Pakar Ekonomi Minta Rencana Kenaikkan Cukai dan HJE Rokok Ditunda
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah kembali diminta menunda kenaikkan cukai rokok yang akan diberlakukan tahun depan, dimana kali ini datang dari pakar ekonomi. Salah satu prestasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode pertama pemerintahannya adalah pengendalian inflasi. Dan di periode kedua nanti, pemerintah dituntut kembali mempertahankan prestasi tersebut.
Untuk itu, wacana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok masing masing sebesar 23% dan 35% sebaiknya dibatalkan. Kenaikan cukai dan HJE rokok bila ditinjau dari kaca mata ekonomi secara komprehensif dapat menimbulkan inflasi dan dampak ekonomi negatif bagi masyarakat dan negara.
“Bila dilihat dari sisi penerimaan negara, kenaikan cukai dan kenaikan HJE rokok dapat sedikit membantu menambah pendapatan negara. Namun bila ditinjau secara komprehensif dari sisi makro ekonomi, kebijakan tersebut merugikan masyarakat dan pada akhirnya akan menimbulkan inflasi yang tinggi," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), Prof Chandra Fajri Ananda di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Padahal, lanjut dia, selama periode pertama, Presiden Jokowi, dianggap berhasil mengendalikan inflasi. Karena itu, kebijakan menaikan cukai dan HJE rokok sebaiknya ditunda. "Bila dipaksakan akan menimbulkan inflasi tinggi sekaligus merugikan citra pemerintahan Preisiden Jokowi di periode kedua sekaligus mengganggu perekonomian nasional saat kondisi ekonomi saat ini sedang kurang menggembirakan,” papar Chandra.
Pakar ekonomi yang menyelesaikan pendidikan doktornya di Jerman ini menjelaskan, dalam suasana ekonomi yang sedang tidak baik seperti saat ini, di mana angka ekspor turun, impor naik, pendapatan masyarakat turun, jauh lebih bijaksana bila Kementerian Keuangan menunda rencana kenaikan cukai dan HJE rokok ditunda sambal menunggu suasana ekonomi kondusif. Pemerintah perlu membuat kondisi ekonomi stabil terlebih dahulu, baru kemudian menaikan cukai rokok.
Selain itu, lanjut Chandra, sebelum mengambil keputusan menaikkan cukai dan HJE rokok, pemerintah perlu membuat kebijakan yang komprehensif. Baik dari sisi kesehatan, pertanian, perdagangan, perindustri juga fiskal atau keuangan dengan melibatkan para pemangku kepentingan di setiap kementrian secara Bersama sama.
“Karena itu pemerintah perlu duduk bersama antara Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, bersama kalangan akademisi atau perguruan tinggi, pakar kesehatan, perwakilan masyarakat petani dan juga dari kalangan lembaga swadaya masyarakat. Setelah rembukan tersebut menghasilkan keputusan yang terbaik dan kesepakatan bersama, barulah keputusan itu menjadi acuan pemerintah untuk dituangkan dalam bentuk kebijakan dan diimplementasikan," paparnya.
Agar masyarakat tidak bingung, harap dia, pemerintah harus mengkomunikasikan alasan dari dikeluarkannya kebijakan tersebut kepada publik. "Sehingga masyarakat menerima dan menjalankannya. Tidak lagi menimbulkan perdebatan dan penolakan yang tajam (seperti saat ini),” cetusnya.
Diakui Chandra, dari sisi makro ekonomi, cukai memiliki dua fungsi. Pertama untuk penerimaan negara. Kedua guna pengendalian produk itu sendiri. Dari sisi penerimaan negara, dia mempertanyakan, mengapa hanya cukai rokok saja yang terus dinaikkan untuk menambah pendapatan negara.
Sementara masih banyak produk atau sektor lain yang hingga saat ini belum dikenakan cukai. "Padahal di negara maju sudah dikenakan cukai. Sementara industri rokok sudah terlalu dibebani dengan banyak aturan atau over regulated," imbuhnya.
Menurut dia, Kementerian Keuangan kemungkinan sudah membuat perhitungan jika cukai dan HJE dinaikkan sekian persen akan terjadi penurunan produksi rokok dan penurunan tingkat pembelian rokok. Namun penurunan tersebut sudah tertutupi dengan adanya kenaikan cukai yang tinggi.
“Namun seharusnya tidak hanya melihat sampai di situ. Harus dipikirkan juga, jika kenaikkan cukai yang tinggi berdampak pada berhentinya operasinya pabrik-pabrik rokok, maka mata penghasilan petani tembakau, buruh pabrik rokok, karyawan jasa distribusi dan logistik serta bidang lainnya juga terganggu," katanya.
Hal ini dapat mengganggu perekonomian masyarakat dan berdampak pada penerimaan negara. Akibatnya, penambahan penerimaan negara dari kenaikan cukai rokok, tidak menutup biaya yang harus ditutup pemerintah akibatnya banyaknya lapangan pekerjaan industr rokok dan petani tembakau yang hilang. Selain itu, keuangan pemerintah daerah juga terganggu.
"Sebab dari cukai rokok tersebut ada bagian buat pemerintah daerah. Jika pabrik rokoknya tutup, cukai rokok berkurang, pendapatan daerah juga berkurang. Hal ini akan berakibat pada pembangunan di daerah juga terganggu,” papar ayah empat anak ini.
Sementara dari sisi pengendalian, jelas dia, tidak seharusnya industri rokok dimatikan dengan pengenaan cukai dan HJE yang tinggi agar masyarakat perokok berkurang. Melainkan pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi akan pentingnya hidup sehat dan penegakan regulasi yang konsisten.
Untuk itu, wacana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok masing masing sebesar 23% dan 35% sebaiknya dibatalkan. Kenaikan cukai dan HJE rokok bila ditinjau dari kaca mata ekonomi secara komprehensif dapat menimbulkan inflasi dan dampak ekonomi negatif bagi masyarakat dan negara.
“Bila dilihat dari sisi penerimaan negara, kenaikan cukai dan kenaikan HJE rokok dapat sedikit membantu menambah pendapatan negara. Namun bila ditinjau secara komprehensif dari sisi makro ekonomi, kebijakan tersebut merugikan masyarakat dan pada akhirnya akan menimbulkan inflasi yang tinggi," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), Prof Chandra Fajri Ananda di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Padahal, lanjut dia, selama periode pertama, Presiden Jokowi, dianggap berhasil mengendalikan inflasi. Karena itu, kebijakan menaikan cukai dan HJE rokok sebaiknya ditunda. "Bila dipaksakan akan menimbulkan inflasi tinggi sekaligus merugikan citra pemerintahan Preisiden Jokowi di periode kedua sekaligus mengganggu perekonomian nasional saat kondisi ekonomi saat ini sedang kurang menggembirakan,” papar Chandra.
Pakar ekonomi yang menyelesaikan pendidikan doktornya di Jerman ini menjelaskan, dalam suasana ekonomi yang sedang tidak baik seperti saat ini, di mana angka ekspor turun, impor naik, pendapatan masyarakat turun, jauh lebih bijaksana bila Kementerian Keuangan menunda rencana kenaikan cukai dan HJE rokok ditunda sambal menunggu suasana ekonomi kondusif. Pemerintah perlu membuat kondisi ekonomi stabil terlebih dahulu, baru kemudian menaikan cukai rokok.
Selain itu, lanjut Chandra, sebelum mengambil keputusan menaikkan cukai dan HJE rokok, pemerintah perlu membuat kebijakan yang komprehensif. Baik dari sisi kesehatan, pertanian, perdagangan, perindustri juga fiskal atau keuangan dengan melibatkan para pemangku kepentingan di setiap kementrian secara Bersama sama.
“Karena itu pemerintah perlu duduk bersama antara Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, bersama kalangan akademisi atau perguruan tinggi, pakar kesehatan, perwakilan masyarakat petani dan juga dari kalangan lembaga swadaya masyarakat. Setelah rembukan tersebut menghasilkan keputusan yang terbaik dan kesepakatan bersama, barulah keputusan itu menjadi acuan pemerintah untuk dituangkan dalam bentuk kebijakan dan diimplementasikan," paparnya.
Agar masyarakat tidak bingung, harap dia, pemerintah harus mengkomunikasikan alasan dari dikeluarkannya kebijakan tersebut kepada publik. "Sehingga masyarakat menerima dan menjalankannya. Tidak lagi menimbulkan perdebatan dan penolakan yang tajam (seperti saat ini),” cetusnya.
Diakui Chandra, dari sisi makro ekonomi, cukai memiliki dua fungsi. Pertama untuk penerimaan negara. Kedua guna pengendalian produk itu sendiri. Dari sisi penerimaan negara, dia mempertanyakan, mengapa hanya cukai rokok saja yang terus dinaikkan untuk menambah pendapatan negara.
Sementara masih banyak produk atau sektor lain yang hingga saat ini belum dikenakan cukai. "Padahal di negara maju sudah dikenakan cukai. Sementara industri rokok sudah terlalu dibebani dengan banyak aturan atau over regulated," imbuhnya.
Menurut dia, Kementerian Keuangan kemungkinan sudah membuat perhitungan jika cukai dan HJE dinaikkan sekian persen akan terjadi penurunan produksi rokok dan penurunan tingkat pembelian rokok. Namun penurunan tersebut sudah tertutupi dengan adanya kenaikan cukai yang tinggi.
“Namun seharusnya tidak hanya melihat sampai di situ. Harus dipikirkan juga, jika kenaikkan cukai yang tinggi berdampak pada berhentinya operasinya pabrik-pabrik rokok, maka mata penghasilan petani tembakau, buruh pabrik rokok, karyawan jasa distribusi dan logistik serta bidang lainnya juga terganggu," katanya.
Hal ini dapat mengganggu perekonomian masyarakat dan berdampak pada penerimaan negara. Akibatnya, penambahan penerimaan negara dari kenaikan cukai rokok, tidak menutup biaya yang harus ditutup pemerintah akibatnya banyaknya lapangan pekerjaan industr rokok dan petani tembakau yang hilang. Selain itu, keuangan pemerintah daerah juga terganggu.
"Sebab dari cukai rokok tersebut ada bagian buat pemerintah daerah. Jika pabrik rokoknya tutup, cukai rokok berkurang, pendapatan daerah juga berkurang. Hal ini akan berakibat pada pembangunan di daerah juga terganggu,” papar ayah empat anak ini.
Sementara dari sisi pengendalian, jelas dia, tidak seharusnya industri rokok dimatikan dengan pengenaan cukai dan HJE yang tinggi agar masyarakat perokok berkurang. Melainkan pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi akan pentingnya hidup sehat dan penegakan regulasi yang konsisten.
(akr)