KKP Ekspor Perdana Ikan Patin ke Arab Saudi
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meluncurkan ekspor perdana ikan patin (Pangasius hypophthalmus) Indonesia ke Kerajaan Arab Saudi untuk kebutuhan makanan jamaah haji asal Indonesia. Ekspor perdana ini dilepas di Instalasi Karantina Puspa Agro Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (27/5) lalu.
Plt Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Nilanto Perbowo mengatakan, ikan patin hasil budidaya selama ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Mengingat produksinya yang semakin meningkat, kini ikan patin Indonesia tak lagi hanya untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri, melainkan juga dapat diekspor ke Arab Saudi.
Ekspor perdana kali ini menurutnya adalah buah kerja sama APCI dan SMART-Fish Indonesia yang menangkap potensi patin Indonesia untuk memenuhi kebutuhan ikan jamaah haji Indonesia.
Sejauh ini, kebutuhan pasokan patin untuk jamaah haji Indonesia diperkirakan mencapai 540 ton. Untuk memenuhinya, pihak APCI telah menyiapkan pasokan sekitar 300 ton patin yang terdiri dari 150 ton cut portion dan 150 ton fillet. Dalam ekspor perdana ini dikirim sekitar 3 kontainer (kurang lebih 63 ton) patin. Sisanya akan dikirim secara bertahap.
"Komoditas patin ini baru untuk kebutuhan jamaah haji. Harapannya dengan ekspor perdana ini nantinya bisa merambah ke negara-negara lain," ujar Nilanto dalam keterangan tertulis, Selasa (28/5/2019).Sementara itu, Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama Muhajirin Yanis menyebutkan, ikan patin dibutuhkan untuk menunjang pelayanan bagi jamaah haji sebagai sajian menu masakan bercita rasa khas Indonesia.
"Tahun ini sajiannya akan semakin lengkap dengan tersedianya bahan baku ikan patin asli Indonesia. Nantinya selama jamaah haji Indonesia berada di Arab Saudi, sajian makan kurang lebih sebanyak 75 kali makan sampai mereka kembali, di mana 5 kali dalam seminggu mencicipi sajian menu ikan, dalam hal ini ikan patin," jelas Muhajirin.
Beberapa waktu belakangan, produksi patin Indonesia memang menunjukkan tren peningkatan. Pada 2018 lalu misalnya, produksi patin Indonesia meningkat 22,2% menjadi 391.151 ton dibandingkan tahun 2017 yang hanya sebesar 319.966 ton .
Ketua Bidang Budidaya Patin APCI, Imza Hermawan mengatakan, peningkatan hasil budidaya patin ini terjadi berkat upaya penggunaan induk dan benih yang berkualitas untuk menekan Feed Conversion Ratio (FCR) sehingga efisiensi produksi meningkat.
"Induk dan benih berkualitas ini faktor utama penentu kesuksesan budidaya, utamanya dalam meningkatkan efisiensi pruduksi. FCR bisa ditekan, jika benih yang digunakan berkualitas," ungkapnya.
Adapun sentra utama produksi patin Indonesia tersebar di wilayah Kabupaten Tulungagung, JawaTimur; Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara; Kabupaten Kampar, Riau; Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Muaro Jambi, Jambi; Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan; Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Tengah, dan Kabupaten Pringsewu, Lampung; dan Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Perlu diketahui, pada tahun 2017, permintaan impor catfish global mencapai 640,87 ribu ton dengan pasar utama Amerika Serikat (17%), Meksiko (9%), China (8%), Brasil (7%), dan Arab Saudi (5%). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, 48% dipasok dari Vietnam, 36% dari Myanmar, dan sisanya dari negara lainnya.
Pada 2018, total permintaan impor catfish global meningkat menjadi 641,31 ton, dengan negara tujuan utama Amerika Serikat (19,08%) dan China (18,97%). Sedangkan permintaan impor Arab Saudi hanya sebesar 4.503 ton (0,7%) atau turun 85% dibandingkan tahun 2017 (UN Comtrade, 2019).
Melihat peluang ini, Nilanto mendorong agar para pelaku usaha dan pembudidaya patin mendorong produksi patin dalam negeri agar patin Indonesia bisa turut ambil bagian dalam memenuhi kebutuhan patin global.
“Pangsa pasar ekspor untuk patin sudah sangat jelas. Dengan potensi patin dalam negeri yang sangat tinggi, apabila kita mampu menggenjot produksi, tidak mustahil ke depan kita bisa menjadi pemain utama untuk komoditas ikan patin,” tandas Nilanto.
Plt Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Nilanto Perbowo mengatakan, ikan patin hasil budidaya selama ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Mengingat produksinya yang semakin meningkat, kini ikan patin Indonesia tak lagi hanya untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri, melainkan juga dapat diekspor ke Arab Saudi.
Ekspor perdana kali ini menurutnya adalah buah kerja sama APCI dan SMART-Fish Indonesia yang menangkap potensi patin Indonesia untuk memenuhi kebutuhan ikan jamaah haji Indonesia.
Sejauh ini, kebutuhan pasokan patin untuk jamaah haji Indonesia diperkirakan mencapai 540 ton. Untuk memenuhinya, pihak APCI telah menyiapkan pasokan sekitar 300 ton patin yang terdiri dari 150 ton cut portion dan 150 ton fillet. Dalam ekspor perdana ini dikirim sekitar 3 kontainer (kurang lebih 63 ton) patin. Sisanya akan dikirim secara bertahap.
"Komoditas patin ini baru untuk kebutuhan jamaah haji. Harapannya dengan ekspor perdana ini nantinya bisa merambah ke negara-negara lain," ujar Nilanto dalam keterangan tertulis, Selasa (28/5/2019).Sementara itu, Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama Muhajirin Yanis menyebutkan, ikan patin dibutuhkan untuk menunjang pelayanan bagi jamaah haji sebagai sajian menu masakan bercita rasa khas Indonesia.
"Tahun ini sajiannya akan semakin lengkap dengan tersedianya bahan baku ikan patin asli Indonesia. Nantinya selama jamaah haji Indonesia berada di Arab Saudi, sajian makan kurang lebih sebanyak 75 kali makan sampai mereka kembali, di mana 5 kali dalam seminggu mencicipi sajian menu ikan, dalam hal ini ikan patin," jelas Muhajirin.
Beberapa waktu belakangan, produksi patin Indonesia memang menunjukkan tren peningkatan. Pada 2018 lalu misalnya, produksi patin Indonesia meningkat 22,2% menjadi 391.151 ton dibandingkan tahun 2017 yang hanya sebesar 319.966 ton .
Ketua Bidang Budidaya Patin APCI, Imza Hermawan mengatakan, peningkatan hasil budidaya patin ini terjadi berkat upaya penggunaan induk dan benih yang berkualitas untuk menekan Feed Conversion Ratio (FCR) sehingga efisiensi produksi meningkat.
"Induk dan benih berkualitas ini faktor utama penentu kesuksesan budidaya, utamanya dalam meningkatkan efisiensi pruduksi. FCR bisa ditekan, jika benih yang digunakan berkualitas," ungkapnya.
Adapun sentra utama produksi patin Indonesia tersebar di wilayah Kabupaten Tulungagung, JawaTimur; Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara; Kabupaten Kampar, Riau; Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Muaro Jambi, Jambi; Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan; Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Tengah, dan Kabupaten Pringsewu, Lampung; dan Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Perlu diketahui, pada tahun 2017, permintaan impor catfish global mencapai 640,87 ribu ton dengan pasar utama Amerika Serikat (17%), Meksiko (9%), China (8%), Brasil (7%), dan Arab Saudi (5%). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, 48% dipasok dari Vietnam, 36% dari Myanmar, dan sisanya dari negara lainnya.
Pada 2018, total permintaan impor catfish global meningkat menjadi 641,31 ton, dengan negara tujuan utama Amerika Serikat (19,08%) dan China (18,97%). Sedangkan permintaan impor Arab Saudi hanya sebesar 4.503 ton (0,7%) atau turun 85% dibandingkan tahun 2017 (UN Comtrade, 2019).
Melihat peluang ini, Nilanto mendorong agar para pelaku usaha dan pembudidaya patin mendorong produksi patin dalam negeri agar patin Indonesia bisa turut ambil bagian dalam memenuhi kebutuhan patin global.
“Pangsa pasar ekspor untuk patin sudah sangat jelas. Dengan potensi patin dalam negeri yang sangat tinggi, apabila kita mampu menggenjot produksi, tidak mustahil ke depan kita bisa menjadi pemain utama untuk komoditas ikan patin,” tandas Nilanto.
(fjo)