APTI: Penyederhanaan Cukai Akan Hancurkan Industri Kretek Nasional
A
A
A
JAKARTA - Kalangan petani tembakau meminta pemerintah memperhatikan nasibnya ketika hendak merumuskan kebijakan cukai bagi Industri Hasil Tembakau (IHT).
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji menilai, selama ini hasil tembakau dari anggota APTI banyak dipakai oleh industri rokok golongan 3, yang banyak menghasilkan sigaret kretek tangan (SKT).
Menurut Agus, rencana penyederhanaan tarif cukai (simplifikasi golongan rokok) yang didorong Kementerian Keuangan akan menyebabkan banyak pabrik rokok golongan 3 gulung tikar.
"APTI menentang simplifikasi ini karena bisa menyebabkan industri rokok hancur dan tentunya juga tidak bisa menyerap tembakau petani," tegas Agus dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Agus mengatakan, kebijakan cukai memperlihatkan tren kenaikan setiap tahunnya, dengan rata-rata kenaikan mencapai 10-11% dalam empat tahun terakhir. Akibat kenaikan tersebut, banyak pabrik rokok kecil yang gulung tikar.
"Pabrik rokok kecil tersebut banyak menghasilkan SKT. Tutupnya pabrik rokok itu pada gilirannya mengganggu serapan hasil petani tembakau," terangnya.
Selama ini, sepengetahuan Agus, petani tembakau sulit untuk berpindah dari tanaman tembakau ke tanaman lain.
Banyak diantara petani tembakau dalam APTI sudah menjalankan usahanya secara turun temurun sehingga membuat mereka sulit pindah.
Persoalan lain yang dihadapi petani tembakau, lanjut Agus, adalah pajak penjualan tembakau, seperti diatur dalam PP 46/2003.
Tarif pajak yang dibayarkan memang mengalami penurunan dari 1% menjadi 0,5%. Namun, jumlah tarif tersebut tetap dirasakan berat apabila serapan tembakau mengalami penurunan akibat banyak produsen rokok yang gulung tikar.
Karena itu, Agus meminta agar apapun aturan yang ditetapkan pemerintah, hendaknya juga memperhatikan nasib petani tembakau yang menjadi anggota APTI.
"APTI menyarankan agar lima kementerian yang terkait dengan IHT secepatnya melakukan sinkronisasi regulasi agar nasib petani tembakau menjadi lebih jelas," pungkasnya.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji menilai, selama ini hasil tembakau dari anggota APTI banyak dipakai oleh industri rokok golongan 3, yang banyak menghasilkan sigaret kretek tangan (SKT).
Menurut Agus, rencana penyederhanaan tarif cukai (simplifikasi golongan rokok) yang didorong Kementerian Keuangan akan menyebabkan banyak pabrik rokok golongan 3 gulung tikar.
"APTI menentang simplifikasi ini karena bisa menyebabkan industri rokok hancur dan tentunya juga tidak bisa menyerap tembakau petani," tegas Agus dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Agus mengatakan, kebijakan cukai memperlihatkan tren kenaikan setiap tahunnya, dengan rata-rata kenaikan mencapai 10-11% dalam empat tahun terakhir. Akibat kenaikan tersebut, banyak pabrik rokok kecil yang gulung tikar.
"Pabrik rokok kecil tersebut banyak menghasilkan SKT. Tutupnya pabrik rokok itu pada gilirannya mengganggu serapan hasil petani tembakau," terangnya.
Selama ini, sepengetahuan Agus, petani tembakau sulit untuk berpindah dari tanaman tembakau ke tanaman lain.
Banyak diantara petani tembakau dalam APTI sudah menjalankan usahanya secara turun temurun sehingga membuat mereka sulit pindah.
Persoalan lain yang dihadapi petani tembakau, lanjut Agus, adalah pajak penjualan tembakau, seperti diatur dalam PP 46/2003.
Tarif pajak yang dibayarkan memang mengalami penurunan dari 1% menjadi 0,5%. Namun, jumlah tarif tersebut tetap dirasakan berat apabila serapan tembakau mengalami penurunan akibat banyak produsen rokok yang gulung tikar.
Karena itu, Agus meminta agar apapun aturan yang ditetapkan pemerintah, hendaknya juga memperhatikan nasib petani tembakau yang menjadi anggota APTI.
"APTI menyarankan agar lima kementerian yang terkait dengan IHT secepatnya melakukan sinkronisasi regulasi agar nasib petani tembakau menjadi lebih jelas," pungkasnya.
(ind)