Suku Bunga Turun Tak Jamin Memacu Pertumbuhan Kredit
A
A
A
JAKARTA - Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) beberapa waktu lalu diyakini masih belum mampu untuk memacu pertumbuhan kredit. CORE Indonesia memperkirakan bahwa pertumbuhan kredit selama 2019 masih pada rentang 10-11% secara year-on-year, meski selama paruh pertama menunjukkan angin segar karena masih tumbuh dua digit.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai, bahwa penurunan suku bunga oleh BI tidak menjamin kredit akan tumbuh dengan baik. Segmentasi pasar keuangan juga menyebabkan anomali yang menghalangi sistem keuangan untuk memacu perekonomian Indonesia.
Usaha untuk mendorong kredit yang lebih tinggi terang dia akan sangat sulit karena faktor pendorong kredit masih dipegang oleh Bank BUKU IV yang memiliki pertumbuhan DPK dan loanable fund yang tinggi. Sedangkan bank BUKU III masih terkendala masalah LDR yang mencapai lebih dari 100%. Di sisi lain, Bank BUKU I dan II terus menghadapi masalah likuiditas dengan rendahnya pertumbuhan DPK.
"Memang angkanya pertumbuhan kreditnya stabil di 10-11%, tapi yang kita butuhkan bukan hanya stabilitas. Ibaratkan kendaraan, kita butuh kendaraan yang stabil tapi bisa berpacu cepat. Kebijakan moneter kita saat ini belum bisa memacu pertumbuhan kredit Indonesia," tegas Piter lebih lanjut di Jakarta.
Meskipun demikian, sambung dia DPK mengalami perlambatan pertumbuhan sejak Oktober 2018. Pada Mei 2019, DPK tumbuh 6,3% turun dari 6,9% pada bulan Januari 2019. "Keadaan ini menyebabkan perbankan mengalami pengetatan likuiditas yang dilihat dari meningkatnya rasio pinjaman terhadap deposito atau loan to deposit ratio(LDR)," paparnya.
Ditambah terang dia tekanan eksternal bakal membuat memperbaiki defisit transaksi berjalan (CAD) lebih sulit. Bank Indonesia (BI) sendiri selama semester I 2019 menunjukkan komitmennya menjaga stabilisasi nilai tukar dengan memainkan instrumennya, termasuk instrumen intervensi memanfaatkan cadangan devisa(cadev) yang tersedia.
Meskipun begitu, seiring dengan relatif stabilnya nilai tukar, frekuensi penggunaan cadev untuk menstabilkan rupiah jauh berkurang. Selama semester I 2019, kondisi cadev menunjukkan perbaikan, dimana angkanya meningkat pada Juni menjadi USD123,8 miliar (setara Rp1.735 triliun) dibandingkan akhir semester tahun 2018 lalu.
"Tekanan eksternal yang datang dari memanasnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China dalam jangka pendek ini akan berpengaruh pada semakin sulitnya Indonesia memperbaiki current account deficit (CAD)," paparnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai, bahwa penurunan suku bunga oleh BI tidak menjamin kredit akan tumbuh dengan baik. Segmentasi pasar keuangan juga menyebabkan anomali yang menghalangi sistem keuangan untuk memacu perekonomian Indonesia.
Usaha untuk mendorong kredit yang lebih tinggi terang dia akan sangat sulit karena faktor pendorong kredit masih dipegang oleh Bank BUKU IV yang memiliki pertumbuhan DPK dan loanable fund yang tinggi. Sedangkan bank BUKU III masih terkendala masalah LDR yang mencapai lebih dari 100%. Di sisi lain, Bank BUKU I dan II terus menghadapi masalah likuiditas dengan rendahnya pertumbuhan DPK.
"Memang angkanya pertumbuhan kreditnya stabil di 10-11%, tapi yang kita butuhkan bukan hanya stabilitas. Ibaratkan kendaraan, kita butuh kendaraan yang stabil tapi bisa berpacu cepat. Kebijakan moneter kita saat ini belum bisa memacu pertumbuhan kredit Indonesia," tegas Piter lebih lanjut di Jakarta.
Meskipun demikian, sambung dia DPK mengalami perlambatan pertumbuhan sejak Oktober 2018. Pada Mei 2019, DPK tumbuh 6,3% turun dari 6,9% pada bulan Januari 2019. "Keadaan ini menyebabkan perbankan mengalami pengetatan likuiditas yang dilihat dari meningkatnya rasio pinjaman terhadap deposito atau loan to deposit ratio(LDR)," paparnya.
Ditambah terang dia tekanan eksternal bakal membuat memperbaiki defisit transaksi berjalan (CAD) lebih sulit. Bank Indonesia (BI) sendiri selama semester I 2019 menunjukkan komitmennya menjaga stabilisasi nilai tukar dengan memainkan instrumennya, termasuk instrumen intervensi memanfaatkan cadangan devisa(cadev) yang tersedia.
Meskipun begitu, seiring dengan relatif stabilnya nilai tukar, frekuensi penggunaan cadev untuk menstabilkan rupiah jauh berkurang. Selama semester I 2019, kondisi cadev menunjukkan perbaikan, dimana angkanya meningkat pada Juni menjadi USD123,8 miliar (setara Rp1.735 triliun) dibandingkan akhir semester tahun 2018 lalu.
"Tekanan eksternal yang datang dari memanasnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China dalam jangka pendek ini akan berpengaruh pada semakin sulitnya Indonesia memperbaiki current account deficit (CAD)," paparnya.
(akr)