Manfaat Divestasi Freeport Bagi Indonesia
A
A
A
SUDIRMAN Said, bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tiba-tiba menyatakan, divestasi saham Freeport Indonesia oleh Inalum akan merugikan negara. Sudirman adalah bekas menteri yang gagal dalam tugasnya mengambil saham Freeport pada periode 2014-2015. Kini, setelah menjadi pendukung calon presiden oposisi, Sudirman mengatakan jika keberhasilan merebut saham Freeport hanya menguntungkan pihak Amerika Serikat.
Sudirman seharusnya membaca lebih detail, dan jujur mengakui, proses divestasi saham FI adalah hasil terbaik yang bisa diperoleh Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara, PT Indonesia Asahan Alumina (Inalum) resmi mengontrol mayoritas (51,23%) saham perusahaan yang menambang tembaga dan emas di Grasberg, Papua, PT Freeport Indonesia. Ini ditandai dengan tuntasnya pembayaran divestasi Freeport senilai USD3,85 miliar oleh holding BUMN tambang, Inalum, pada tanggal 21 Desember 2018.
Pemerintah kemudian menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan catatan, perpanjangan kontrak sampai tahun 2041, wajib membangun smelter tembaga dan jaminan kepastian fiskal dan investasi bagi Freeport. Perpanjangan kontrak sampai tahun 2041 masuk akal, karena Inalum masih membutuhkan Freeport mengolah tambang underground yang berteknologi dan infrastruktur canggih. Perpanjangan kontrak penting, karena Freeport akan mengeluarkan dana senilai USD17 miliar untuk pembangunan tambang underground dan pembangunan smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur senilai USD2,3 miliar.
Tambang underground di Grasberg dengan metode block caving menurut para geolog memang sangat berisiko tinggi dan membutuhkan investasi besar. Banyak geolog kelas dunia mengatakan, tambang underground di Grasberg tak boleh berhenti. Sekali berhenti, akan meningkatkan tegangan dan mengakibatkan runtuhnya terowongan. Itulah mengapa Freeport di tambang underground membangun terowongan bawah tanah sampai ribuan kilometer. Jika proses tambang underground terhenti, akan mengalami kerugian mencapai USD5-10 miliar.
Meskipun demikian, pihak-pihak yang beropisisi dengan pemerintah mengatakan, mengapa divestasi saham Freeport tak menunggu tahun 2021? Menurut mereka di tahun itu, Kontrak Karya Freeport berakhir dan tambang dikembalikan ke negara dengan harga gratis. Dengan kata lain, Inalum tak perlu membayar USD3,85 miliar untuk membeli saham Freeport.
Benarkah? Saya akan menjawab pertanyaan ini dalam tiga lapis, yaitu, politik kekuasaan, sejarah Kontrak Karya, dan soal ekonomi.
Pertama, politik kekuasaan. Orang-orang dalam pemerintahan mengatakan, jika bukan Jokowi presidennya, belum tentu divestasi Freeport bisa tuntas. Pejabat-pejabat yang terlibat dalam renegosiasi mendapat dukungan politik penuh dari Presiden. Tanpa itu, divestasi Freeport mustahil berjalan. Jika menunggu tahun 2021, kita tak tahu siapa yang akan memimpin negeri ini setelah tahun 2019. Rezim beda, perlakuan terhadap Freeport pasti berbeda. Belum tentu rezim setelah Jokowi mampu menuntaskan proses divestasi Freeport.
Kedua, sejarah Kontrak Karya. Debat seputar divestasi Freeport tanpa memahami KK adalah debat kosong. Pihak yang beroposisi dengan pemerintah Jokowi membangun opini dengan logika yang lepas dari konteks sejarah KK Freeport. Bagi mereka, untuk apa Inalum membayar Rp54 triliun untuk mendapat saham Freeport.
Sementara jika KK Freeport berakhir tahun 2021, pemerintah akan mendapat konsensi tambang Grasberg dengan zero price, karena setiap tambang yang berakhir kontraknya harus dikembalikan kepada negara, seperti nasionalisasi Blok Mahakam di Kalimantan Timur dari perusahaan Prancis, Total E&P ke Pertamina. Di Blok Mahakam, Total memegang kontrak bagi hasil (PSC). Sementara, Freeport memiliki payung hukum KK yang tentu sangat berbeda dengan bagi hasil di sektor minyak dan gas.
Sejak mulai beroperasi di Indonesia, Freeport adalah Perseroan Terbatas (PT) yang memiliki aset dan terus bertambah seiring penemuan wilayah-wilayah tambang dan penambahan infrastruktur penunjang. Ketika Freeport hanya mengeksplorasi pegunungan Earstberg, harga saham Freeport masih kecil. Namun, seiring penemuan tambang open-pit di Grasberg dan pembangunan tambang underground yang dilengkapi terowongan, kereta api bawah tanah dan tunnel sepanjang 1.000 kilometer, harga Freeport sangatlah mahal.
Pemerintah akan dianggap merampas hak Freeport dan digugat ke pengadilan arbitrase internasional jika mengambil aset yang sudah dibangun dengan investasi besar, tanpa melalui proses renegosiasi kontrak yang bisa menghasilkan win-win solution. Semua aset itu sudah diatur dalam KK. Dalam KK sudah disebutkan dengan tegas, jika kontrak berakhir, aset perusahaan akan dijual ke negara.
Bagi saya, pemerintah yang berani mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK adalah pemerintah yang tegas dan berdaulat. Belum ada satupun Presiden yang mampu mengubah Kontrak Karya, karena kekuatan pengusaha lokal dan global yang banyak mendapat untung dari Freeport. Selain itu, Freeport berani menekan pemerintah dengan cara mengancam merumahkan karyawan yang berakibat pada masalah sosial-politik di Papua dan penerimaan negara. Hanya rejim kuat yang berani mengubah Kontrak Karya Freeport.
Dengan mengontrol 51,23% saham Freeport Indonesia, pemerintah melalui Inalum memiliki hak suara dalam manajemen dan keputusan-keputusan penting terkait masa depan tambang Grasberg. Dengan menjadi pemegang saham, Indonesia bisa melihat dari dekat dapur Freeport di tambang Grasberg dan belajar bagaimana cara Freeport mengolah tambang underground yang mewah itu daripada hanya berteriak dari luar dan meraba-raba apa yang dilakukan Freeport.
Ketiga, keuntungan ekonomi. Dengan menjadi pemegang saham mayoritas di Freeport, Indonesia akan diuntungkan secara finansial. Tahun 2019-2021, tambang open-pit Grasberg memang mencapai titik puncak. Bahkan ada informasi akan ada seremonial penutupan tambang open-pit di Grasberg pada pertengahan 2019 ini. Dalam perkiraan Freeport, produksi Freeport pun ikut menurun.
Kapasitas produksi Freeport tahun 2019-2021 hanya mencapai 50% dari produksi normal Freeport sebesar 160.000-200.000 metrik ton bijih tembaga. Itu artinya, produksi Freeport bukan nol, karena ada beberapa tambang underground, seperti Big Gosan yang mulai berproduksi komersial dan memang diantisipasi untuk masa transisi dari open-pit ke underground.
Dengan demikian, pendapatan dan laba Freeport juga ikut menurun. Turunnya laba dan pendapatan berisiko pada mengecilnya dividen yang diterima Inalum. Isu ini menjadi bola liar dan dipersoalkan banyak pihak di tanah air. Politisi, lawan politik dan publik di tanah air masih saja beranggapan bahwa divestasi tidak menguntungkan, karena Inalum mendapat dividen kecil sampai tahun 2021. Padahal, untuk menilai untung-ruginya Inalum, secara korporasi, kala membeli saham Freeport harus dilihat operasi tambang Grasberg secara keseluruhan.
Yang perlu dicatat adalah tambang open-pit hanyalah 7% dari total cadangan Freeport. Cadangan terbesar sebesar 93% tambang Grasberg ada di tambang underground, mencakup wilayah Kucing Liar, Grasbreg Open-pit, DOZ Block Cave, Big Gosan, Grasberg Blok Cave dan DMLZ Block Cave. Sampai tahun 2017, cadangan terbukti dan terkira di Grasberg sebesar 38,8 miliar pound tembaga, 33,9 juta ons emas, dan 153,1 juta ons perak.
Beberapa pengamat dan ekonom memang mengkritisi aksi korporasi Inalum ini. Mantan Menteri Kordinator Kemaritiman, Rizal Ramli misalnya, mengkritik mengapa Freeport masih mendapat Economic Interest sebesar 81,28% sampai tahun 2022. Sementara sampai tahun 2022, Inalum hanya mendapat 18,74% Economic Interest.
Perhitungan Economic Interest ini tentu adalah perhitungan ekonomi korporasi yang sangat kompleks dan detail. Ketika penulis mengkonfirmasi ini kepada Freeport Indonesia (14/1/2019), Riza Pratama, Juru Bicara Freeport mengatakan, itu adalah perhitungan Freeport McMoRan, Freeport Indonesia tidak mengeluarkan perhitungan itu.
Ini tentu perlu menjadi catatan. Perhitungan Economic Interest itu hanya masuk dalam perhitungan Freeport McMoRan untuk dilaporkan kepada pemegang saham. Perhitungan itu tidak masuk dalam IUPK yang dibuat pemerintah. Pihak Freeport McMoRan juga meminta pemerintah Indonesia untuk menghormati Kontrak Karya Freeport dan Rio Tinto yang berlaku sampai tahun 2021.
Dengan itu, usai berlakunya Economic Interest yang mencapai angka 81,28%--hanya tiga tahun saja. Sudah dikatakan dalam bagian terdahulu bahwa Rio Tinto mengontrol 40% PI atau menguasai 40% produksi tembaga dan emas Grasberg, sementara Freeport hanya menguasai 60% produksi sampai 2022.
Dengan begitu, sudah sangat tepat, pemerintah dan Inalum membeli saham Freeport saat ini. Mumpung produksinya masih turun, karena harga saham ikut turun. Inalum tidak menggunakan perhitungan aset dalam membeli saham Freeport. Jika memakai perhitungan aset, tentu sangat mahal. Inalum tentu memakai mekanisme discounted cash flow berdasarkan nilai buku saat ini dan apa yang diharapkan di masa depan. Produksi Freeport di Grasberg yang mengalami penurunan tahun 2019-2021 tentu akan menurunkan harga saham.
Jikapun Economic Interest dihitung berdasarkan dividen, saya kira tidak menjadi soal dividen yang diperoleh Inalum selama tahun 2019-2021 hanya 18,74% (saham Inalum sebelumnya 9,36% + saham Indocopper 9,36%) turun, karena produksi Grasberg mengalami penurunan secara alamiah.
Mulai tahun 2022, Freeport akan menikmati produksi dari tambang underground yang dalam perkiraan mencapai 160.000-200.000 ton konsentrat tembaga. jika harga metal di pasar global naik, tentu itu akan menguntungkan Freeport dan Inalum sebagai pemegang saham. Mulai tahun 2022, Inalum justru menikmati keuntungan lebih dari 50% produksi Grasberg.
Boleh jadi, Indonesia akan mendapat keuntungan besar, karena pendapatan Freeport dari tambang Grasberg ke depan bisa berada di atas USD3 miliar per tahun. Dengan begitu, 51% dari pendapatan itu akan kita peroleh sebagai dividen. Kontribusi penerimaan negara juga akan semakin besar, karena ke depan, Freeport akan membangun pabrik smelter tembaga. Jadi, kita perlu mengapresiasi langkah berani pemerintahan Jokowi yang telah menyelesaikan divestasi saham Freeport dengan mekanisme korporasi. Nyata sudah, Sudirman Said keliru.
Ferdy Hasiman
Peneliti Alpha Research Database dan Penulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara
Sudirman seharusnya membaca lebih detail, dan jujur mengakui, proses divestasi saham FI adalah hasil terbaik yang bisa diperoleh Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara, PT Indonesia Asahan Alumina (Inalum) resmi mengontrol mayoritas (51,23%) saham perusahaan yang menambang tembaga dan emas di Grasberg, Papua, PT Freeport Indonesia. Ini ditandai dengan tuntasnya pembayaran divestasi Freeport senilai USD3,85 miliar oleh holding BUMN tambang, Inalum, pada tanggal 21 Desember 2018.
Pemerintah kemudian menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan catatan, perpanjangan kontrak sampai tahun 2041, wajib membangun smelter tembaga dan jaminan kepastian fiskal dan investasi bagi Freeport. Perpanjangan kontrak sampai tahun 2041 masuk akal, karena Inalum masih membutuhkan Freeport mengolah tambang underground yang berteknologi dan infrastruktur canggih. Perpanjangan kontrak penting, karena Freeport akan mengeluarkan dana senilai USD17 miliar untuk pembangunan tambang underground dan pembangunan smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur senilai USD2,3 miliar.
Tambang underground di Grasberg dengan metode block caving menurut para geolog memang sangat berisiko tinggi dan membutuhkan investasi besar. Banyak geolog kelas dunia mengatakan, tambang underground di Grasberg tak boleh berhenti. Sekali berhenti, akan meningkatkan tegangan dan mengakibatkan runtuhnya terowongan. Itulah mengapa Freeport di tambang underground membangun terowongan bawah tanah sampai ribuan kilometer. Jika proses tambang underground terhenti, akan mengalami kerugian mencapai USD5-10 miliar.
Meskipun demikian, pihak-pihak yang beropisisi dengan pemerintah mengatakan, mengapa divestasi saham Freeport tak menunggu tahun 2021? Menurut mereka di tahun itu, Kontrak Karya Freeport berakhir dan tambang dikembalikan ke negara dengan harga gratis. Dengan kata lain, Inalum tak perlu membayar USD3,85 miliar untuk membeli saham Freeport.
Benarkah? Saya akan menjawab pertanyaan ini dalam tiga lapis, yaitu, politik kekuasaan, sejarah Kontrak Karya, dan soal ekonomi.
Pertama, politik kekuasaan. Orang-orang dalam pemerintahan mengatakan, jika bukan Jokowi presidennya, belum tentu divestasi Freeport bisa tuntas. Pejabat-pejabat yang terlibat dalam renegosiasi mendapat dukungan politik penuh dari Presiden. Tanpa itu, divestasi Freeport mustahil berjalan. Jika menunggu tahun 2021, kita tak tahu siapa yang akan memimpin negeri ini setelah tahun 2019. Rezim beda, perlakuan terhadap Freeport pasti berbeda. Belum tentu rezim setelah Jokowi mampu menuntaskan proses divestasi Freeport.
Kedua, sejarah Kontrak Karya. Debat seputar divestasi Freeport tanpa memahami KK adalah debat kosong. Pihak yang beroposisi dengan pemerintah Jokowi membangun opini dengan logika yang lepas dari konteks sejarah KK Freeport. Bagi mereka, untuk apa Inalum membayar Rp54 triliun untuk mendapat saham Freeport.
Sementara jika KK Freeport berakhir tahun 2021, pemerintah akan mendapat konsensi tambang Grasberg dengan zero price, karena setiap tambang yang berakhir kontraknya harus dikembalikan kepada negara, seperti nasionalisasi Blok Mahakam di Kalimantan Timur dari perusahaan Prancis, Total E&P ke Pertamina. Di Blok Mahakam, Total memegang kontrak bagi hasil (PSC). Sementara, Freeport memiliki payung hukum KK yang tentu sangat berbeda dengan bagi hasil di sektor minyak dan gas.
Sejak mulai beroperasi di Indonesia, Freeport adalah Perseroan Terbatas (PT) yang memiliki aset dan terus bertambah seiring penemuan wilayah-wilayah tambang dan penambahan infrastruktur penunjang. Ketika Freeport hanya mengeksplorasi pegunungan Earstberg, harga saham Freeport masih kecil. Namun, seiring penemuan tambang open-pit di Grasberg dan pembangunan tambang underground yang dilengkapi terowongan, kereta api bawah tanah dan tunnel sepanjang 1.000 kilometer, harga Freeport sangatlah mahal.
Pemerintah akan dianggap merampas hak Freeport dan digugat ke pengadilan arbitrase internasional jika mengambil aset yang sudah dibangun dengan investasi besar, tanpa melalui proses renegosiasi kontrak yang bisa menghasilkan win-win solution. Semua aset itu sudah diatur dalam KK. Dalam KK sudah disebutkan dengan tegas, jika kontrak berakhir, aset perusahaan akan dijual ke negara.
Bagi saya, pemerintah yang berani mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK adalah pemerintah yang tegas dan berdaulat. Belum ada satupun Presiden yang mampu mengubah Kontrak Karya, karena kekuatan pengusaha lokal dan global yang banyak mendapat untung dari Freeport. Selain itu, Freeport berani menekan pemerintah dengan cara mengancam merumahkan karyawan yang berakibat pada masalah sosial-politik di Papua dan penerimaan negara. Hanya rejim kuat yang berani mengubah Kontrak Karya Freeport.
Dengan mengontrol 51,23% saham Freeport Indonesia, pemerintah melalui Inalum memiliki hak suara dalam manajemen dan keputusan-keputusan penting terkait masa depan tambang Grasberg. Dengan menjadi pemegang saham, Indonesia bisa melihat dari dekat dapur Freeport di tambang Grasberg dan belajar bagaimana cara Freeport mengolah tambang underground yang mewah itu daripada hanya berteriak dari luar dan meraba-raba apa yang dilakukan Freeport.
Ketiga, keuntungan ekonomi. Dengan menjadi pemegang saham mayoritas di Freeport, Indonesia akan diuntungkan secara finansial. Tahun 2019-2021, tambang open-pit Grasberg memang mencapai titik puncak. Bahkan ada informasi akan ada seremonial penutupan tambang open-pit di Grasberg pada pertengahan 2019 ini. Dalam perkiraan Freeport, produksi Freeport pun ikut menurun.
Kapasitas produksi Freeport tahun 2019-2021 hanya mencapai 50% dari produksi normal Freeport sebesar 160.000-200.000 metrik ton bijih tembaga. Itu artinya, produksi Freeport bukan nol, karena ada beberapa tambang underground, seperti Big Gosan yang mulai berproduksi komersial dan memang diantisipasi untuk masa transisi dari open-pit ke underground.
Dengan demikian, pendapatan dan laba Freeport juga ikut menurun. Turunnya laba dan pendapatan berisiko pada mengecilnya dividen yang diterima Inalum. Isu ini menjadi bola liar dan dipersoalkan banyak pihak di tanah air. Politisi, lawan politik dan publik di tanah air masih saja beranggapan bahwa divestasi tidak menguntungkan, karena Inalum mendapat dividen kecil sampai tahun 2021. Padahal, untuk menilai untung-ruginya Inalum, secara korporasi, kala membeli saham Freeport harus dilihat operasi tambang Grasberg secara keseluruhan.
Yang perlu dicatat adalah tambang open-pit hanyalah 7% dari total cadangan Freeport. Cadangan terbesar sebesar 93% tambang Grasberg ada di tambang underground, mencakup wilayah Kucing Liar, Grasbreg Open-pit, DOZ Block Cave, Big Gosan, Grasberg Blok Cave dan DMLZ Block Cave. Sampai tahun 2017, cadangan terbukti dan terkira di Grasberg sebesar 38,8 miliar pound tembaga, 33,9 juta ons emas, dan 153,1 juta ons perak.
Beberapa pengamat dan ekonom memang mengkritisi aksi korporasi Inalum ini. Mantan Menteri Kordinator Kemaritiman, Rizal Ramli misalnya, mengkritik mengapa Freeport masih mendapat Economic Interest sebesar 81,28% sampai tahun 2022. Sementara sampai tahun 2022, Inalum hanya mendapat 18,74% Economic Interest.
Perhitungan Economic Interest ini tentu adalah perhitungan ekonomi korporasi yang sangat kompleks dan detail. Ketika penulis mengkonfirmasi ini kepada Freeport Indonesia (14/1/2019), Riza Pratama, Juru Bicara Freeport mengatakan, itu adalah perhitungan Freeport McMoRan, Freeport Indonesia tidak mengeluarkan perhitungan itu.
Ini tentu perlu menjadi catatan. Perhitungan Economic Interest itu hanya masuk dalam perhitungan Freeport McMoRan untuk dilaporkan kepada pemegang saham. Perhitungan itu tidak masuk dalam IUPK yang dibuat pemerintah. Pihak Freeport McMoRan juga meminta pemerintah Indonesia untuk menghormati Kontrak Karya Freeport dan Rio Tinto yang berlaku sampai tahun 2021.
Dengan itu, usai berlakunya Economic Interest yang mencapai angka 81,28%--hanya tiga tahun saja. Sudah dikatakan dalam bagian terdahulu bahwa Rio Tinto mengontrol 40% PI atau menguasai 40% produksi tembaga dan emas Grasberg, sementara Freeport hanya menguasai 60% produksi sampai 2022.
Dengan begitu, sudah sangat tepat, pemerintah dan Inalum membeli saham Freeport saat ini. Mumpung produksinya masih turun, karena harga saham ikut turun. Inalum tidak menggunakan perhitungan aset dalam membeli saham Freeport. Jika memakai perhitungan aset, tentu sangat mahal. Inalum tentu memakai mekanisme discounted cash flow berdasarkan nilai buku saat ini dan apa yang diharapkan di masa depan. Produksi Freeport di Grasberg yang mengalami penurunan tahun 2019-2021 tentu akan menurunkan harga saham.
Jikapun Economic Interest dihitung berdasarkan dividen, saya kira tidak menjadi soal dividen yang diperoleh Inalum selama tahun 2019-2021 hanya 18,74% (saham Inalum sebelumnya 9,36% + saham Indocopper 9,36%) turun, karena produksi Grasberg mengalami penurunan secara alamiah.
Mulai tahun 2022, Freeport akan menikmati produksi dari tambang underground yang dalam perkiraan mencapai 160.000-200.000 ton konsentrat tembaga. jika harga metal di pasar global naik, tentu itu akan menguntungkan Freeport dan Inalum sebagai pemegang saham. Mulai tahun 2022, Inalum justru menikmati keuntungan lebih dari 50% produksi Grasberg.
Boleh jadi, Indonesia akan mendapat keuntungan besar, karena pendapatan Freeport dari tambang Grasberg ke depan bisa berada di atas USD3 miliar per tahun. Dengan begitu, 51% dari pendapatan itu akan kita peroleh sebagai dividen. Kontribusi penerimaan negara juga akan semakin besar, karena ke depan, Freeport akan membangun pabrik smelter tembaga. Jadi, kita perlu mengapresiasi langkah berani pemerintahan Jokowi yang telah menyelesaikan divestasi saham Freeport dengan mekanisme korporasi. Nyata sudah, Sudirman Said keliru.
Ferdy Hasiman
Peneliti Alpha Research Database dan Penulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara
(ven)