Ada Moratorium TKI, PT Pos Realistis Pasang Target
A
A
A
BANDUNG - Namun proyeksi tersebut bisa juga mengalami penurunan. Hal tersebut seiring dengan menurunnya tren bisnis remitansi secara global karena masih adanya kebijakan moratorium pekerja migran ke sejumlah negara, khususnya ke kawasan Timur Tengah.
Manajer Remitansi Luar Negeri PT Pos Indonesia, Abdussyukur Muharam menyebutkan, pada 2019 ini PT Pos Indonesia membidik perolehan kiriman uang hanya sebesar Rp13,7 triliun dengan jumlah transaksi mencapai 2,9 juta transaksi. Sementara pada tahun lalu, Posindo sendiri mencatat jumlah transaksi mencapai 3,052 juta dengan besarnya uang yang dikirim mencapai Rp14,2 triliun.
“Kami sangat realistis terhadap target di tahun ini. Kita ikuti tren yang terjadi dalam 4 tahun terakhir seiring kebijakan moratorium bagi tenaga migran Indonesia. Tetapi kami juga berharap dapat melampaui target tersebut,” ujarnya.
Adapun sampai dengan triwulan I/2019, perseroan telah menghimpun jumlah transaksi remitansi yang telah mencapai 700 ribu transaksi dengan besar kiriman uang sebanyak Rp3,1 triliun.
“Angka di triwulan awal tersebut bagi kami sangat positif untuk meraih pendapatan yang jauh lebih baik pada triwulan berikutnya,” tandas Abdussyukur.
Menurut Abdussyukur, jika dicermati dalam 4 tahun terakhir, terjadi penurunan pada bisnis remitansi. Hal ini terjadi bukan hanya terhadap Pos Indonesia, namun secara global berdampak terhadap seluruh pelaku usaha bisnis remitansi. Salah satunya berlakunya moratorium pengiriman tenaga kerja ke negara-negara Timur Tengah.
“Pemerintah lebih memperketat pengiriman TKI ke negara-negara di kawasan Timur Tengah. Kalaupun ada, hanya perpanjangan masa kerja saja bukan penambahan tenaga kerja baru. Ini tentunya berdampak bagi seluruh pemain pada bisnis remitansi,” paparnya.
Saudi Arabia, sebut Abdussyukur, merupakan salah satu negara dengan market terbesar bagi Indonesia. Dibandingkan 5 tahun lalu, jumlah TKI ke Saudi Arabia saat ini terus berkurang seiring kebijakan moratorium tenaga kerja asing yang diberlakukan.
“Mungkin ke depan apabila pemerintah mencabut kebijakan moratorium tersebut pasti dampaknya akan semakin baik bagi bisnis remitansi. Namun di luar itu pemerintah tentunya telah memikirkan yang terbaik dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga migran Indonesia,” ujar Abdussyukur.
Seperti diketahui pada 2015 silam, pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakiri telah menerbitkan kebijakan moratorium penempatan pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia sektor informal (pembantu rumah tangga) ke seluruh negara kawasan Timur Tengah. Hal ini dilakukan pemerintah dalam rangka melindungi dan memperbaiki tata kelola perlindungan pekerja migran Indonesia dari berbagai risiko di negara tujuan.
Latar belakang moratorium bagi pemerintah karena belum adanya regulasi mengenai perlindungan pekerja migran di negara penempatan. Negara di kawasan Timur Tengah belum memiliki mekanisme penyelesaian masalah pekerja migran. Pemerintah Indonesia belum melihat adanya komitmen kuat dari pemerintah negara–negara di Timur Tengah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja migran. Hal ini tentunya merujuk pada tingginya kasus yang menimpa pekerja Indonesia di kawasan tersebut
Pemerintah sendiri telah menerbitkan Permenaker No 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan. Inti dari peraturan tersebut adalah menghentikan pengiriman pekerja migran, khususnya sektor pembantu rumah tangga di seluruh negara Timur Tengah. Negara-negara yang dimaksud adalah Arab Saudi, Kuawait, Lebanon, Bahrain, Irak, Mesir, Maroko, Mauritania, Sudan, Oman, Suriah, Palestina, Yaman, Tunisia, Yordania, dan Uni Emirat Arab.
Selama moratorium, pemerintah Indonesia terus mendorong negara di kawasan tersebut untuk memperbaiki aturan/tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran dan memiliki mekanisme penyelesaian yang jelas jika terjadi masalah yang menimpa pekerja migran Indonesia.
Sementara untuk di luar kawasan Timur Tengah, jumlah tenaga migran Indonesia tetap ada dan cenderung meningkat setiap bulannya. Tujuannya adalah kawasan Asia, seperti Malaysia, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong.
Manajer Remitansi Luar Negeri PT Pos Indonesia, Abdussyukur Muharam menyebutkan, pada 2019 ini PT Pos Indonesia membidik perolehan kiriman uang hanya sebesar Rp13,7 triliun dengan jumlah transaksi mencapai 2,9 juta transaksi. Sementara pada tahun lalu, Posindo sendiri mencatat jumlah transaksi mencapai 3,052 juta dengan besarnya uang yang dikirim mencapai Rp14,2 triliun.
“Kami sangat realistis terhadap target di tahun ini. Kita ikuti tren yang terjadi dalam 4 tahun terakhir seiring kebijakan moratorium bagi tenaga migran Indonesia. Tetapi kami juga berharap dapat melampaui target tersebut,” ujarnya.
Adapun sampai dengan triwulan I/2019, perseroan telah menghimpun jumlah transaksi remitansi yang telah mencapai 700 ribu transaksi dengan besar kiriman uang sebanyak Rp3,1 triliun.
“Angka di triwulan awal tersebut bagi kami sangat positif untuk meraih pendapatan yang jauh lebih baik pada triwulan berikutnya,” tandas Abdussyukur.
Menurut Abdussyukur, jika dicermati dalam 4 tahun terakhir, terjadi penurunan pada bisnis remitansi. Hal ini terjadi bukan hanya terhadap Pos Indonesia, namun secara global berdampak terhadap seluruh pelaku usaha bisnis remitansi. Salah satunya berlakunya moratorium pengiriman tenaga kerja ke negara-negara Timur Tengah.
“Pemerintah lebih memperketat pengiriman TKI ke negara-negara di kawasan Timur Tengah. Kalaupun ada, hanya perpanjangan masa kerja saja bukan penambahan tenaga kerja baru. Ini tentunya berdampak bagi seluruh pemain pada bisnis remitansi,” paparnya.
Saudi Arabia, sebut Abdussyukur, merupakan salah satu negara dengan market terbesar bagi Indonesia. Dibandingkan 5 tahun lalu, jumlah TKI ke Saudi Arabia saat ini terus berkurang seiring kebijakan moratorium tenaga kerja asing yang diberlakukan.
“Mungkin ke depan apabila pemerintah mencabut kebijakan moratorium tersebut pasti dampaknya akan semakin baik bagi bisnis remitansi. Namun di luar itu pemerintah tentunya telah memikirkan yang terbaik dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga migran Indonesia,” ujar Abdussyukur.
Seperti diketahui pada 2015 silam, pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakiri telah menerbitkan kebijakan moratorium penempatan pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia sektor informal (pembantu rumah tangga) ke seluruh negara kawasan Timur Tengah. Hal ini dilakukan pemerintah dalam rangka melindungi dan memperbaiki tata kelola perlindungan pekerja migran Indonesia dari berbagai risiko di negara tujuan.
Latar belakang moratorium bagi pemerintah karena belum adanya regulasi mengenai perlindungan pekerja migran di negara penempatan. Negara di kawasan Timur Tengah belum memiliki mekanisme penyelesaian masalah pekerja migran. Pemerintah Indonesia belum melihat adanya komitmen kuat dari pemerintah negara–negara di Timur Tengah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja migran. Hal ini tentunya merujuk pada tingginya kasus yang menimpa pekerja Indonesia di kawasan tersebut
Pemerintah sendiri telah menerbitkan Permenaker No 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan. Inti dari peraturan tersebut adalah menghentikan pengiriman pekerja migran, khususnya sektor pembantu rumah tangga di seluruh negara Timur Tengah. Negara-negara yang dimaksud adalah Arab Saudi, Kuawait, Lebanon, Bahrain, Irak, Mesir, Maroko, Mauritania, Sudan, Oman, Suriah, Palestina, Yaman, Tunisia, Yordania, dan Uni Emirat Arab.
Selama moratorium, pemerintah Indonesia terus mendorong negara di kawasan tersebut untuk memperbaiki aturan/tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran dan memiliki mekanisme penyelesaian yang jelas jika terjadi masalah yang menimpa pekerja migran Indonesia.
Sementara untuk di luar kawasan Timur Tengah, jumlah tenaga migran Indonesia tetap ada dan cenderung meningkat setiap bulannya. Tujuannya adalah kawasan Asia, seperti Malaysia, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong.
(akn)