Laporan WEF: Ranking Daya Saing Indonesia Turun Lima Peringkat
A
A
A
JAKARTA - Peringkat daya saing Indonesia berdasarkan laporan World Economics Forum (WEF) 2019 turun lima peringkat menjadi urutan ke-50, dibanding tahun sebelumnya di posisi 45. Laporan terbaru yang dirilis Rabu (8/10) itu mengindikasikan masih perlunya perbaikan struktural untuk memperbaiki daya saing nasional.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, ada beberapa masalah daya saing yang membuat Indonesia tertinggal. Pertama, pada sisi pelayanan publik (public sector perfomance) turun skornya menjadi 54,6. Secara keseluruhan poin indeks daya saing indonesia tahun ini turun 0,3 poin menjadi 64,6 poin dibanding 2018 yang mencapai 64,9 poin.
"Ada indikasi hambatan regulasi masih jadi masalah struktural yang belum dibenahi serius. Misalnya, OSS (online single submission) belum sinkron dengan perizinan daerah," kata Bhima di Jakarta kemarin. OSS merupakan sistem pelayanan perizinan terintegrasi berbasis elektronik yang diluncurkan pemerintah Juli tahun lalu.
Bhima berpendapat, faktor lain yang menyebabkan turunnya indeks daya saing Indonesia adalah terkait keterampilan sumber daya manusia (SDM) yang masih terbilang rendah, yakni di angka 64. Hal ini menjadi pertanyaan besar jika melihat alokasi anggaran pendidikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai 20%.
“Ini (anggaran) ternyata belum bisa mempersiapkan SDM untuk bersaing di era digital. Jumlah startup kita sudah mencapai 2.150 dan masih kesulitan mencari SDM di bidang data analyst, cyber security dan AI (artificial intelligence). Jadi alokasi dan efektivitas dana pendidikan perlu dievaluasi kembali," ungkapnya.
Pada daftar Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index) 2019, Singapura berada di posisi teratas setelah menggeser Amerika Serikat (AS). Adapun urutan ketiga hingga kesepuluh adalah Hong Kong, Belanda, Swiss, Jepang, Jerman, Swedia, Inggris dan Denmark. Di ASEAN, posisi daya saing Indonesia kalah dibanding menjadi negara lainya seperti Malaysia yang berada di rangking ke-27, dan Thailand di posisi 40.
Singapura menjadi negara dengan daya saing paling baik di dunia karena berhasil mendapatkan rangking tertinggi di mulai dari infrastruktur, TIK, stabilitas makro-ekonomi, kesehatan, hingga pasar tenaga kerja. Tahun ini, Singapura meraih total nilai 84,8, naik dari 83,5 pada tahun lalu. Bandingkan dengan AS yang memperoleh nilai 83,7 dan Indonesia 64,6.
“Kekuatan utama Indonesia ialah ukuran pasar, ketujuh terbesar di dunia, dan stabilitas makro-ekonomi, ke-54 terbesar di dunia,” ungkap WEF dalam laporannya. “Melihat kinerja di pilar yang lain, Indonesia masih memiliki ruang yang luas untuk ditingkatkan, meski jarak dengan negara lain tidak jauh,” ungkap WEF.
Menurut WEF, Indonesia juga mengalami perbaikan di dalam budaya bisnis, stabilitas sistem keuangan, dan tingkat adopsi teknologi. Sebagai negara berkembang, kapasitas inovasi di Tanah Air tidak bergerak fantastis dan terbatas dibanding negara lain. Namun, terus mengalami kenaikkan dibanding setahun sebelumnya.
“Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan salah satu ekonomi emerging paling terhubung di dunia,” ungkap WEF. “Budaya usaha dan dinamisme bisnis bergerak menuju masa depan yang cerah. Indonesia hanya perlu meningkatkan beberapa pilar seperti riset dan kesehatan.”
Menanggapi turunnya indeks daya saing Indonesia di tataran global, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto mengatakan, laporan Global Competitiveness Report menujukkan masih adanya kekurangan dalam upaya pemerintah mempermudah atau memangkas perizinan.
Padahal, kata dia, di sisi lain dari sisi perangkat hukum pemerintah sebenarnya sudah memangkas berbagai aturan yang menghambat. Namun, pada kenyataannya belum bisa sinkron antara kebijakan pusat dan daerah. “Di institusi pusat hingga ke daerah. Saya kira di daerah justru biasa ada masalah. Karena lingkupnya kecil terkadang koordinasinya juga tidak tersampaikan dari pusat,” ujarnya kepada KORAN SINDO tadi malam.
Menurut Carmelita, perizinan di pusat sudah kelihatan mudah di permukaan. Dia mencontohkan, proses keluar masuk barang di pelabuhan yang sudah mampu dipangkas. “Saya ambil contoh di pelabuhan-pelabuhan utama itu yang namanya dwelling time sudah bisa dipangkas. Sekarang tinggal kita lihat keluar pelabuhan, pengiriman barang itu kendalanya di mana, bisa karena faktor kemacetan dan lain-lain,” ucapnya.
Sementara itu, Bhima mengungkapkan, faktor lain yang masih menjadi kendala dalam hal peningkatan daya saing adalah terkait komponen untuk mengadaposi informasi, komunikasi dan telekomunikasi (ICT) yang masih rendah dan harus menjadi perhatian serius.
Ini terlihat dari belum meratanya akses internet ke luar Jawa. “Faktor lain adalah utilitas infrastruktur yang skornya turun menjadi hanya 79,4 karena ketersediaan air bersih belum maksimal ke daerah-daerah yang mengalami masalah air bersih.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, ada beberapa masalah daya saing yang membuat Indonesia tertinggal. Pertama, pada sisi pelayanan publik (public sector perfomance) turun skornya menjadi 54,6. Secara keseluruhan poin indeks daya saing indonesia tahun ini turun 0,3 poin menjadi 64,6 poin dibanding 2018 yang mencapai 64,9 poin.
"Ada indikasi hambatan regulasi masih jadi masalah struktural yang belum dibenahi serius. Misalnya, OSS (online single submission) belum sinkron dengan perizinan daerah," kata Bhima di Jakarta kemarin. OSS merupakan sistem pelayanan perizinan terintegrasi berbasis elektronik yang diluncurkan pemerintah Juli tahun lalu.
Bhima berpendapat, faktor lain yang menyebabkan turunnya indeks daya saing Indonesia adalah terkait keterampilan sumber daya manusia (SDM) yang masih terbilang rendah, yakni di angka 64. Hal ini menjadi pertanyaan besar jika melihat alokasi anggaran pendidikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai 20%.
“Ini (anggaran) ternyata belum bisa mempersiapkan SDM untuk bersaing di era digital. Jumlah startup kita sudah mencapai 2.150 dan masih kesulitan mencari SDM di bidang data analyst, cyber security dan AI (artificial intelligence). Jadi alokasi dan efektivitas dana pendidikan perlu dievaluasi kembali," ungkapnya.
Pada daftar Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index) 2019, Singapura berada di posisi teratas setelah menggeser Amerika Serikat (AS). Adapun urutan ketiga hingga kesepuluh adalah Hong Kong, Belanda, Swiss, Jepang, Jerman, Swedia, Inggris dan Denmark. Di ASEAN, posisi daya saing Indonesia kalah dibanding menjadi negara lainya seperti Malaysia yang berada di rangking ke-27, dan Thailand di posisi 40.
Singapura menjadi negara dengan daya saing paling baik di dunia karena berhasil mendapatkan rangking tertinggi di mulai dari infrastruktur, TIK, stabilitas makro-ekonomi, kesehatan, hingga pasar tenaga kerja. Tahun ini, Singapura meraih total nilai 84,8, naik dari 83,5 pada tahun lalu. Bandingkan dengan AS yang memperoleh nilai 83,7 dan Indonesia 64,6.
“Kekuatan utama Indonesia ialah ukuran pasar, ketujuh terbesar di dunia, dan stabilitas makro-ekonomi, ke-54 terbesar di dunia,” ungkap WEF dalam laporannya. “Melihat kinerja di pilar yang lain, Indonesia masih memiliki ruang yang luas untuk ditingkatkan, meski jarak dengan negara lain tidak jauh,” ungkap WEF.
Menurut WEF, Indonesia juga mengalami perbaikan di dalam budaya bisnis, stabilitas sistem keuangan, dan tingkat adopsi teknologi. Sebagai negara berkembang, kapasitas inovasi di Tanah Air tidak bergerak fantastis dan terbatas dibanding negara lain. Namun, terus mengalami kenaikkan dibanding setahun sebelumnya.
“Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan salah satu ekonomi emerging paling terhubung di dunia,” ungkap WEF. “Budaya usaha dan dinamisme bisnis bergerak menuju masa depan yang cerah. Indonesia hanya perlu meningkatkan beberapa pilar seperti riset dan kesehatan.”
Menanggapi turunnya indeks daya saing Indonesia di tataran global, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto mengatakan, laporan Global Competitiveness Report menujukkan masih adanya kekurangan dalam upaya pemerintah mempermudah atau memangkas perizinan.
Padahal, kata dia, di sisi lain dari sisi perangkat hukum pemerintah sebenarnya sudah memangkas berbagai aturan yang menghambat. Namun, pada kenyataannya belum bisa sinkron antara kebijakan pusat dan daerah. “Di institusi pusat hingga ke daerah. Saya kira di daerah justru biasa ada masalah. Karena lingkupnya kecil terkadang koordinasinya juga tidak tersampaikan dari pusat,” ujarnya kepada KORAN SINDO tadi malam.
Menurut Carmelita, perizinan di pusat sudah kelihatan mudah di permukaan. Dia mencontohkan, proses keluar masuk barang di pelabuhan yang sudah mampu dipangkas. “Saya ambil contoh di pelabuhan-pelabuhan utama itu yang namanya dwelling time sudah bisa dipangkas. Sekarang tinggal kita lihat keluar pelabuhan, pengiriman barang itu kendalanya di mana, bisa karena faktor kemacetan dan lain-lain,” ucapnya.
Sementara itu, Bhima mengungkapkan, faktor lain yang masih menjadi kendala dalam hal peningkatan daya saing adalah terkait komponen untuk mengadaposi informasi, komunikasi dan telekomunikasi (ICT) yang masih rendah dan harus menjadi perhatian serius.
Ini terlihat dari belum meratanya akses internet ke luar Jawa. “Faktor lain adalah utilitas infrastruktur yang skornya turun menjadi hanya 79,4 karena ketersediaan air bersih belum maksimal ke daerah-daerah yang mengalami masalah air bersih.
(don)