Pengamat: Waspadai Jebakan Utang dari Proyek Jalur Sutra Abad 21

Rabu, 10 April 2019 - 16:06 WIB
Pengamat: Waspadai Jebakan...
Pengamat: Waspadai Jebakan Utang dari Proyek Jalur Sutra Abad 21
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia diminta berhati-hati terhadap jebakan utang di balik proyek ambisius China, Proyek Jalur Sutra Abad 21. Saat ini sudah ada banyak negara yang mengoreksi kesepakatan utang yang terkait pembangunan infrastruktur proyek tersebut.

Analis ekonomi politik Fine Institute Kusfiardi mengatakan, di tengah kebijakan banyak negara yang mengoreksi kesepakatan utang mereka, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Panjaitan justru menyatakan Indonesia akan menawarkan 28 proyek di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt and Road Initiative yang digelar di Beijing April 2019. Nilai proyek yang ditawarkan bernilai USD91,1 miliar, atau kurang lebih setara dengan Rp1.296 triliun.

"Penawaran proyek tersebut masih sangat jauh dari pengetahuan masyarakat. Terutama dampaknya terhadap kepentingan nasional seperti penguasaan sumber-sumber ekonomi, maupun penguasaan objek vital seperti pelabuhan dan bandara," kata Kusfiardi dalam keterangan tertulis, Rabu (10/4/2019).

Padahal, kata dia, proyek Jalur Sutra Abad 21 sudah diprediksi banyak pihak memunculkan permasalahan geoekonomi dan geopolitik baru. Proyek ambisius Jalur Sutra Abad 21 yang dipromosikan Presiden Xi Jinping mencakup proyek infrastruktur di darat dan laut yang melewati 66 negara dan menelan biaya yang sangat besar.

Data yang ada saat ini sudah menunjukkan bahwa utang luar negeri pemerintah ke China terus merangkak naik. Berdasarkan data Bank Indonesia, utang Indonesia ke China meroket hingga 74% pada 2015. Pada 2014, total utang Indonesia ke China adalah USD7,87 miliar. Kemudian, angkanya melesat menjadi USD13,6 miliar pada 2015 dan naik lagi pada 2016 menjadi USD15,1 miliar dan USD16 miliar per Januari 2018.

Menurut mantan Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) ini, Pemerintah sepertinya abai dengan besarnya beban utang yang ada saat ini, membuat keseimbangan primer APBN mengalami defisit.

Pemerintah menggunakan utang baru untuk membayar utang lama yang jatuh tempo. "Kalau kondisi ini saja bisa diabaikan oleh pemerintah, sepertinya kepentingan nasional yang terganggu dan dikorbankan dengan adanya proyek jalur sutra bisa jadi tak begitu dihiraukan," ujarnya.

Belum lama ini untuk mengurangi beban utang, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, meninjau ulang dan membatalkan sejumlah proyek. Dalam rangka itu, Pemerintahan Malaysia akan menegosiasikan ulang proyek Jalur Sutra Maritim China yang disebutnya tidak menguntungkan Malaysia.

Pernyataan Mahathir tersebut merupakan keputusan untuk mengubah beberapa kesepakatan antara China dan Malaysia, ketika dipimpin Perdana Menteri Najib Razak. Salah satunya adalah proyek ambisius Jalur Sutra Matirim China atau Belt and Road Initiative (BRI).

Malaysia merupakan salah satu negara yang mendapatkan investasi terbesar dari proyek BRI yang bertujuan untuk konektivitas perdagangan dari Asia hingga Afrika. Dana sebesar USD34,2 miliar diperuntukkan China membangun infrastruktur BRI di Malaysia. Dalam penilaian Mahathir, perjanjian pinjaman China tidak menguntungkan. Selain tidak mempekerjakan warga lokal, China juga tidak berbagi teknologi dengan Malaysia.

Sementara, Presiden Filipina Rodrigo Duterte meminta kabinetnya meninjau semua kontrak pemerintah, termasuk pinjaman dari China dan menghapus semua ketentuan yang memberatkan. Pemerintahan akan fokus pada perjanjian konsesi dan kontrak pinjaman dengan ketentuan yang tidak menguntungkan Filipina.

"Peninjauan tersebut mencakup total USD12 miliar hingga USD24 miliar dengan beberapa proyek untuk menghapus ketentuan yang tidak menguntungkan bagi Filipina. Kekhawatiran terbesarnya adalah, China dapat merebut aset Filipina jika tidak dapat membayar kembali pinjaman tersebut. Diantaranya adalah, Proyek Bendungan Kaliwa dan proyek Pompa Irigasi Sungai Chico yang didanai oleh China," urai Kusfiardi.

Bukan hanya Malaysia dan Filipina. Pemerintah Pakistan, Nepal dan Myanmar juga melakukan pembatalan kontrak proyek infrastruktur dengan China.

"Menurut Standard & Poor’s, proyek-proyek infrastruktur di bawah kebijakan Belt and Road Beijing itu, adalah utang konsesi jangka panjang. Konsesi utang itu akan memberikan hak kepada perusahaan China untuk mengoperasikan fasilitas itu selama 20-30 tahun. Bahkan Direktur IMF Christine Lagarde mengemukakan kekhawatiran akan masalah utang ini dan meminta agar ada transparansi yang lebih besar," ungkap Kusfiardi.

Lagarde, menurut Kusfiardi, juga mengatakan utang bukan sesuatu yang gratis. Utang ini adalah sesuatu yang harus dibayar oleh semua pihak. Bentuk yang harus dibayar itu bisa sangat memengaruhi kondisi perekonomian nasional sebagai bangsa yang berdaulat.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0816 seconds (0.1#10.140)