Simplifikasi dan Penggabungan SKM-SPM Ancam Kelangsungan Industri Tembakau
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan struktur tarif cukai rokok melalui simplifikasi tarif dan penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Tangan (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menimbulkan polemik. Regulasi itu dianggap berdampak terhadap penerimaan negara dan kelangsungan industri.
Dua peneliti dari Universitas Padjajaran atau Unpad, Satriya Wibawa dan Bayu Kharisma, mengungkapkan hasil kajian terkait kebijakan cukai rokok tersebut. Kajian ini mengupas posisi Indonesia dalam Framework Convention on Tobacco Control (FTCC), serta dampak simplifikasi cukai rokok terhadap penerimaan negara, persaingan usaha, dan variabilitas harga.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan tidak turut serta meratifikasi FCTC karena dianggap sarat kepentingan asing yang berpotensi destruktif terhadap industri tembakau Tanah Air. Jika diterapkan di Indonesia, hal ini akan berpotensi menamatkan industri tembakau nasional. Sebagai pengganti, Pemerintah telah menetapkan peraturan-peraturan yang sangat ketat untuk memastikan industri ini dapat dikontrol.
Tetapi beberapa waktu terakhir timbul upaya lain untuk mengubah kebijakan struktur tarif cukai rokok melalui simplifikasi tarif dan penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Tangan (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Wacana ini masih menjadi polemik di industri tembakau Indonesia.
Dalam penelitiannya, Bayu melakukan simulasi untuk mengkaji dampak dari penggabungan SPM dan SKM. Penggabungan volume ini disimulasikan dengan adanya perubahan harga cukai per batang pada golongan 2 layer 1 dan layer 2 menjadi golongan 1.
"Simulasi memperlihatkan penjualan SKM golongan 2 layer 1 akan turun sebanyak 258.000 batang per bulan, sedangkan SKM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 113.000 batang per bulan. Selanjutnya, pada jenis rokok SPM penggabungan menyebabkan penjualan SPM golongan 2 layer 1 turun sebanyak 2.533 juta batang, dan SPM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 1.593 juta batang,” ucap Bayu Kharisma pada diskusi media yang diselengarakan oleh Forum Diskusi Ekonomi Politik di Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Imbas dari diberlakukannya penggabungan volume produksi SPM dan SKM pun akan meluas ke berbagai aspek. Bagi pelaku industri golongan II layer 1 dan 2, kenaikan tarif yang drastis akan mengancam kelangsungan usaha mereka, sehingga menyebabkan hilangnya lapangan kerja ketika banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar.
Pengurangan produksi SKM juga berdampak negatif pada pengurangan serapan tembakau lokal dan cengkeh. Saat ini, SKM golongan 2 menggunakan bahan baku lokal sebanyak 94%. "Simplifikasi bukannya menambah penjualan, yang terjadi pengurangan penjualan produk tembakau yang berakibatkan pada penerimaan negara," sebutnya.
Bayu menjelaskan, perusahaan di golongan 2 terpaksa menaikan harga rokok. Akibatnya, dengan memahami bahwa harga adalah salah satu faktor penentu bagi konsumen rokok di Indonesia, maka preferensi konsumen akan beralih ke rokok lain yang lebih murah. Harga jual eceran rokok semakin mahal dan timbul potensi rokok ilegal masuk ke pasaran untuk mengisi rokok dengan harga yang lebih murah.
"Masalah lain dari penerapan simplifikasi adanya terbentuknya pasar rokok illegal yang mana adanya penggelapan pajak," kata Bayu.
Dari sisi persaingan usaha, Bayu mengutarakan, wacana simplifikasi dan penggabungan disebut berpotensi akan mendorong ke arah oligopoli, ketika perusahaan yang terdampak oleh simplifikasi dan penggabungan terpaksa diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar. "Simplifikasi cukai tembakau akan berakibat pada variasi harga produk tembakau semakin sedikit," ucap Bayu.
Anggota Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kodrat Wibowo, menyebutkan, simplifikasi cukai tembakau berpotensi diskriminatif atas prinsip-prinsip persaingan usaha. Ketika variasi harga berkurang, maka ada indikasi pasar terpusat di beberapa industri saja.
Hal ini memunculkan persaingan tidak sehat dengan memainkan perang harga untuk menjatuhkan industri lain. "Jika ada kebijakan jumlah pabrikan berkurang itu lampu kuning bagi kami," ujar Kodrat Wibowo.
Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Mogadishu Djati Ertanto, mengatakan, multiplier effect industri tembakau sangat besar baik kepada penjual retail, maupun 1 juta petani cengkeh dan 700.000 petani tembakau. "Dampak industri ini sangat besar baik hulu maupun hilir industri," urainya.
Mogadishu menjelaskan, struktur cukai saat ini terdiri dari 10 layer sudah mengakomodasi berbagai industri tembakau. "Jika pabrik dipaksakan naik ke layer atas, belum tentu dapat pangsa pasarnya. Simplifikasi diibaratkan sebuah pabrik selalu bertanding di lapangan futsal, dengan adanya simplifikasi maka kita harus bertanding dengan pemain yang terbiasa di lapangan sepak bola yang lapangannya jauh lebih besar," tuturnya.
Berdasarkan data Bea dan Cukai, kandungan setiap rokok pada SKM golongan 2 menggunakan tembakau dalam negeri 72%, cengkeh 22%, dan tembakau impor 6%. Tercatat pada 2018 (data Kementerian Pertanian), produksi tembakau lokal sebanyak 171.360 ton, dan hampir seluruh produksi tembakau lokal terserap oleh industri tembakau dalam negeri.
Sedangkan, produksi cengkeh nasional pada tahun 2017 (data BPS) mencapai lebih dari 140.000 ton menempatkan Indonesia adalah produsen cengkeh terbesar di dunia. Hampir 90% produksi cengkeh nasional diserap oleh industri dalam negeri sebagai bahan baku rokok kretek.
Pada kesempatan, peneliti Universitas Padjajaran Satria Wibawa, mengatakan, posisi Indonesia di FCTC adalah tidak menandatangani maupun meratifikasi meskipun merupakan salah satu dari para drafting members yang ikut menyusun draft FCTC tersebut. "Indonesia punya aturan PP No 109 Tahun 2012, jika Indonesia mendatangani FCTC, maka akan banyak kepentingan asing yang mengontrol Indonesia dalam pengendalian produk tembakau," paparnya.
Satria menjelaskan, posisi negara-negara lain pada FCTC. Amerika mendatangi FCTC tapi tidak meratifikasi FCTC, karena pabrik produk tembakau besar dunia ada di Amerika. Swiss tidak meratifikasi FCTC, yang mana Swiss adalah headquater bagi berbagai produsen tembakau. Pengendalian rokok di India sangat ketat, tapi tidak pada produk tembakau asli India yaitu bidi. "Agenda FCTC tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan dan kepentingan nasional yang dimiliki oleh Indonesia," tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Budayawan Mohamad Sobary, turut menanggapi hal ini. Dikatakannya, kretek yang merupakan produk tembakau Indonesia kini dalam upaya pengekangan. Sebagai contoh, sebagai bagian dari pembatasan yang kian eksesif, produk rokok memiliki peringatan kesehatan yang semakin lama porsinya semakin besar.
Dua peneliti dari Universitas Padjajaran atau Unpad, Satriya Wibawa dan Bayu Kharisma, mengungkapkan hasil kajian terkait kebijakan cukai rokok tersebut. Kajian ini mengupas posisi Indonesia dalam Framework Convention on Tobacco Control (FTCC), serta dampak simplifikasi cukai rokok terhadap penerimaan negara, persaingan usaha, dan variabilitas harga.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan tidak turut serta meratifikasi FCTC karena dianggap sarat kepentingan asing yang berpotensi destruktif terhadap industri tembakau Tanah Air. Jika diterapkan di Indonesia, hal ini akan berpotensi menamatkan industri tembakau nasional. Sebagai pengganti, Pemerintah telah menetapkan peraturan-peraturan yang sangat ketat untuk memastikan industri ini dapat dikontrol.
Tetapi beberapa waktu terakhir timbul upaya lain untuk mengubah kebijakan struktur tarif cukai rokok melalui simplifikasi tarif dan penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Tangan (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Wacana ini masih menjadi polemik di industri tembakau Indonesia.
Dalam penelitiannya, Bayu melakukan simulasi untuk mengkaji dampak dari penggabungan SPM dan SKM. Penggabungan volume ini disimulasikan dengan adanya perubahan harga cukai per batang pada golongan 2 layer 1 dan layer 2 menjadi golongan 1.
"Simulasi memperlihatkan penjualan SKM golongan 2 layer 1 akan turun sebanyak 258.000 batang per bulan, sedangkan SKM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 113.000 batang per bulan. Selanjutnya, pada jenis rokok SPM penggabungan menyebabkan penjualan SPM golongan 2 layer 1 turun sebanyak 2.533 juta batang, dan SPM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 1.593 juta batang,” ucap Bayu Kharisma pada diskusi media yang diselengarakan oleh Forum Diskusi Ekonomi Politik di Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Imbas dari diberlakukannya penggabungan volume produksi SPM dan SKM pun akan meluas ke berbagai aspek. Bagi pelaku industri golongan II layer 1 dan 2, kenaikan tarif yang drastis akan mengancam kelangsungan usaha mereka, sehingga menyebabkan hilangnya lapangan kerja ketika banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar.
Pengurangan produksi SKM juga berdampak negatif pada pengurangan serapan tembakau lokal dan cengkeh. Saat ini, SKM golongan 2 menggunakan bahan baku lokal sebanyak 94%. "Simplifikasi bukannya menambah penjualan, yang terjadi pengurangan penjualan produk tembakau yang berakibatkan pada penerimaan negara," sebutnya.
Bayu menjelaskan, perusahaan di golongan 2 terpaksa menaikan harga rokok. Akibatnya, dengan memahami bahwa harga adalah salah satu faktor penentu bagi konsumen rokok di Indonesia, maka preferensi konsumen akan beralih ke rokok lain yang lebih murah. Harga jual eceran rokok semakin mahal dan timbul potensi rokok ilegal masuk ke pasaran untuk mengisi rokok dengan harga yang lebih murah.
"Masalah lain dari penerapan simplifikasi adanya terbentuknya pasar rokok illegal yang mana adanya penggelapan pajak," kata Bayu.
Dari sisi persaingan usaha, Bayu mengutarakan, wacana simplifikasi dan penggabungan disebut berpotensi akan mendorong ke arah oligopoli, ketika perusahaan yang terdampak oleh simplifikasi dan penggabungan terpaksa diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar. "Simplifikasi cukai tembakau akan berakibat pada variasi harga produk tembakau semakin sedikit," ucap Bayu.
Anggota Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kodrat Wibowo, menyebutkan, simplifikasi cukai tembakau berpotensi diskriminatif atas prinsip-prinsip persaingan usaha. Ketika variasi harga berkurang, maka ada indikasi pasar terpusat di beberapa industri saja.
Hal ini memunculkan persaingan tidak sehat dengan memainkan perang harga untuk menjatuhkan industri lain. "Jika ada kebijakan jumlah pabrikan berkurang itu lampu kuning bagi kami," ujar Kodrat Wibowo.
Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Mogadishu Djati Ertanto, mengatakan, multiplier effect industri tembakau sangat besar baik kepada penjual retail, maupun 1 juta petani cengkeh dan 700.000 petani tembakau. "Dampak industri ini sangat besar baik hulu maupun hilir industri," urainya.
Mogadishu menjelaskan, struktur cukai saat ini terdiri dari 10 layer sudah mengakomodasi berbagai industri tembakau. "Jika pabrik dipaksakan naik ke layer atas, belum tentu dapat pangsa pasarnya. Simplifikasi diibaratkan sebuah pabrik selalu bertanding di lapangan futsal, dengan adanya simplifikasi maka kita harus bertanding dengan pemain yang terbiasa di lapangan sepak bola yang lapangannya jauh lebih besar," tuturnya.
Berdasarkan data Bea dan Cukai, kandungan setiap rokok pada SKM golongan 2 menggunakan tembakau dalam negeri 72%, cengkeh 22%, dan tembakau impor 6%. Tercatat pada 2018 (data Kementerian Pertanian), produksi tembakau lokal sebanyak 171.360 ton, dan hampir seluruh produksi tembakau lokal terserap oleh industri tembakau dalam negeri.
Sedangkan, produksi cengkeh nasional pada tahun 2017 (data BPS) mencapai lebih dari 140.000 ton menempatkan Indonesia adalah produsen cengkeh terbesar di dunia. Hampir 90% produksi cengkeh nasional diserap oleh industri dalam negeri sebagai bahan baku rokok kretek.
Pada kesempatan, peneliti Universitas Padjajaran Satria Wibawa, mengatakan, posisi Indonesia di FCTC adalah tidak menandatangani maupun meratifikasi meskipun merupakan salah satu dari para drafting members yang ikut menyusun draft FCTC tersebut. "Indonesia punya aturan PP No 109 Tahun 2012, jika Indonesia mendatangani FCTC, maka akan banyak kepentingan asing yang mengontrol Indonesia dalam pengendalian produk tembakau," paparnya.
Satria menjelaskan, posisi negara-negara lain pada FCTC. Amerika mendatangi FCTC tapi tidak meratifikasi FCTC, karena pabrik produk tembakau besar dunia ada di Amerika. Swiss tidak meratifikasi FCTC, yang mana Swiss adalah headquater bagi berbagai produsen tembakau. Pengendalian rokok di India sangat ketat, tapi tidak pada produk tembakau asli India yaitu bidi. "Agenda FCTC tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan dan kepentingan nasional yang dimiliki oleh Indonesia," tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Budayawan Mohamad Sobary, turut menanggapi hal ini. Dikatakannya, kretek yang merupakan produk tembakau Indonesia kini dalam upaya pengekangan. Sebagai contoh, sebagai bagian dari pembatasan yang kian eksesif, produk rokok memiliki peringatan kesehatan yang semakin lama porsinya semakin besar.
(fjo)