Asosiasi Maritim Logistik dan Transportasi Usulkan Reformasi Aturan Kepelabuhanan
A
A
A
JAKARTA - Konsep pembangunan hukum kemaritiman Indonesia masa depan dinilai memerlukan adanya undang-undang (UU) Kepelabuhanan tersendiri, yang terpisah dengan UU Pelayaran.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Masyarakat Maritim, Logistik dan Transportasi atau Indonesia Maritime Logistic Transportation (IMLOW) Achmad Ridwan Tento mengatakan, UU Kepelabuhanan diperlukan dalam rangka memberikan kepastian politik dan hukum yang berkaitan dengan investasi, tenaga kerja, perdagangan maupun kelancaran arus barang dan logistik di pelabuhan.
Dia mengusulkan, UU Kepelabuhan tersebut mencakup adanya Badan Otoritas Pelabuhan (OP) yang independen serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan kata lain, peran dan fungsi OP perlu diperkuat.
"Kami usulkan OP harus berada dalam satu badan setingkat kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kemudian dengan menjadikannya Badan Otoritas Pelabuhan (BOP), diharapkan bisa sebagai lembaga yang independen dalam mengawal dan mengawasi seluruh regulasi yang berkaitan dengan kepelabuhanan dan angkutan laut di Indonesia," ujarnya di Jakarta, Senin (9/9/2019).
Menurutnya, dalam substansi UU No 17/2008 tentang Pelayaran, Otoritas Pelabuhan yang diamanatkan untuk bisa menjamin kelancaran arus barang di pelabuhan, sama sekali tidak diberikan kewenangan tertinggi meskipun pelabuhan dikenal sebagai pintu masuk atau urat nadi perekonomian.
Ridwan mengatakan, IMLOW juga telah menyampailan usulan tersebut menindak lanjuti Surat No B–816 M/Sesneg/D-1/HK.00.02/09/2019, untuk memberikan masukan regulasi prihal hukum kepelabuhanan kepada pemerintah dalam rangka regulasi yang perlu direvisi guna mendukung penciptaan dan pengembangan usaha khususnya terkait tenaga kerja, investasi maupun perdagangan.
Dia menambahkan bahwa UU Kepelabuhanan bertujuan memberikan arah yang pasti secara politik dan hukum dalam pengembangan pelabuhan sebagai upaya meningkatkan daya saing secara global.
Terkait regulasi hukum kepelabuhanan, imbuhnya, negara disebut perlu memiliki sikap guna membuat kebijakan yang baru, yakni memisahkan antara UU Kepelabuhanan dengan UU Pelayaran, mengingat peraturan hukum kepelabuhanan saat ini masih menggunakan pola lama, sehingga tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman yang sudah sampai ke revolusi industri 4.0 sebagaimana harapan Presiden Joko Widodo.
IMLOW menilai, perlunya pemisahan regulasi kepelabuhanan dengan regulasi pelayaran, adalah suatu keharusan yang mendesak lantaran turunan PP No 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan tak berbeda jauh dari UU No 17/2008 tentang Pelayaran. "Lingkup ini, adalah bagian besar dari politik hukum pembentukan hukum kemaritiman, yang merupakan alat, merespons bagaimana hukum yang dicita-citakan mampu mengatur kepelabuhanan masa depan," pungkasnya.
Pelabuhan disebut berperan strategis pada proses menciptakan efisiensi usaha melalui kontribusi pelabuhan dalam melakukan penekanan terhadap distribution cost yang akan berdampak pada daya beli, hingga berimplikasi daya saing, multiplier effect terhadap pertumbuhan dan pendapatan nasional.
Pelabuhan merupakan sarana penghubung utama antara pusat distribusi, produksi dan pasar baik untuk skala global maupun regional. "Maka, pemisahan yang tegas antara fungsi produksi dengan distribusi dan transportasi yang mengarah pada spesialisasi akan dapat meningkatkan daya saing produk," tutupnya.
Untuk diketahui, selama ini kewenangan tertinggi yang ada pada OP belum dibekali dukungan legalitas sebagai undang-undang tersendiri. Konsekuensinya, penguatan peran lembaga tersebut sebagai regulator terkesan terabaikan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Masyarakat Maritim, Logistik dan Transportasi atau Indonesia Maritime Logistic Transportation (IMLOW) Achmad Ridwan Tento mengatakan, UU Kepelabuhanan diperlukan dalam rangka memberikan kepastian politik dan hukum yang berkaitan dengan investasi, tenaga kerja, perdagangan maupun kelancaran arus barang dan logistik di pelabuhan.
Dia mengusulkan, UU Kepelabuhan tersebut mencakup adanya Badan Otoritas Pelabuhan (OP) yang independen serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan kata lain, peran dan fungsi OP perlu diperkuat.
"Kami usulkan OP harus berada dalam satu badan setingkat kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kemudian dengan menjadikannya Badan Otoritas Pelabuhan (BOP), diharapkan bisa sebagai lembaga yang independen dalam mengawal dan mengawasi seluruh regulasi yang berkaitan dengan kepelabuhanan dan angkutan laut di Indonesia," ujarnya di Jakarta, Senin (9/9/2019).
Menurutnya, dalam substansi UU No 17/2008 tentang Pelayaran, Otoritas Pelabuhan yang diamanatkan untuk bisa menjamin kelancaran arus barang di pelabuhan, sama sekali tidak diberikan kewenangan tertinggi meskipun pelabuhan dikenal sebagai pintu masuk atau urat nadi perekonomian.
Ridwan mengatakan, IMLOW juga telah menyampailan usulan tersebut menindak lanjuti Surat No B–816 M/Sesneg/D-1/HK.00.02/09/2019, untuk memberikan masukan regulasi prihal hukum kepelabuhanan kepada pemerintah dalam rangka regulasi yang perlu direvisi guna mendukung penciptaan dan pengembangan usaha khususnya terkait tenaga kerja, investasi maupun perdagangan.
Dia menambahkan bahwa UU Kepelabuhanan bertujuan memberikan arah yang pasti secara politik dan hukum dalam pengembangan pelabuhan sebagai upaya meningkatkan daya saing secara global.
Terkait regulasi hukum kepelabuhanan, imbuhnya, negara disebut perlu memiliki sikap guna membuat kebijakan yang baru, yakni memisahkan antara UU Kepelabuhanan dengan UU Pelayaran, mengingat peraturan hukum kepelabuhanan saat ini masih menggunakan pola lama, sehingga tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman yang sudah sampai ke revolusi industri 4.0 sebagaimana harapan Presiden Joko Widodo.
IMLOW menilai, perlunya pemisahan regulasi kepelabuhanan dengan regulasi pelayaran, adalah suatu keharusan yang mendesak lantaran turunan PP No 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan tak berbeda jauh dari UU No 17/2008 tentang Pelayaran. "Lingkup ini, adalah bagian besar dari politik hukum pembentukan hukum kemaritiman, yang merupakan alat, merespons bagaimana hukum yang dicita-citakan mampu mengatur kepelabuhanan masa depan," pungkasnya.
Pelabuhan disebut berperan strategis pada proses menciptakan efisiensi usaha melalui kontribusi pelabuhan dalam melakukan penekanan terhadap distribution cost yang akan berdampak pada daya beli, hingga berimplikasi daya saing, multiplier effect terhadap pertumbuhan dan pendapatan nasional.
Pelabuhan merupakan sarana penghubung utama antara pusat distribusi, produksi dan pasar baik untuk skala global maupun regional. "Maka, pemisahan yang tegas antara fungsi produksi dengan distribusi dan transportasi yang mengarah pada spesialisasi akan dapat meningkatkan daya saing produk," tutupnya.
Untuk diketahui, selama ini kewenangan tertinggi yang ada pada OP belum dibekali dukungan legalitas sebagai undang-undang tersendiri. Konsekuensinya, penguatan peran lembaga tersebut sebagai regulator terkesan terabaikan.
(fjo)