Fintech Ilegal Masih Marak
A
A
A
JAKARTA - Kendati sudah banyak korban dari praktik pinjaman online ilegal, namun keberadaan layanan ini masih saja ditemukan. Dengan iming-iming praktis dan cepat, aplikasi pinjaman online ini pun terus tumbuh bak jamur di musim hujan.
Dalam setahun terakhir, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada sekitar 1.087 perusahaan fintech ilegal yang beroperasi. Jumlah tersebut melebihi jumlah fintech legal yang terdaftar di OJK, yakni sebanyak 113 perusahaan. Perusahaan-perusahaan itu beroperasi dengan skema peer to peer (P2P) lending alias menyalurkan pinjaman langsung kepada individu maupun kelompok atau sebaliknya melalui fasilitas online.
Pihak OJK mengklaim telah menyetop layanan fintech ilegal tersebut pada Mei lalu. Kendati demikian, diakui tidak mudah memberantasnya karena layanan serupa kembali muncul dengan cepat dalam jangka waktu singkat. Keberadaan layanan ini pun seolah mendapat pasar tersendiri karena masih ada saja masyarakat yang tergoda meminjam dana dengan alasan kepepet.
"Bagaimana mencegahnya, memang saya kira ini suatu hal yang sulit dan tidak sekadar PR (pekerjaan rumah) dari kami di OJK karena otoritas lain juga cukup beragam dalam kualitas untuk mendukung para pelaku," ujar Kepala Group Inovasi Keuangan Digital (IKD) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono di Jakarta baru-baru ini.
Dia menambahkan, OJK mengimbau kepada masyarakat agar berhati-hati terhadap fintech P2P lending yang tidak terdaftar. OJK juga meminta masyarakat lebih cermat dalam melakukan konsumsi terhadap layanan jasa keuangan digital.
“Masyarakat harus melakukan pengecekan saat bertransaksi digital dengan memastikan perusahaan fintech yang digunakan telah terdaftar resmi di OJK,” ujarnya.
Dia menilai, model bisnis berbasis pembiayaan masih memiliki risiko paling tinggi dalam dunia fintech. Dalam model bisnis pembiayaan, risiko permasalahan yang muncul terkait keuangan atau pembiayaan sangat rentan terjadi. Untuk itu, OJK akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang tata cara melakukan transaksi digital yang aman.
Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar menambahkan, ada perbedaan pengaturan P2P lending di beberapa negara seperti di AS cenderung lebih ketat soal perizinan.
Sedangkan di Inggris, kata dia, lebih moderat karena semua harus lewat regulatory sandbox dan diuji menggunakan live test. Berbeda dengan di China, di mana aturannya sangat longgar sehingga P2P lending berkembang sangat signifikan karena sesuai angka inklusi keuangan yang rendah dan penduduknya sangat banyak.
"Dampak aturan di China, pertumbuhan P2P lending cenderung lebih agresif dan juga ada moral hazard karena pelakunya melakukan kecurangan," katanya.
Sementara itu, ujar Batunanggar, di Indonesia ada proses perizinan yang dilakukan dan cek kelayakannya. Namun, tata kelola permodalannya tidak ketat seperti aturan perbankan.
Karena dalam pelaksanaannya yang tidak terlalu ketat itulah, banyak penyedia layanan fintech ilegal seenaknya bertindak kepada nasabah yang telat menyelesaikan kewajibannya. Mereka menempuh cara-cara yang kurang elok, mulai dari meneror nasabah dengan melalui telepon atau menghubungi rekan kerja atau keluarga nasabah dengan cara-cara tidak sopan.
Kasus terkini di Solo, seorang karyawati swasta menjadi objek pelecehan karena petugas penagih pinjaman online memajang foto nasabah tersebut dengan menambahkan tulisan ‘siap melakukan apa saja untuk melunasi utang di aplikasi pinjaman online’.
Pengawasan Lemah
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, masalah fintech ilegal muncul akibat kemampuan pengawasan OJK yang masih lemah. Menurut dia, infrastruktur intelijen untuk mendeteksi fintech ilegal sama dengan mendeteksi investasi bodong.
"Artinya, saran yang lebih sesuai adalah SDM (sumber daya manusia) dan sistem di direktorat pengawasan fintech harus ditambah," ujar Bhima.
Adapun pengamat teknologi informasi Heru Sutadi berpendapat, perlunya koordinasi antara Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan OJK terkait makin maraknya pinjaman online yang tidak terdaftar di OJK. Dia menyarankan agar mengecek algoritma aplikasi supaya tidak merugikan, juga peminjam. Hal ini karena bisa saja nasabah sudah membayar cicilan, tetapi tidak tercatat di sistem sehingga mengakibatkan hitungan bunga berbunga.
"Ini pertama harus ada pengawasan dari OJK dan Kementerian Kominfo. Yang tidak terdaftar diblokir, umumkan pada publik mana saja fintech terdaftar," ujar Heru.
Sementara itu, fintech yang terdaftar juga perlu terus diawasi dan diatur terutama mengenai bunga, proses penagihan pada peminjam, serta menegaskan kembali peran asosiasi untuk menertibkan anggota.
Menurut Heru, masyarakat juga harus diberikan edukasi positif dan negatif jika meminjam melalui P2P lending seperti kemudahan mendapat pinjaman akan dibarengi risiko bunga tinggi, pengembalian harus cepat, dan adanya potensi keluarga atau teman terdekat dihubungi perusahaan P2P tersebut bila nasabah mangkir atau terlambat membayar.
Perlu Infrastruktur Memadai
Juru bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih Djarot mengatakan, penanganan P2P lending ilegal membutuh infrastruktur yang memadai sehingga bisa memperkuat fungsi intelijen dan pengawasan di masyarakat. Saat ini OJK masih mengandalkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi untuk pencegahan.
Menurut Sekar, karena fintech ilegal tidak ada yang mengawasi, ini menjadi perhatian bersama sehingga penanganan dan pemberantasannya melalui Satgas Waspada Investasi (SWI) di mana OJK menjadi koordinatornya. Satgas ini merupakan gabungan dari 13 lembaga dan instansi yang di dalamnya terdiri atas Polri, Kejaksaan Agung, Kominfo, Kemendag, Kemenag, dan lainnya.
"Melalui SWI berdasarkan rekomendasi OJK, Kominfo telah menutup sekitar 1.087 peer to peer (P2P) lending ilegal," sebut Sekar.
Dia juga mengatakan P2P lending yang terdaftar/berizin di OJK harus memenuhi aturan dan ketentuan POJK 77/POJK.01/2016 tentang penyelenggara jasa layanan pinjam meminjam berbasis teknologi. Pihaknya juga telah membatasi akses data fintech legal hanya microphone, lokasi, dan kamera yang dibutuhkan untuk kepentingan know your customer (e-KYC). Data lainnya selain microphone, lokasi dan kamera tidak boleh diakses.
"Jika fintech yang telah terdaftar/berizin terbukti melakukan pelanggaran akses data selain microphone, lokasi, dan kamera, kami akan tegas mengenakan sanksi hingga pencabutan tanda terdaftar/berizin sesuai aturan POJK 77," ujarnya.
Dia menambahkan, OJK juga terus mengimbau masyarakat lebih cermat dalam bertransaksi bidang keuangan digital dengan selalu mengecek apakah lembaganya resmi atau tidak.
Dalam laporan terkini yang dirilis OJK, hingga Mei 2019 total akumulasi pinjaman fintech P2P lending tercatat sebesar Rp41,04 triliun (year to date/ytd) atau naik 81,06%. Adapun outstanding pinjaman naik 64,9% menjadi Rp8,32 triliun.
Dari sisi jumlah borrower (peminjam), juga mengalami peningkatan 100,72% menjadi Rp8,75 juta secara ytd. Sedangkan jumlah lender atau pemberi pinjaman mengalami kenaikan 131,44% menjadi Rp480,3 juta per akhir Mei 2019. (Kunthi Fahmar Sandy/Hafid Fuad)
Dalam setahun terakhir, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada sekitar 1.087 perusahaan fintech ilegal yang beroperasi. Jumlah tersebut melebihi jumlah fintech legal yang terdaftar di OJK, yakni sebanyak 113 perusahaan. Perusahaan-perusahaan itu beroperasi dengan skema peer to peer (P2P) lending alias menyalurkan pinjaman langsung kepada individu maupun kelompok atau sebaliknya melalui fasilitas online.
Pihak OJK mengklaim telah menyetop layanan fintech ilegal tersebut pada Mei lalu. Kendati demikian, diakui tidak mudah memberantasnya karena layanan serupa kembali muncul dengan cepat dalam jangka waktu singkat. Keberadaan layanan ini pun seolah mendapat pasar tersendiri karena masih ada saja masyarakat yang tergoda meminjam dana dengan alasan kepepet.
"Bagaimana mencegahnya, memang saya kira ini suatu hal yang sulit dan tidak sekadar PR (pekerjaan rumah) dari kami di OJK karena otoritas lain juga cukup beragam dalam kualitas untuk mendukung para pelaku," ujar Kepala Group Inovasi Keuangan Digital (IKD) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono di Jakarta baru-baru ini.
Dia menambahkan, OJK mengimbau kepada masyarakat agar berhati-hati terhadap fintech P2P lending yang tidak terdaftar. OJK juga meminta masyarakat lebih cermat dalam melakukan konsumsi terhadap layanan jasa keuangan digital.
“Masyarakat harus melakukan pengecekan saat bertransaksi digital dengan memastikan perusahaan fintech yang digunakan telah terdaftar resmi di OJK,” ujarnya.
Dia menilai, model bisnis berbasis pembiayaan masih memiliki risiko paling tinggi dalam dunia fintech. Dalam model bisnis pembiayaan, risiko permasalahan yang muncul terkait keuangan atau pembiayaan sangat rentan terjadi. Untuk itu, OJK akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang tata cara melakukan transaksi digital yang aman.
Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar menambahkan, ada perbedaan pengaturan P2P lending di beberapa negara seperti di AS cenderung lebih ketat soal perizinan.
Sedangkan di Inggris, kata dia, lebih moderat karena semua harus lewat regulatory sandbox dan diuji menggunakan live test. Berbeda dengan di China, di mana aturannya sangat longgar sehingga P2P lending berkembang sangat signifikan karena sesuai angka inklusi keuangan yang rendah dan penduduknya sangat banyak.
"Dampak aturan di China, pertumbuhan P2P lending cenderung lebih agresif dan juga ada moral hazard karena pelakunya melakukan kecurangan," katanya.
Sementara itu, ujar Batunanggar, di Indonesia ada proses perizinan yang dilakukan dan cek kelayakannya. Namun, tata kelola permodalannya tidak ketat seperti aturan perbankan.
Karena dalam pelaksanaannya yang tidak terlalu ketat itulah, banyak penyedia layanan fintech ilegal seenaknya bertindak kepada nasabah yang telat menyelesaikan kewajibannya. Mereka menempuh cara-cara yang kurang elok, mulai dari meneror nasabah dengan melalui telepon atau menghubungi rekan kerja atau keluarga nasabah dengan cara-cara tidak sopan.
Kasus terkini di Solo, seorang karyawati swasta menjadi objek pelecehan karena petugas penagih pinjaman online memajang foto nasabah tersebut dengan menambahkan tulisan ‘siap melakukan apa saja untuk melunasi utang di aplikasi pinjaman online’.
Pengawasan Lemah
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, masalah fintech ilegal muncul akibat kemampuan pengawasan OJK yang masih lemah. Menurut dia, infrastruktur intelijen untuk mendeteksi fintech ilegal sama dengan mendeteksi investasi bodong.
"Artinya, saran yang lebih sesuai adalah SDM (sumber daya manusia) dan sistem di direktorat pengawasan fintech harus ditambah," ujar Bhima.
Adapun pengamat teknologi informasi Heru Sutadi berpendapat, perlunya koordinasi antara Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan OJK terkait makin maraknya pinjaman online yang tidak terdaftar di OJK. Dia menyarankan agar mengecek algoritma aplikasi supaya tidak merugikan, juga peminjam. Hal ini karena bisa saja nasabah sudah membayar cicilan, tetapi tidak tercatat di sistem sehingga mengakibatkan hitungan bunga berbunga.
"Ini pertama harus ada pengawasan dari OJK dan Kementerian Kominfo. Yang tidak terdaftar diblokir, umumkan pada publik mana saja fintech terdaftar," ujar Heru.
Sementara itu, fintech yang terdaftar juga perlu terus diawasi dan diatur terutama mengenai bunga, proses penagihan pada peminjam, serta menegaskan kembali peran asosiasi untuk menertibkan anggota.
Menurut Heru, masyarakat juga harus diberikan edukasi positif dan negatif jika meminjam melalui P2P lending seperti kemudahan mendapat pinjaman akan dibarengi risiko bunga tinggi, pengembalian harus cepat, dan adanya potensi keluarga atau teman terdekat dihubungi perusahaan P2P tersebut bila nasabah mangkir atau terlambat membayar.
Perlu Infrastruktur Memadai
Juru bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih Djarot mengatakan, penanganan P2P lending ilegal membutuh infrastruktur yang memadai sehingga bisa memperkuat fungsi intelijen dan pengawasan di masyarakat. Saat ini OJK masih mengandalkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi untuk pencegahan.
Menurut Sekar, karena fintech ilegal tidak ada yang mengawasi, ini menjadi perhatian bersama sehingga penanganan dan pemberantasannya melalui Satgas Waspada Investasi (SWI) di mana OJK menjadi koordinatornya. Satgas ini merupakan gabungan dari 13 lembaga dan instansi yang di dalamnya terdiri atas Polri, Kejaksaan Agung, Kominfo, Kemendag, Kemenag, dan lainnya.
"Melalui SWI berdasarkan rekomendasi OJK, Kominfo telah menutup sekitar 1.087 peer to peer (P2P) lending ilegal," sebut Sekar.
Dia juga mengatakan P2P lending yang terdaftar/berizin di OJK harus memenuhi aturan dan ketentuan POJK 77/POJK.01/2016 tentang penyelenggara jasa layanan pinjam meminjam berbasis teknologi. Pihaknya juga telah membatasi akses data fintech legal hanya microphone, lokasi, dan kamera yang dibutuhkan untuk kepentingan know your customer (e-KYC). Data lainnya selain microphone, lokasi dan kamera tidak boleh diakses.
"Jika fintech yang telah terdaftar/berizin terbukti melakukan pelanggaran akses data selain microphone, lokasi, dan kamera, kami akan tegas mengenakan sanksi hingga pencabutan tanda terdaftar/berizin sesuai aturan POJK 77," ujarnya.
Dia menambahkan, OJK juga terus mengimbau masyarakat lebih cermat dalam bertransaksi bidang keuangan digital dengan selalu mengecek apakah lembaganya resmi atau tidak.
Dalam laporan terkini yang dirilis OJK, hingga Mei 2019 total akumulasi pinjaman fintech P2P lending tercatat sebesar Rp41,04 triliun (year to date/ytd) atau naik 81,06%. Adapun outstanding pinjaman naik 64,9% menjadi Rp8,32 triliun.
Dari sisi jumlah borrower (peminjam), juga mengalami peningkatan 100,72% menjadi Rp8,75 juta secara ytd. Sedangkan jumlah lender atau pemberi pinjaman mengalami kenaikan 131,44% menjadi Rp480,3 juta per akhir Mei 2019. (Kunthi Fahmar Sandy/Hafid Fuad)
(nfl)