Industri Manufaktur Berkontribusi 75% ke Ekspor Nasional
A
A
A
JAKARTA - Industri pengolahan masih memberikan kontribusi paling besar terhadap nilai ekspor nasional. Tercatat, pada Januari-September 2019, nilai pengapalan produk sektor manufaktur menembus hingga USD93,7 miliar atau menyumbang 75,51% terhadap total ekspor nasional yang mencapai USD124,1 miliar.
“Jadi, kontribusi sektor industri manufaktur lebih dari 75% tersebut, mematahkan bahwa ekspor nasional kita tidak sepenuhnya komoditas. Artinya, peran hilirisasi industri dalam meningkatkan nilai tambah juga berjalan dan produk kita kompetitif di kancah global,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, volume ekspor nasional secara kumulatif meningkat 7,57% dari Januari-September 2018 sebanyak 448,2 juta ton menjadi 482,1 juta ton pada periode yang sama di tahun ini. Lonjakan tersebut, ditopang oleh peningkatan volume ekspor nonmigas sebesar 9,9 persen atau 462 juta ton hingga kuartal III-2019.
Adapun 10 produk yang berperan besar terhadap capaian nilai ekspor nonmigas sampai triwulan III-2019, yaitu lemak dan minyak hewan/nabati; mesin/peralatan listrik; kendaraan dan bagiannya; besi dan baja; serta perhiasan/permata.
Selanjutnya, karet dan barang dari karet; pakaian jadi bukan rajutan; bijih, kerak, dan abu logam; berbagai makanan olahan; serta kapal laut. Ke-10 golongan barang tersebut, memberikan kontribusi sebesar 40,51 persen terhadap total ekspor nonmigas.
Sementara itu, pada Januari-September 2019, neraca perdagangan yang surplus dari sektor industri manufaktur, di antaranya adalah industri makanan yang surplus senilai USD11,8 juta, industri pakaian jadi (USD5,6 juta), industri kertas dan barang dari kertas (USD3 juta),
Berikutnya, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki (USD2,4 juta), industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya (USD2,3 juta), industri karet, barang dari karet dan plastik (USD2,2 juta), industri furnitur (USD970 ribu), industri pengolahan tembakau (USD424 ribu), serta industri pengolahan lainnya (USD1,5 juta).
Mengenai tujuan utama ekspor, Tiongkok tetap sebagai negara yang terbesar nilainya, yaitu mencapai USD18,4 miliar (15,99 persen), diikuti Amerika Serikat dengan nilai USD13 miliar (11,33 persen), dan Jepang sebesar USD10,2 miliar (8,92 persen).
Masih di periode yang sama tahun ini, neraca perdagangan nonmigas Indonesia yang surplus antara lain adalah Amerika Serikat senilai USD6,8 miliar, diikuti India (USD5,4 miliar), dan Belanda (USD1,6 miliar).
Menperin mengungkapkan, pihaknya akan menghapus 18 regulasi demi mengantisipasi berlanjutnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang diprediksi berdampak pada terjadinya resesi global. Pemangkasan aturan tersebut, diharapkan dapat mempermudah laju nilai ekspor dan investasi.
“Ada 18 regulasi yang sedang difinalisasi, yang 12 dihapuskan, dan enam lagi disederhanakan. Prosesnya sedang dikebut agar bisa langsung diimplementasikan sebelum pelantikan kabinet baru,” ujarnya.
Ke-18 regulasi tersebut, sebagian besar terkait pengadaan bahan baku industri, terutama di sektor industri logam. Menurutnya, industri logam menjadi salah satu sektor pokok karena produknya dibutuhkan banyak industri lainnya.
Selain itu, sektor logam dinilai penting karena produk turunannya berorientasi ekspor seperti yang dihasilkan oleh industri otomotif. “Karena logam itu jadi bahan baku untuk kebanyakan industri. Bahkan, industri logam itu sendiri banyak meminta perlindungan," ucap Airlangga.
Nantinya, produk jadi industri logam akan dilindungi dengan regulasi berupa Peraturan Menteri Perindustrian. Sedangkan, regulasi terkait bahan baku, akan dimudahkan untuk pasar domestik maupun untuk ekspor.
Keputusan pemangkasan regulasi sektor industri ini, didasari berbagai masukan dari pelaku usaha serta instruksi Presiden Joko Widodo. Diharapkan, dengan kemudahan tersebut, banyak investor asing atau lokal yang tertarik untuk investasi dan ekspansi sehingga bisa memperdalam struktur dan meningkatkan daya saing industri di dalam negeri.
“Ke depan, terkait dengan percepatan impelementasi Making Indonesia 4.0, kami berharap adanya Peraturan Presiden. Sebab, ini bersifat lintas sektoral sehingga bisa terkoordinasi lebih baik,” tegasnya.
“Jadi, kontribusi sektor industri manufaktur lebih dari 75% tersebut, mematahkan bahwa ekspor nasional kita tidak sepenuhnya komoditas. Artinya, peran hilirisasi industri dalam meningkatkan nilai tambah juga berjalan dan produk kita kompetitif di kancah global,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, volume ekspor nasional secara kumulatif meningkat 7,57% dari Januari-September 2018 sebanyak 448,2 juta ton menjadi 482,1 juta ton pada periode yang sama di tahun ini. Lonjakan tersebut, ditopang oleh peningkatan volume ekspor nonmigas sebesar 9,9 persen atau 462 juta ton hingga kuartal III-2019.
Adapun 10 produk yang berperan besar terhadap capaian nilai ekspor nonmigas sampai triwulan III-2019, yaitu lemak dan minyak hewan/nabati; mesin/peralatan listrik; kendaraan dan bagiannya; besi dan baja; serta perhiasan/permata.
Selanjutnya, karet dan barang dari karet; pakaian jadi bukan rajutan; bijih, kerak, dan abu logam; berbagai makanan olahan; serta kapal laut. Ke-10 golongan barang tersebut, memberikan kontribusi sebesar 40,51 persen terhadap total ekspor nonmigas.
Sementara itu, pada Januari-September 2019, neraca perdagangan yang surplus dari sektor industri manufaktur, di antaranya adalah industri makanan yang surplus senilai USD11,8 juta, industri pakaian jadi (USD5,6 juta), industri kertas dan barang dari kertas (USD3 juta),
Berikutnya, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki (USD2,4 juta), industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya (USD2,3 juta), industri karet, barang dari karet dan plastik (USD2,2 juta), industri furnitur (USD970 ribu), industri pengolahan tembakau (USD424 ribu), serta industri pengolahan lainnya (USD1,5 juta).
Mengenai tujuan utama ekspor, Tiongkok tetap sebagai negara yang terbesar nilainya, yaitu mencapai USD18,4 miliar (15,99 persen), diikuti Amerika Serikat dengan nilai USD13 miliar (11,33 persen), dan Jepang sebesar USD10,2 miliar (8,92 persen).
Masih di periode yang sama tahun ini, neraca perdagangan nonmigas Indonesia yang surplus antara lain adalah Amerika Serikat senilai USD6,8 miliar, diikuti India (USD5,4 miliar), dan Belanda (USD1,6 miliar).
Menperin mengungkapkan, pihaknya akan menghapus 18 regulasi demi mengantisipasi berlanjutnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang diprediksi berdampak pada terjadinya resesi global. Pemangkasan aturan tersebut, diharapkan dapat mempermudah laju nilai ekspor dan investasi.
“Ada 18 regulasi yang sedang difinalisasi, yang 12 dihapuskan, dan enam lagi disederhanakan. Prosesnya sedang dikebut agar bisa langsung diimplementasikan sebelum pelantikan kabinet baru,” ujarnya.
Ke-18 regulasi tersebut, sebagian besar terkait pengadaan bahan baku industri, terutama di sektor industri logam. Menurutnya, industri logam menjadi salah satu sektor pokok karena produknya dibutuhkan banyak industri lainnya.
Selain itu, sektor logam dinilai penting karena produk turunannya berorientasi ekspor seperti yang dihasilkan oleh industri otomotif. “Karena logam itu jadi bahan baku untuk kebanyakan industri. Bahkan, industri logam itu sendiri banyak meminta perlindungan," ucap Airlangga.
Nantinya, produk jadi industri logam akan dilindungi dengan regulasi berupa Peraturan Menteri Perindustrian. Sedangkan, regulasi terkait bahan baku, akan dimudahkan untuk pasar domestik maupun untuk ekspor.
Keputusan pemangkasan regulasi sektor industri ini, didasari berbagai masukan dari pelaku usaha serta instruksi Presiden Joko Widodo. Diharapkan, dengan kemudahan tersebut, banyak investor asing atau lokal yang tertarik untuk investasi dan ekspansi sehingga bisa memperdalam struktur dan meningkatkan daya saing industri di dalam negeri.
“Ke depan, terkait dengan percepatan impelementasi Making Indonesia 4.0, kami berharap adanya Peraturan Presiden. Sebab, ini bersifat lintas sektoral sehingga bisa terkoordinasi lebih baik,” tegasnya.
(akr)