Penyelamatan Sriwijaya Air, Pengamat: Sudah Seharusnya Ditolong Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Penyelamatan Sriwijaya Air Group menurut pengamat penerbangan Gatot Rahardjo, sudah seharusnya pemerintah memberikan pertolongan. Hal ini menanggapi kembalinya rujuk Garuda Indonesia Group bersama Sriwijaya Air Group untuk melanjutkan kerja sama manajemen setelah sebelumnya diwarnai beda pendapat antara pemegang saham dan Garuda Indonesia Group melalui anak usahanya Citilink Indonesia.
"Namun begitu, sebenarnya ada skema pertolongan. Kalau di AS dulu namanya chapter eleven terus diperbarui dengan mengikuti perkembangan zaman. Di Indonesia juga sudah punye mekanisme sebenarnya, tinggal penerapan dan political will dari pemerintah dalam hal ini Kemenhub," ujar Gatot Rahardjo kepada SINDOmedia di Jakarta, Selasa (1/10).
Caranya bukan dengan gelontoran dana dari pemerintah, tapi pengkondisian agar maskapai itu sehat. "Misalnya dengan proteksi di rute gemuk pada periode tertentu, renegoisasi utang, keringanan atau penghapusan biaya-biaya, misal biaya navigasi, kebandarudaraan, pajak dan lain-lain dalam waktu tertentu, pendampingan manajemen dan sebagainya," jelas founder Terbang.id ini.
Hal lain yang menjadi alasan bahwa Sriwijaya Air patut diselamatkan karena pangsa pasarnya sekitar 10% atau mencapai 10 juta penumpang per tahun. Dari sisi efek ekonomi juga perlu diperhatikan karena sektor ini sangat memberikan efek terhadap pertumbuhan ekonomi. "Selain itu. pada penumpang dan biro agen, juga pada karyawan yang jumlahnya lebih dari 5 ribu. Kalau kena PHK, bisa timbul gejolak sosial," ungkapnya.
Dia menambahkan bahwa jika Sriwijaya Air tak diselamatkan atau dibiarkan tidak beroperasi, maka hanya ada dua group besar yang berpotensi oligopoli yakni Garuda dan Lion. "Kalau sriwijaya kolaps, maka tinggal ada 2 grup besar yang nyata (duopoli) yaitu Garuda dan Lion. Saat ini memang Sriwijaya Air ada di bawah Garuda, tapi suatu saat bisa lepas lagi dan jadi penyeimbang," pungkasnya.
"Namun begitu, sebenarnya ada skema pertolongan. Kalau di AS dulu namanya chapter eleven terus diperbarui dengan mengikuti perkembangan zaman. Di Indonesia juga sudah punye mekanisme sebenarnya, tinggal penerapan dan political will dari pemerintah dalam hal ini Kemenhub," ujar Gatot Rahardjo kepada SINDOmedia di Jakarta, Selasa (1/10).
Caranya bukan dengan gelontoran dana dari pemerintah, tapi pengkondisian agar maskapai itu sehat. "Misalnya dengan proteksi di rute gemuk pada periode tertentu, renegoisasi utang, keringanan atau penghapusan biaya-biaya, misal biaya navigasi, kebandarudaraan, pajak dan lain-lain dalam waktu tertentu, pendampingan manajemen dan sebagainya," jelas founder Terbang.id ini.
Hal lain yang menjadi alasan bahwa Sriwijaya Air patut diselamatkan karena pangsa pasarnya sekitar 10% atau mencapai 10 juta penumpang per tahun. Dari sisi efek ekonomi juga perlu diperhatikan karena sektor ini sangat memberikan efek terhadap pertumbuhan ekonomi. "Selain itu. pada penumpang dan biro agen, juga pada karyawan yang jumlahnya lebih dari 5 ribu. Kalau kena PHK, bisa timbul gejolak sosial," ungkapnya.
Dia menambahkan bahwa jika Sriwijaya Air tak diselamatkan atau dibiarkan tidak beroperasi, maka hanya ada dua group besar yang berpotensi oligopoli yakni Garuda dan Lion. "Kalau sriwijaya kolaps, maka tinggal ada 2 grup besar yang nyata (duopoli) yaitu Garuda dan Lion. Saat ini memang Sriwijaya Air ada di bawah Garuda, tapi suatu saat bisa lepas lagi dan jadi penyeimbang," pungkasnya.
(akr)