Hadapi UE, Pemerintah Diharapkan Keluarkan Aturan Teknis

Sabtu, 10 Agustus 2019 - 07:06 WIB
Hadapi UE, Pemerintah...
Hadapi UE, Pemerintah Diharapkan Keluarkan Aturan Teknis
A A A
JAKARTA - Pemerintah diharapkan segera mengeluarkan peraturan teknis pelaksanaan untuk mendukung Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang moratorium izin baru perkebunan kelapa sawit, yang selama ini dianggap multi interpretasi. Adanya peraturan teknis pelaksanaan diharapkan dapat memberi kepastian hukum bagi para pelaku industri kelapa sawit nasional.

Praktisi hukum perkebunan dari Dentons HPRP, Maurice Situmorang, menilai moratorium sawit yang ditetapkan pemerintah, selain memfasilitasi survei produksi sawit nasional, juga dalam rangka merangkul keinginan Uni Eropa untuk memastikan bahwa produksi sawit dalam negeri sustainable.

Namun ia menekankan bahwa instruksi presiden ini tidak dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan teknis yang memadai, hingga menyebabkan ketidakpastian diantara para pelaku industri.

"Peraturan ini juga dapat menjadi amunisi pemerintah melawan langkah Uni Eropa yang berusaha membatasi impor minyak kelapa sawit dari Indonesia," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (9/8/2019).

Petunjuk pelaksanaan yang jelas bagi pelaku Industri, lanjut Maurice, dapat menunjukkan kepada Uni Eropa bahwa produksi sawit Indonesia adalah sustainable.

"Memang dari segi volume pasar Eropa tidak sebesar pasar China atau India, namun jika kita berbicara mengenai pasar, kita tidak hanya mau menjual produk ke India dan China saja. Kita mau hasil produksi kelapa sawit Indonesia dapat dipasarkan ke seluruh negara tanpa ada perbedaan atau diskriminasi," papar Maurice.

Pemerintah Indonesia pada saat ini tengah berupaya menuntut Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) atas tindakannya merancang kebijakan bertajuk Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II yang diajukan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019. Kebijakan ini mengklasifikasikan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) sebagai produk yang tidak berkelanjutan dan memiliki risiko tinggi.

Kebijakan ini berpotensi menghambat masuknya CPO dari Indonesia ke Eropa. Selain itu, Uni Eropa juga menerapkan Bea Masuk Imbalan Sementara (BMIS) terhadap impor biodiesel dari Indonesia terkait dugaan subsidi pada produk sawit. Besarannya berkisar antara 8-18% dan dijadwalkan mulai berlaku 6 September 2019.

"Saya tidak setuju dengan tuduhan Uni Eropa itu. Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan-Kelapa Sawit (BPDP-KS), salah satunya berasal dari pungutan pemerintah ke para pengusaha sawit yang melakukan kegiatan ekspor. Pungutan itu kemudian dikelola dalam suatu wadah yang bertujuan mengembangkan industri sawit nasional, sehingga menjadi salah kaprah kalau itu disebut atau dikategorikan sebagai bentuk subsidi, seperti yang dituduhkan," jelas Maurice.

Dia menambahkan bahwa memang WTO adalah badan yang tepat untuk menyampaikan keberatan pemerintah Indonesia, apalagi karena kita pernah menang melawan Uni Eropa di WTO pada 2013-2015, saat Uni Eropa menerapkan bea tambahan terhadap biodiesel. Namun Maurice juga meminta pemerintah agar melakukan pendekatan lain kepada Uni Eropa.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5996 seconds (0.1#10.140)