Ekonom Ingatkan Tantangan Ekonomi ke Depan Semakin Kompleks
A
A
A
JAKARTA - Pelemahan dan resesi ekonomi dunia masih akan menjadi tantangan di era pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin yang telah dilantik sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019-2024.
Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho, pada periode kedua ini, presiden dihadapkan dengan tantangan ekonomi yang tidak mudah. Perang dagang Amerika Serikat (AS)-China kini dihadapkan pada kondisi kedua negara yang sama-sama mulai menanggung dampaknya.
"Alih-alih mendapatkan kesempatan dari diversi perdagangan, Indonesia malah menjadi korban perang dagang," ujarnya di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Andry melanjutkan, perang dagang antara AS dan China mampu menekan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga China menjadi yang terendah selama 27 tahun. Pada September, pertumbuhan ekspor China menurun 3,2%, sementara impornya menurun hingga 8,5% dibanding tahun lalu.
"Tentunya penurunan pertumbuhan ekspor terbesar terjadi dengan Amerika Serikat dengan penurunan sebesar 7,8% dan impor menurun hingga sebesar 31,2%. Perdagangan China sudah mengarah pada perlambatan," jelasnya.
Menurutnya, pelemahan indikator perdagangan ini disebabkan oleh pengenaan tarif yang tinggi oleh AS terhadap komoditas impor dari China. Kondisi ini memaksa industri domestik China untuk mengencangkan ikat pinggang. Beberapa diantaranya memilih untuk relokasi pabrik serta basis produksinya ke beberapa negara sekitar seperti India, Vietnam, Thailand dan Malaysia demi tetap masuk ke pasar Amerika Serikat.
"Melambatnya perekonomian China bisa menjadi pertanda yang tidak cukup menggembirakan bagi perdagangan Indonesia. Alasannya, mitra dagang terbesar Indonesia adalah China dengan total perdagangan mencapai USD45,9 miliar sepanjang Januari hingga Agustus tahun ini. China juga menjadi negara tujuan ekspor terbesar asal Indonesia mencapai USD17,2 miliar," paparnya.
Beberapa komoditas yang diekspor seperti minyak sawit mentah (CPO), batu bara, besi dan baja, bijih tembaga, dan produk dari kayu diperkirakan rentan mengalami pelemahan dalam lima tahun ini akibat melemahnya permintaan dari China.
"Besarnya porsi perekonomian Indonesia ditopang oleh komoditas CPO. Jika terjadi penurunan permintaan dari pembeli terbesar seperti China, maka dipastikan perekonomian Indonesia akan melemah," kata Andry.
Ekonom Senior Indef Aviliani mengatakan, menteri perindustrian perlu melakukan arsitektur industri baru mengingat era liberalisasi telah berubah menjadi era proteksionisme yang menyebabkan model pengembangan industri juga berubah ke arah global value chain.
"Sehingga pengembangan industri ke depan harus fokus pada kebutuhan dari market yang ada. Tentunya dikaitkan dengan insentif agar memiliki daya saing yang berorientasi ekspor. Selain itu, skema insentif untuk substitusi impor sehingga nilai tambah lebih tinggi," ujarnya.
Kepala Ekonom DBS Indonesia Masyita Crystallin mengatakan, tantangan terbesar yang dihadapi Presiden Jokowi adalah terus melakukan reformasi, baik infrastruktur maupun infrastruktur lunak (kemudahan berbisnis).
Tantangan lainnya adalah menemukan mesin ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan di atas potensi sebesar 5% sambil mempertahankan stabilitas Rupiah. Dalam hal ini, manufaktur harus memberikan nilai tambah yang lebih tinggi dan diversifikasi jauh dari ekonomi berbasis komoditas.
"Dengan permintaan domestik yang stabil, Indonesia dapat dengan mudah tumbuh di sekitar 5%. Meskipun yang menjadi tantangan adalah meningkatkan potensi pertumbuhan ke target pemerintah sebesar 6%," ungkapnya.
Dalam jangka pendek, pertumbuhan global yang melambat mungkin berdampak pada pertumbuhan Indonesia. Meski begitu, stabilitas pertumbuhan Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan emerging market Asia lainnya.
"Risiko utama dalam jangka pendek adalah terus menurunnya harga komoditas, pertumbuhan investasi swasta yang lambat Sedangkan dalam jangka menengah, untuk tumbuh di atas potensi, Indonesia perlu mengembangkan mesin pertumbuhan yang solid," tuturnya.
Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho, pada periode kedua ini, presiden dihadapkan dengan tantangan ekonomi yang tidak mudah. Perang dagang Amerika Serikat (AS)-China kini dihadapkan pada kondisi kedua negara yang sama-sama mulai menanggung dampaknya.
"Alih-alih mendapatkan kesempatan dari diversi perdagangan, Indonesia malah menjadi korban perang dagang," ujarnya di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Andry melanjutkan, perang dagang antara AS dan China mampu menekan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga China menjadi yang terendah selama 27 tahun. Pada September, pertumbuhan ekspor China menurun 3,2%, sementara impornya menurun hingga 8,5% dibanding tahun lalu.
"Tentunya penurunan pertumbuhan ekspor terbesar terjadi dengan Amerika Serikat dengan penurunan sebesar 7,8% dan impor menurun hingga sebesar 31,2%. Perdagangan China sudah mengarah pada perlambatan," jelasnya.
Menurutnya, pelemahan indikator perdagangan ini disebabkan oleh pengenaan tarif yang tinggi oleh AS terhadap komoditas impor dari China. Kondisi ini memaksa industri domestik China untuk mengencangkan ikat pinggang. Beberapa diantaranya memilih untuk relokasi pabrik serta basis produksinya ke beberapa negara sekitar seperti India, Vietnam, Thailand dan Malaysia demi tetap masuk ke pasar Amerika Serikat.
"Melambatnya perekonomian China bisa menjadi pertanda yang tidak cukup menggembirakan bagi perdagangan Indonesia. Alasannya, mitra dagang terbesar Indonesia adalah China dengan total perdagangan mencapai USD45,9 miliar sepanjang Januari hingga Agustus tahun ini. China juga menjadi negara tujuan ekspor terbesar asal Indonesia mencapai USD17,2 miliar," paparnya.
Beberapa komoditas yang diekspor seperti minyak sawit mentah (CPO), batu bara, besi dan baja, bijih tembaga, dan produk dari kayu diperkirakan rentan mengalami pelemahan dalam lima tahun ini akibat melemahnya permintaan dari China.
"Besarnya porsi perekonomian Indonesia ditopang oleh komoditas CPO. Jika terjadi penurunan permintaan dari pembeli terbesar seperti China, maka dipastikan perekonomian Indonesia akan melemah," kata Andry.
Ekonom Senior Indef Aviliani mengatakan, menteri perindustrian perlu melakukan arsitektur industri baru mengingat era liberalisasi telah berubah menjadi era proteksionisme yang menyebabkan model pengembangan industri juga berubah ke arah global value chain.
"Sehingga pengembangan industri ke depan harus fokus pada kebutuhan dari market yang ada. Tentunya dikaitkan dengan insentif agar memiliki daya saing yang berorientasi ekspor. Selain itu, skema insentif untuk substitusi impor sehingga nilai tambah lebih tinggi," ujarnya.
Kepala Ekonom DBS Indonesia Masyita Crystallin mengatakan, tantangan terbesar yang dihadapi Presiden Jokowi adalah terus melakukan reformasi, baik infrastruktur maupun infrastruktur lunak (kemudahan berbisnis).
Tantangan lainnya adalah menemukan mesin ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan di atas potensi sebesar 5% sambil mempertahankan stabilitas Rupiah. Dalam hal ini, manufaktur harus memberikan nilai tambah yang lebih tinggi dan diversifikasi jauh dari ekonomi berbasis komoditas.
"Dengan permintaan domestik yang stabil, Indonesia dapat dengan mudah tumbuh di sekitar 5%. Meskipun yang menjadi tantangan adalah meningkatkan potensi pertumbuhan ke target pemerintah sebesar 6%," ungkapnya.
Dalam jangka pendek, pertumbuhan global yang melambat mungkin berdampak pada pertumbuhan Indonesia. Meski begitu, stabilitas pertumbuhan Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan emerging market Asia lainnya.
"Risiko utama dalam jangka pendek adalah terus menurunnya harga komoditas, pertumbuhan investasi swasta yang lambat Sedangkan dalam jangka menengah, untuk tumbuh di atas potensi, Indonesia perlu mengembangkan mesin pertumbuhan yang solid," tuturnya.
(ind)