Pembiayaan Non-Pemerintah untuk SDGs Diperkirakan Semakin Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Kementerian PPN/Bappenas mengakui, pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs) membutuhkan pembiayaan yang tak sedikit. Ke depan kontribusi pembiayaan non-pemerintah diharapkan semakin besar.
"Aspek pembiayaan tentunya tidak dapat dilupakan dalam pencapaian tujuan-tujuan dari SDGs," ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam SDGs Annual Conference 2019 di Jakarta, Rabu(9/10/2019).
Kesenjangan pembiayaan SDGs di negara-negara berkembang, kata dia, seperti halnya Indonesia, juga tidak kecil. "Gap-nya bisa mencapai USD2,5 triliun per tahun, sementara GDP Indonesia saat ini hanya lebih dari USD1 triliun. Ini berarti ada kesenjangan pembiayaan SDGs," lanjut Bambang.
Lebih lanjut, dia mengatakan, skenario pembiayaannya bisa memakai konsep seperti biasanya (business as usual), moderat atau intervensi intensif yang tinggi (high scenario). Upaya pembiayaan untuk mencapai tujuan SDGs tidak bisa bergantung sepenuhnya pada APBN.
Bambang menjelaskan bahwa SDGs didesain untuk multiplatform, bukan hanya dikhususkan untuk pemerintah, melainkan melibatkan banyak pihak untuk saling berkolaborasi dan membiayainya bersama.
"Memakai high scenario, kebutuhan investasi non-pemerintah untuk pembiayaan SDGs 2020-2024 sebesar Rp7.638 triliun, dan untuk 2025-2030 sebesar Rp20.197 triliun," jelas Bambang.
Ia mengatakan bahwa peranan non-pemerintah diperkirakan akan terus meningkat seiring waktu. Nantinya, masih dalam skenario tinggi, kontribusi non-pemerintah diperkirakan meningkat dari 38,2% (2020-2024) menjadi 42,3% (2025-2030).
"Oleh karena itu, perlu ada perubahan paradigma pembiayaan, dari development financing ke financing for development dan inovasi pembiayaan. Contoh inovasi pembiayaan inovatif antara lain PINA, crowdfunding, filantropi, social impact fund, green fund, dan lain sebagainya," tuturnya.
"Aspek pembiayaan tentunya tidak dapat dilupakan dalam pencapaian tujuan-tujuan dari SDGs," ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam SDGs Annual Conference 2019 di Jakarta, Rabu(9/10/2019).
Kesenjangan pembiayaan SDGs di negara-negara berkembang, kata dia, seperti halnya Indonesia, juga tidak kecil. "Gap-nya bisa mencapai USD2,5 triliun per tahun, sementara GDP Indonesia saat ini hanya lebih dari USD1 triliun. Ini berarti ada kesenjangan pembiayaan SDGs," lanjut Bambang.
Lebih lanjut, dia mengatakan, skenario pembiayaannya bisa memakai konsep seperti biasanya (business as usual), moderat atau intervensi intensif yang tinggi (high scenario). Upaya pembiayaan untuk mencapai tujuan SDGs tidak bisa bergantung sepenuhnya pada APBN.
Bambang menjelaskan bahwa SDGs didesain untuk multiplatform, bukan hanya dikhususkan untuk pemerintah, melainkan melibatkan banyak pihak untuk saling berkolaborasi dan membiayainya bersama.
"Memakai high scenario, kebutuhan investasi non-pemerintah untuk pembiayaan SDGs 2020-2024 sebesar Rp7.638 triliun, dan untuk 2025-2030 sebesar Rp20.197 triliun," jelas Bambang.
Ia mengatakan bahwa peranan non-pemerintah diperkirakan akan terus meningkat seiring waktu. Nantinya, masih dalam skenario tinggi, kontribusi non-pemerintah diperkirakan meningkat dari 38,2% (2020-2024) menjadi 42,3% (2025-2030).
"Oleh karena itu, perlu ada perubahan paradigma pembiayaan, dari development financing ke financing for development dan inovasi pembiayaan. Contoh inovasi pembiayaan inovatif antara lain PINA, crowdfunding, filantropi, social impact fund, green fund, dan lain sebagainya," tuturnya.
(fjo)