Kementerian ESDM Tindak Lanjuti Larangan Ekspor Nikel oleh BKPM

Selasa, 29 Oktober 2019 - 13:35 WIB
Kementerian ESDM Tindak...
Kementerian ESDM Tindak Lanjuti Larangan Ekspor Nikel oleh BKPM
A A A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merespons kesepakatan pemberhentian ekspor bijih nikel antara Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan pelaku usaha. Rencananya, larangan ekspor nikel akan berlaku pada 1 Januari 2020 namun melalui kesepakatan tersebut dipercepat menjadi 29 Oktober 2019.

Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan akan menindaklanjuti kesepakatan pemberhentian ekspor antara BKPM dan asosiasi penambang nikel. Meski begitu, pihaknya belum menentukan kebijakan yang akan diambil setelah terjadi kesepakatan tersebut.

Saat ini, Kementerian ESDM masih melakukan evaluasi dan kunjungan lapangan untuk mengetahui sejauh mana progress pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel untuk menentukan kebijakan larangan ekspor.

"Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM sedang melakukan evaluasi dan kunjungan ke lapangan terhadap progress pembangunan smelter. Ini utuk menentukan kebijakan ke depan seperti apa terkait degan ekspor nikel," ujar dia saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/10/2019).

Larangan ekspor nikel pada dasarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang pengusahaan pertambangan minerba. Beleid tersebut menyebutkan hanya bijih nikel kadar kurang dari 1,7% yang masa ekspor hanya berlaku sampai 31 Desember 2019. Artinya, kesepakatan antara BKPM dengan pelaku usaha tidak merujuk pada legalitas yang telah dibuat oleh pemerintah melalui Kementerian ESDM.
Anggota Komisi VII Maman Abdurahman menilai larangan eskpor nikel seharusnya melalui keputusan institusional yakni melibatkan kementerian/lembaga terkait tidak hanya BKPM. Pasalnya keputusan terkait larangan ekspor berada di tangan Kementerian ESDM sehingga harus merujuk kepada legalitas aturan yang telah dibuat supaya tidak terjadi tumpang tindih kebijakan. Apabila ingin melarang ekspor nikel seharusnya membatalkan peraturan menteri terelebih dahulu. "Saya kira kebijakan BKPM belum menjadi kebijakan institusi mengingat perlu ada korordinasi dengan Kementerian ESDM," tandas dia.
Meski begitu, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia telah menegaskan bahwa kesepakatan larangan eskpor antara BKPM dengan APNI tidak perlu membatalkan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019. Bahkan tidak perlu mengeluarkan produk hukum baru untuk mengubah aturan yang dibuat oleh mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan tersebut. Menurut dia larangan eskpor tersebut telah menajdi kesepakatan anak bangsa.

Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa pada prinsipnya mendukung kesepakatan yang telah di buat dengan BKPM.

Meski begitu APNI memberikan enam syarat di antaranya harga jual dalam negeri harus sesuai Harga Patokan Mineral (HPM) terhitung sejak tanggal 1 November 2019; batasan kadar ore seperti ekspor yakni berkadar rendah maksimal 1,7%; menggunakan dua surveyor untuk pelabuhan bongkar muat; jika terjadi perbedaan kadar harus hadirkan surveyor yang disepakati bersama; pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas terhadap progress smelter atau IUP yang tidak mengikuti HPM.

"APNI menunggu kepastian hukum regulasi yang mengatur tata niaga nikel domestik dan APNI menjadi mata dan saksi di lapangan untuk ikut memantau perdagangan bijih nikel," tandasnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0928 seconds (0.1#10.140)