Pertimbangkan Pemasukan Negara, Perda KTR Mengatur Bukan Melarang Rokok

Sabtu, 17 Agustus 2019 - 02:28 WIB
Pertimbangkan Pemasukan Negara, Perda KTR Mengatur Bukan Melarang Rokok
Pertimbangkan Pemasukan Negara, Perda KTR Mengatur Bukan Melarang Rokok
A A A
JAKARTA - Langkah Pemerintah Daerah (Pemda) yang menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diapresiasi banyak pihak. Namun demikian, diharapkan Perda yang diterbitkan juga memperhatikan pemasukan negara.

"Perda KTR itu bagus untuk membatasi polusi karena rokok. Namun perlu juga diperhatikan pemasukan negara dari cukai dan pajak," ujar pengamat kebijakan publik Agus Wahyudin di Jakarta, Jumat (16/8/2019).

Pada 2015, pendapatan negara dari cukai tembakau mencapai Rp139,5 triliun. Kemudian pada 2016 meningkat menjadi Rp141,7 riliun. Lalu pada 2017 menjadi Rp149,9 triliun dan pada 2018 menembus Rp153 triliun.

Dia mengungkapkan, dengan terbatasnya ruang gerak perokok, maka lingkungan akan menjadi sehat. Selain itu, rokok akan sulit di akses oleh kalangan tertentu yang memang belum saatnya mengakses produk tembakau.

Menurut Direktur Eksekutif MD9 Institute itu, industri rokok merupakan industri padat karya. Dimana jumlah tenaga kerja dan share holder yang terlibat cukup banyak. Mulai dari petani tembakau, petani cengkih hingga produsen.

"Jika kemudian dilarang penuh tentu akan berdampak pada perekonomian, tertutama bagi petani," paparnya.

Sementara Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengapresiasi langkah DPRD Kota Solo yang telah mengesahkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Produk hukum yang telah diwacanakan sejak tahun 2010 ini, diharapkan dapat diaplikasikan dengan baik dan berpihak pada pedagang kecil yang selama ini menggantungkan hidupnya dari berjualan rokok.

Ketua Departemen Media Center Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Hananto Wibisono, seperti dikutip media menjelaskan, secara prinsip AMTI mengikuti dan menjalankan regulasi yang diatur oleh Pemerintah.

"Kita harus pahami kalau Perda Rokok ini bukan melarang untuk merokok namun mengatur pelaku usaha harus diberikan kepastian untuk berinvestasi dan memberikan kontribusi untuk daerahnya," jelas Hananto.

AMTI berkomitmen untuk mengawal penerapan Perda ini. Ada kontribusi negara yang cukup besar dari masyarakat tembakau untuk Indonesia. Untuk itu, keberlangsungan usaha yang bergantung pada industri ritel juga perlu diperhatikan. Hingga saat ini terdapat 11 ribu toko ritel tradisional yang berjualan rokok di wilayah Solo.

Hananto menambahkan perlu adanya sosialisasi mendalam pada masyarakat dan pendatang, agar tahu juga wilayah mana yang dilarang dan diperbolehkan untuk merokok. "Jangan sampai ada pendatang yang datang ke Solo dan dia tidak tahu soal Perda tersebut tahu-tahu disanksi karena melanggar," kata Hananto.

Sebelumnya, anggota DPRD Kota Surakarta dari Fraksi PDIP, Ginda Ferachtriawan, menjelaskan terdapat lima kawasan absolut tanpa merokok di Kota Solo. Yakni tempat pendidikan, kesehatan, ibadah, angkutan umum, dan tempat bermain anak.

"Jadi batasannya sangat jelas kawasan yang sifatnya absolut hingga keluar dari pagarnya. Yang sifatnya tidak absolut, artinya boleh menyediakan tempat untuk merokok seperti tempat kerja dan tempat umum atau di tempat luar ruangan yang terbuka," katanya. Ginda menambahkan, Perda KTR Kota Surakarta ini dibuat sesuai amanat dari Peraturan Pemerintah (PP) No.09/2012.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8426 seconds (0.1#10.140)