Properti Hadapi Tantangan Berat
A
A
A
JAKARTA - Industri properti tahun depan menghadapi tantangan berat. Hal ini karena dipengaruhi kondisi ekonomi secara umum baik di dalam negeri maupun global.
Dari dalam negeri, industri properti terimbasi oleh suku bunga acuan yang cenderung meningkat, fluktuasi nilai tukar rupiah serta beratnya likuiditas. Adapun dari lingkup global, faktor yang memengaruhi di antaranya dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China dan kebijakan moneter di AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan, tahun depan perekonomian secara umum masih mengalami kondisi ketidakpastian. Menurutnya, masih banyak dinamika yang dihadapi sehingga harus diwaspadai.
“Menjelang tutup tahun 2018 dan 2019, banyak peringatan yang harus kita waspadai bersama,” kata Sri Mulyani dalam acara Property Outlook 2019 di Jakarta kemarin.
Beratnya tantangan di industri properti terlihat dari data Bank Indonesia (BI) yang dirilis beberapa waktu lalu. Menurut BI, pada September lalu kredit properti perbankan tumbuh melambat yakni hanya 14,8% secara year on year (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 15,5% yoy. Sedangkan khusus untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) pada bulan yang sama juga melambat dari sebelumnya tumbuh 14,5% menjadi hanya 13,9% yoy.
Dari sisi penjualan, data BI juga menunjukkan bahwa pada periode kuartal III/2018 penjualan properti residensial mengalami penurunan 14,14% dibanding kuartal sebelumnya (quarter to quarter/qtq). Penurunan ini lebih dalam dibanding kuartal sebelumnya yang hanya 0–08%.
"Penurunan penjualan properti residensial terjadi pada semua tipe rumah, terutama disebabkan oleh menurunnya permintaan konsumen, terbatasnya penawaran perumahan dari pengembang, dan tingginya suku bunga KPR," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman beberapa waktu lalu.
Terkait kondisi ekonomi global, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah melihat bahwa kebijakan ekonomi di AS akan menimbulkan dampak yang luas di dunia. Salah satunya adalah akibat kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS (The Fed) yang akan diimplementasikan akhir bulan ini.
“Jadi, sektor properti sangat terpengaruh oleh kebijakan makro ekonomi, karena itu harus diwaspadai di tahun depan, karena di 2018, tidak mudah mengenai nilai tukar rupiah, suku bunga yang meningkat dan likuiditas di tingkat global yang cukup ketat," ucapnya.
Lebih lanjut Sri Mulyani mengatakan, sejumlah lembaga internasional memproyeksi tren perekonomian global di 2019 memang akan mengalami perlambatan. Salah satunya Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global di 2018 dan 2019, menjadi 3,7% dari yang sebelumnya 3,9%.
Begitu juga dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global bakal mengalami perlambatan pada 2019 dan 2020. OECD memperkirakan ekonomi dunia tahun depan dan 2020, hanya akan tumbuh masing-masing sebesar 3,5%.
“Di pertemuan OECD di Argentina G-20 Meeting The Leaders, mereka mengatakan bahwa sudah merevisi outlook dari 2019, revisi outlook 2019 dari 3,9% ke 3,5%. IMF pun demikian. Risiko penurunan target pertumbuhan mulai terjadi dan kemungkinan mengancam ekonomi,” terangnya.
Dengan kenaikan suku bunga The Fed, ujar dia, jumlah peredaran dolar AS akan semakin mengetat. Dampaknya bisa berpengaruh terhadap nilai tukar mata uang rupiah. Pengetatan likuiditas juga secara tidak langsung akan memengaruhi sektor properti.
Guna mengantisipasi hal tersebut, pemerintah berencana untuk memberikan relaksasi perpajakan kepada sektor properti, sehingga diharapkan sektor properti bisa tumbuh cepat dan tinggi dalam menghadapi 2019.
Sri Mulyani mengakui, perpajakan merupakan salah satu permasalahan di sektor properti. Bahkan, beberapa pengembang sering mengeluhkan masalah perpajakan di sektor properti yang terlalu menumpuk.
"Semua rezim perpajakan akan sangat menentukan sektor properti akan meningkat atau tidak. Kementerian Keuangan sangat sadar itu," ujarnya.
Menurut mantan managing director Bank Dunia itu, salah satu yang akan dievaluasi adalah Pajak Penjualan atas barang mewah (PPnBM). Saat ini pemerintah terus melakukan diskusi dengan para pelaku usaha properti dan jasa konstruksi lainnya.
"Seperti yang sudah saya sampaikan, kami ketemu Kadin dari sektor konstruksi dan properti untuk masukan mengenai kebijakan bidang perpajakan, diharapkan bisa meningkatkan dari kegiatan di sektor properti. Kita akan evaluasi mengenai PPnBM untuk properti," jelasnya.
Meski demikian, untuk menghapus PPnBM sektor properti bisa tidak sembarangan. Pemerintah harus tetap mempertimbangkan manfaat dan pengaruhnya terhadap perekonomian negara.
"Namun pada saat yang sama, kita juga harus evaluasi dari sisi pengaruh kepada kegiatan ekonomi ke sektor atau komoditas yang dikenakan PPnBM ini," ucapnya. Dia berharap apabila PPnBM dihapuskan maka bisa mendongkrak sektor properti.
Sekretaris Jenderal Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, beragamnya tantangan industri properti tahun depan harus diantisipasi secara cermat oleh para pemangku kepentingan di dalam negeri.
Menurut dia, adanya beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendorong sektor properti, di antaranya dengan memperlonggar kebijakan atau relaksasi.
“Bisa memberikan subsidi kepada pengembang, misalnya untuk lahan yang digarap khususnya bagi kelas menengah. Kenapa lahan? Karena lahan ini adalah persoalan sulit karena harganya sangat tinggi sekali,” ujarnya. Opsi lain, kata dia, bisa juga memanfaatkan land bank milik pemerintah untuk kemudian dikelola oleh pengembang.
Relaksasi kebijakan juga diperlukan untuk konsumen dalam hal kemudahan mendapatkan rumah. Menurut Paulus, ada banyak hal yang menjadi program pemerintah terutama mengatasi backlog perumahan yang saat ini masih di angka 11,4 juta unit.
“Misalnya rumah subsidi yang diberikan kepada kalangan pengawas pemerintah dan aparatur sipil negara, termasuk TNI-Polri. Program ini sudah ada tinggal terus diberdayakan kalau perlu meluas kepada masyarakat sipil biasa atau kalangan swasta,” ucap dia.
Sementara itu, pengamat properti Anton Sitorus mengakui dalam dua tiga tahun terakhir sektor properti di Tanah Air mengalami stagnasi. Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan pasar properti melemah di antaranya karena faktor harga yang relatif tinggi.
“Ini kembali ke pengembang, berani atau tidak menawarkan harga yang terjangkau,” kata Anton.
Dia tidak memungkiri, harga tanah di Indonesia terus mengalami kenaikan. Hal tersebut yang menyebabkan pengembang menjual harga properti yang cukup mahal. Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga mempengaruhi harga bahan bangunan. Faktor lainnya, yakni kenaikan suku bunga bank yang menyebabkan pembeli berkurang. (Heru Febrianto/Ichsan Amin)
Dari dalam negeri, industri properti terimbasi oleh suku bunga acuan yang cenderung meningkat, fluktuasi nilai tukar rupiah serta beratnya likuiditas. Adapun dari lingkup global, faktor yang memengaruhi di antaranya dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China dan kebijakan moneter di AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan, tahun depan perekonomian secara umum masih mengalami kondisi ketidakpastian. Menurutnya, masih banyak dinamika yang dihadapi sehingga harus diwaspadai.
“Menjelang tutup tahun 2018 dan 2019, banyak peringatan yang harus kita waspadai bersama,” kata Sri Mulyani dalam acara Property Outlook 2019 di Jakarta kemarin.
Beratnya tantangan di industri properti terlihat dari data Bank Indonesia (BI) yang dirilis beberapa waktu lalu. Menurut BI, pada September lalu kredit properti perbankan tumbuh melambat yakni hanya 14,8% secara year on year (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 15,5% yoy. Sedangkan khusus untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) pada bulan yang sama juga melambat dari sebelumnya tumbuh 14,5% menjadi hanya 13,9% yoy.
Dari sisi penjualan, data BI juga menunjukkan bahwa pada periode kuartal III/2018 penjualan properti residensial mengalami penurunan 14,14% dibanding kuartal sebelumnya (quarter to quarter/qtq). Penurunan ini lebih dalam dibanding kuartal sebelumnya yang hanya 0–08%.
"Penurunan penjualan properti residensial terjadi pada semua tipe rumah, terutama disebabkan oleh menurunnya permintaan konsumen, terbatasnya penawaran perumahan dari pengembang, dan tingginya suku bunga KPR," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman beberapa waktu lalu.
Terkait kondisi ekonomi global, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah melihat bahwa kebijakan ekonomi di AS akan menimbulkan dampak yang luas di dunia. Salah satunya adalah akibat kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS (The Fed) yang akan diimplementasikan akhir bulan ini.
“Jadi, sektor properti sangat terpengaruh oleh kebijakan makro ekonomi, karena itu harus diwaspadai di tahun depan, karena di 2018, tidak mudah mengenai nilai tukar rupiah, suku bunga yang meningkat dan likuiditas di tingkat global yang cukup ketat," ucapnya.
Lebih lanjut Sri Mulyani mengatakan, sejumlah lembaga internasional memproyeksi tren perekonomian global di 2019 memang akan mengalami perlambatan. Salah satunya Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global di 2018 dan 2019, menjadi 3,7% dari yang sebelumnya 3,9%.
Begitu juga dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global bakal mengalami perlambatan pada 2019 dan 2020. OECD memperkirakan ekonomi dunia tahun depan dan 2020, hanya akan tumbuh masing-masing sebesar 3,5%.
“Di pertemuan OECD di Argentina G-20 Meeting The Leaders, mereka mengatakan bahwa sudah merevisi outlook dari 2019, revisi outlook 2019 dari 3,9% ke 3,5%. IMF pun demikian. Risiko penurunan target pertumbuhan mulai terjadi dan kemungkinan mengancam ekonomi,” terangnya.
Dengan kenaikan suku bunga The Fed, ujar dia, jumlah peredaran dolar AS akan semakin mengetat. Dampaknya bisa berpengaruh terhadap nilai tukar mata uang rupiah. Pengetatan likuiditas juga secara tidak langsung akan memengaruhi sektor properti.
Guna mengantisipasi hal tersebut, pemerintah berencana untuk memberikan relaksasi perpajakan kepada sektor properti, sehingga diharapkan sektor properti bisa tumbuh cepat dan tinggi dalam menghadapi 2019.
Sri Mulyani mengakui, perpajakan merupakan salah satu permasalahan di sektor properti. Bahkan, beberapa pengembang sering mengeluhkan masalah perpajakan di sektor properti yang terlalu menumpuk.
"Semua rezim perpajakan akan sangat menentukan sektor properti akan meningkat atau tidak. Kementerian Keuangan sangat sadar itu," ujarnya.
Menurut mantan managing director Bank Dunia itu, salah satu yang akan dievaluasi adalah Pajak Penjualan atas barang mewah (PPnBM). Saat ini pemerintah terus melakukan diskusi dengan para pelaku usaha properti dan jasa konstruksi lainnya.
"Seperti yang sudah saya sampaikan, kami ketemu Kadin dari sektor konstruksi dan properti untuk masukan mengenai kebijakan bidang perpajakan, diharapkan bisa meningkatkan dari kegiatan di sektor properti. Kita akan evaluasi mengenai PPnBM untuk properti," jelasnya.
Meski demikian, untuk menghapus PPnBM sektor properti bisa tidak sembarangan. Pemerintah harus tetap mempertimbangkan manfaat dan pengaruhnya terhadap perekonomian negara.
"Namun pada saat yang sama, kita juga harus evaluasi dari sisi pengaruh kepada kegiatan ekonomi ke sektor atau komoditas yang dikenakan PPnBM ini," ucapnya. Dia berharap apabila PPnBM dihapuskan maka bisa mendongkrak sektor properti.
Sekretaris Jenderal Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, beragamnya tantangan industri properti tahun depan harus diantisipasi secara cermat oleh para pemangku kepentingan di dalam negeri.
Menurut dia, adanya beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendorong sektor properti, di antaranya dengan memperlonggar kebijakan atau relaksasi.
“Bisa memberikan subsidi kepada pengembang, misalnya untuk lahan yang digarap khususnya bagi kelas menengah. Kenapa lahan? Karena lahan ini adalah persoalan sulit karena harganya sangat tinggi sekali,” ujarnya. Opsi lain, kata dia, bisa juga memanfaatkan land bank milik pemerintah untuk kemudian dikelola oleh pengembang.
Relaksasi kebijakan juga diperlukan untuk konsumen dalam hal kemudahan mendapatkan rumah. Menurut Paulus, ada banyak hal yang menjadi program pemerintah terutama mengatasi backlog perumahan yang saat ini masih di angka 11,4 juta unit.
“Misalnya rumah subsidi yang diberikan kepada kalangan pengawas pemerintah dan aparatur sipil negara, termasuk TNI-Polri. Program ini sudah ada tinggal terus diberdayakan kalau perlu meluas kepada masyarakat sipil biasa atau kalangan swasta,” ucap dia.
Sementara itu, pengamat properti Anton Sitorus mengakui dalam dua tiga tahun terakhir sektor properti di Tanah Air mengalami stagnasi. Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan pasar properti melemah di antaranya karena faktor harga yang relatif tinggi.
“Ini kembali ke pengembang, berani atau tidak menawarkan harga yang terjangkau,” kata Anton.
Dia tidak memungkiri, harga tanah di Indonesia terus mengalami kenaikan. Hal tersebut yang menyebabkan pengembang menjual harga properti yang cukup mahal. Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga mempengaruhi harga bahan bangunan. Faktor lainnya, yakni kenaikan suku bunga bank yang menyebabkan pembeli berkurang. (Heru Febrianto/Ichsan Amin)
(nfl)