dengan lebih gamblang daerah mana saja yang masih mengalami kekurangan (shortage) sehingga perlu ditambah areal tanamnya. Untuk daerah sentra yang surplus harus diperjelas peta distribusinya," terang Anton.
Ia menjelaskan, bahwa metode baru ini perlu didukung oleh asumsi-asumsi yang akurat dengan rujukan yang jelas sumbernya. "Syukur apabila ada yang spesifik lokasi", tambahnya. "Apabila masing-masing Provinsi atau Kabupaten punya angka kebutuhan perkapita, kebutuhan horeka, industri yang spesifik lokasi, tentu perhitungan luas tanam berdasarkan kebutuhan daerah akan lebih akurat atau mendekati kebutuhan riil di kabupaten atau propinsi" terangnya
Anton menambahkan bahwa pada tahun 2019 luas panen nasional untuk Cabai Besar ditargetkan 113.551 Ha, Cabai Rawit 103.169 Ha, Bawang Merah 157.330 Ha, Kentang 73.651 Ha dan Wortel 27.047 Ha.Target nasional itu kemudian dirinci ke tingkat Propinsi sampai dengan Kabupaten. Target tersebut akan “dibebankan” ke masing-masing wilayah dengan disesuaikan dengan kebutuhan lokal, pola tanam, jalur distribusi yang telah ada, SDM petani, dan potensi wilayah yang ada.
“Terkait alokasi bantuan APBN, Ditjen Hortikultura akan memprioritaskan dukungan ke daerah-daerah yang masih minus produksinya. Contohnya untuk Cabai besar di fokus ke wilayah Sumatera, Sulawesi, Bali Nusa dan Maluku Papua untuk cabai besar. Cabai rawit di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku Papua. Sementara bawang merah meliputi Sumatera, Kalimantan, dan Maluku Papua. Wilayah lain yamg sudah surplus tinggal kita dukung kelancaran distribusinya” terang Anton merinci.
"Satu sisi kita bersyukur pasokan bawang dan cabai melimpah. Namun di sisi lain kita juga harus terus mencari cara agar harga pada tingkat petani tetap menguntungkan. Kalau mau jujur, urusan cabai dan bawang merah dari sisi pasokan udah nyaris selesai. Kita tinggal jaga stabilitasnya," demikian disampaikan Direktur Jenderal Hortikultura, Suwandi di Bogor.
Sambung dia menerangkan, penataan pola tanam berbasis kebutuhan menurutnya menjadi kunci. Terang dia, masing-masing dinas harus concern dan tahu berapa sesungguhnya kebutuhan bawang dan cabai di daerahnya agar bisa dipetakan kebutuhan tanamnya.
“Trend stabilnya harga cabai dan bawang dua tahun terakhir, tak lepas dari keberhasilan kita semua dalam menjaga produksi, tumbuhnya sentra-sentra baru, didukung inflasi umum maupun bahan makanan yang rendah. Buktinya masyarakat makin mampu membeli kebutuhan, petani juga happy, middle man semakin berkurang, margin juga semakin baik,” ungkap Wandi senang.
Sementara itu, ungkapnya tingkat kemiskinan di pedesaan turun tajam ketika saat ini makin banyak petani pakai motor dan mobil bagus di daerah sentra cabe dan bawang. Dalam kesempatan yang sama, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Prihasto Setyanto memaparkan, metode pengaturan pola tanam berbasis kebutuhan.
"Semangat stabilisasi pasokan dan harga adalah bagaimana mengamankan semangat petani bawang dan cabai agar bisa terus menanam dan memperoleh keuntungan dari usaha tani yang digelutinya. Tentu ini harus diatur. Caranya dengan menyeimbangkan antara kebutuhan konsumsi dengan produksinya," ujar pria yang akrab dipanggil Anton tersebut.
Produksi yang berlebihan, ungkapnya justru akan memukul balik petani karena harga jatuh. Sehingga bakal membuat petani tidak semangat untuk menanam lagi. Dengan prinsip produksi berbasis kebutuhan (production based on need), maka luas tanam perlu dirancang sesuai dengan kebutuhan yang meliputi konsumsi langsung, hotel restoran katering, industri, benih, ekspor dan angka susutnya.
“Metode ini lebih realistis dibanding memaksakan tanam di sentra-sentra tertentu. Selain itu juga dapat memetakan dengan lebih gamblang daerah mana saja yang masih mengalami kekurangan (shortage) sehingga perlu ditambah areal tanamnya. Untuk daerah sentra yang surplus harus diperjelas peta distribusinya," terang Anton.
Ia menjelaskan, bahwa metode baru ini perlu didukung oleh asumsi-asumsi yang akurat dengan rujukan yang jelas sumbernya. "Syukur apabila ada yang spesifik lokasi", tambahnya. "Apabila masing-masing Provinsi atau Kabupaten punya angka kebutuhan perkapita, kebutuhan horeka, industri yang spesifik lokasi, tentu perhitungan luas tanam berdasarkan kebutuhan daerah akan lebih akurat atau mendekati kebutuhan riil di kabupaten atau propinsi" terangnya
Anton menambahkan bahwa pada tahun 2019 luas panen nasional untuk Cabai Besar ditargetkan 113.551 Ha, Cabai Rawit 103.169 Ha, Bawang Merah 157.330 Ha, Kentang 73.651 Ha dan Wortel 27.047 Ha.Target nasional itu kemudian dirinci ke tingkat Propinsi sampai dengan Kabupaten. Target tersebut akan “dibebankan” ke masing-masing wilayah dengan disesuaikan dengan kebutuhan lokal, pola tanam, jalur distribusi yang telah ada, SDM petani, dan potensi wilayah yang ada.
“Terkait alokasi bantuan APBN, Ditjen Hortikultura akan memprioritaskan dukungan ke daerah-daerah yang masih minus produksinya. Contohnya untuk Cabai besar di fokus ke wilayah Sumatera, Sulawesi, Bali Nusa dan Maluku Papua untuk cabai besar. Cabai rawit di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku Papua. Sementara bawang merah meliputi Sumatera, Kalimantan, dan Maluku Papua. Wilayah lain yamg sudah surplus tinggal kita dukung kelancaran distribusinya” terang Anton merinci.
(akr)