KSPI Sebut Ada 4 Gelombang PHK Besar-besaran Sejak 2015
A
A
A
JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebutkan bahwa telah terjadi empat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran sejak 2015.
Ketua Umum KSPI Said Iqbal mengatakan, gelombang pertama terjadi pada 2015 dimana ada 50.000 pekerja di sektor garmen, tekstil, makanan dan minuman yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Hal ini menurutnya tidak terpublikasi secara luas.
"Misal PT Jabal Garmindo di Tangerang PHK hampir 5.000-an orang. Itu tidak diekspose. Bagaimana mungkin ada PHK besar-besaran itu kemudian tidak dicatat sebagai penyediaan lapangan kerja yang tidak sesuai harapan," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (26/12/2018).
Gelombang PHK kedua, sambung Iqbal, terjadi pada periode Januari hingga April 2016 yang menimpa industri elektronik, automotif, keramik dan komponennya. Hal ini terjadi akibat harga gas yang tidak kompetitif.
"Catatan kami ratusan ribu. Ini di 2016 yaitu Januari hingga April, 100.000 buruh ter-PHK di industri automotif, elektronik dan komponen. Antara lain Panasonic di Bekasi, Bogor, dan Pasuruan. Tiga perusahaan panasonic tutup. Dan itu ribuan karyawan ter-PHK. Kemudian PT Toshiba. Di Bekasi ditutup. Kemudian pengurangan karyawan besar-besaran di Yamaha Motor, Astra Honda Motor, itu pun terjadi PHK besar-besaran. Dan pabrik mobil Ford itupun melakukan penutupan perusahaan," terangnya.
Kemudian, gelombang PHK ketiga terjadi pada periode 2016 hingga 2017 di industri ritel, industri keramik, industri pertambangan dan industri farmasi kesehatan. Salah satu yang paling terlihat adalah PHK yang dilakukan oleh industri ritel Seven Eleven karena kebangkrutan perusahaan tersebut.
Selanjutnya, gelombang PHK keempat terjadi pada tahun ini dimana Krakatau Steel di Cilegon melakukan PHK terhadap karyawan kontraknya. Hal ini juga akibat masuknya pabrik baja dari China yang memukul industri baja dalam negeri.
"Gelombang selanjutnya tidak menutup kemungkinan di 2019 akan berlanjut. Terutama di industri baja, semen, industri pertambangan, elektronik dan komponennya, automotif roda dua yang turun target penjualannya, dan yang terpukul adalah industri labour intensive seperti garmen, ritel, dan sepatu. Jadi pemerintah ini jangan main-main, ini ancaman buat kita," tandasnya.
Ketua Umum KSPI Said Iqbal mengatakan, gelombang pertama terjadi pada 2015 dimana ada 50.000 pekerja di sektor garmen, tekstil, makanan dan minuman yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Hal ini menurutnya tidak terpublikasi secara luas.
"Misal PT Jabal Garmindo di Tangerang PHK hampir 5.000-an orang. Itu tidak diekspose. Bagaimana mungkin ada PHK besar-besaran itu kemudian tidak dicatat sebagai penyediaan lapangan kerja yang tidak sesuai harapan," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (26/12/2018).
Gelombang PHK kedua, sambung Iqbal, terjadi pada periode Januari hingga April 2016 yang menimpa industri elektronik, automotif, keramik dan komponennya. Hal ini terjadi akibat harga gas yang tidak kompetitif.
"Catatan kami ratusan ribu. Ini di 2016 yaitu Januari hingga April, 100.000 buruh ter-PHK di industri automotif, elektronik dan komponen. Antara lain Panasonic di Bekasi, Bogor, dan Pasuruan. Tiga perusahaan panasonic tutup. Dan itu ribuan karyawan ter-PHK. Kemudian PT Toshiba. Di Bekasi ditutup. Kemudian pengurangan karyawan besar-besaran di Yamaha Motor, Astra Honda Motor, itu pun terjadi PHK besar-besaran. Dan pabrik mobil Ford itupun melakukan penutupan perusahaan," terangnya.
Kemudian, gelombang PHK ketiga terjadi pada periode 2016 hingga 2017 di industri ritel, industri keramik, industri pertambangan dan industri farmasi kesehatan. Salah satu yang paling terlihat adalah PHK yang dilakukan oleh industri ritel Seven Eleven karena kebangkrutan perusahaan tersebut.
Selanjutnya, gelombang PHK keempat terjadi pada tahun ini dimana Krakatau Steel di Cilegon melakukan PHK terhadap karyawan kontraknya. Hal ini juga akibat masuknya pabrik baja dari China yang memukul industri baja dalam negeri.
"Gelombang selanjutnya tidak menutup kemungkinan di 2019 akan berlanjut. Terutama di industri baja, semen, industri pertambangan, elektronik dan komponennya, automotif roda dua yang turun target penjualannya, dan yang terpukul adalah industri labour intensive seperti garmen, ritel, dan sepatu. Jadi pemerintah ini jangan main-main, ini ancaman buat kita," tandasnya.
(fjo)